Harapnya setelah melihat mangga kuning itu menggelinding di depannya.
Ia berusaha meraihnya namun tak berani karena takut dikira mencuri. Hatinya kecut, wajahnya pucat, menahan lapar yang amat sangat. Belum lagi panas siang itu sangat menusuk. Selayaknya matahari itu tepat di atas kepala. Keringat mengucur, hati berdebar-debar. Rasa was-was masih saja menyelimuti dadanya. Entah harus menggunakan mantra apa ia bisa melepaskan rasa lapar dan takut itu.
Tiba-tiba, keberaniannya muncul, meskipun sesekali ia masih takut untuk melakukannya, ia ingat pesan sang ibu "jangan pernah ambil apapun yang bukan milikmu, Nak!." Pesan itu masih terngiang di telinganya. Tapi apalah daya rasa laparnya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Dengan amat hati-hati ia memungut mangga itu, sambil melihat ke kanan-kiri, siapa tahu ada yang memergokinya. Ia pungut buah itu dan dengan lahapnya ia mengunyahnya. Tanpa berpikir panjang, meskipun di sela-sela dedaunan yang rimbun, seorang pria bertubuh besar meneriakinya maling.
"Maling... maling ... maling!"
Rida berlari kencang seperti kancil yang tengah diburu sang petani karena mencuri mentimun.Â
Setelah mendengar teriakan keras itu, sekerumunan warga kompleks mengejarnya. Semula ia bisa melarikan diri, meski akhirnya ia pun terpojok.Â
Dalam rasa ketakutan dan napas yang terengah-engah ia memanggil-manggil ibunya.
"Ibu... tolong aku, bu!"Â
Dalam batin ia berharap ibunya datang membantu. Berusaha menjelaskan duduk persoalannya. Hanya ibunya yang saat ini bisa membantu.Â
Sesekali ia berdoa, "Ya Allah, tolonglah aku!Â