Suaminya terlihat kalau mengantar mbak Yani, karena menurut penuturannya Ia bekerja sebagai tukang servis AC. Lumayanlah untuk kegiatan harian sebagai alat penyambung nafas keluarganya. Sedangkan Mbak Yani juga membantu suaminya berdagang, sambil melupakan kesedihan lantaran sosok yang dicintai selama ini ternyata tidak sama dengan anak-anak lainnya. Ia terlihat menyendiri dengan aneka aktivitas yang tidak teratur. Amat jarang bisa diajak berkomunikasi meskipun bertanya nama. Meskipun awalnya sangat parah, alhamdulillah saat ini Ina sudah bisa diajak kegiatan olah raga. Upacara bendera juga sudah mulai rapih dan disiplin.
Dalam batinku alhamdulillah dagangan ibu ini bisa ludes. Beruntung sekali hari ini banyak yang membeli, soalnya kadang sehari cuman laku berapa bungkus saja. Sedangkan gorengannya juga tersisa banyak sekali. Boleh jadi dalam hatinya juga menyucapkan syukur.
“Kog gak dagang tiap hari, Mbak?
“Ia, Pak.” Soalnya di hari lain jualan juga di sekolah dekat rumah. Jadi gantian.” Ia menjelaskan sembari melanjutkan kembali.
Aku kembali sewot bertanya sana-sini. Maklum aku baru saja mau membeli dagangannya karena ia termasuk baru, karena di sudut lain di sekolah ada kantin sekolah yang juga menjual aneka makanan. Tapi aku lebih suka yang dijual mbak Yani ini, karena nasinya pulen dan sayurannya banyak. Ada lauknya pula. Sedangkan di kantin sekolah yang dijual justru makanan yang kurang baik bagi kesehatan. Seperti mie instan dan snack dengan pengawet. Meskipun ada juga soto panas atau pecel, tapi dagangan itu kerap absen lantaran si penjual lagi malas membuat.
Makanya aku lebih baik memilih pedagang ini dibandingkan ke kantin. Ke kantin paling-paling kalau memesan teh pahit atau kopi. Karena hanyalah di kantin itu aku bisa merasakan nikmatnya minum kopi.
Dari segi makanan yang sehat, jualan mbak Yani lebih sehat karena ada sayuran, lauk-pauknya, dan gorengan juga dari jenis makanan alami, seperti: pisang, bakwan, mpek-mpek. Makanan dari Palembang ini tak pernah luput dari deretan meja dagangannya.
“Lumanlah untuk menambah penghasilan, daripada nganggur dan melamun. Saya jadi sedih kalau tidak ada kegiatan lain.” Katanya tatkala kami akhiri pembicaraan itu sembari ia menyerahkan pesananku dan bersiap-siap aku santap ketika istirahat pertama.
“Ini mbak, uangnya.” Kuraih bungkusan makanan pesananku, sembari menyerahkan lembaran uang dua puluh ribuan.
Sebentar ya pak! Saya mau ambilkan uang kembaliannya.”
Tak seberapa lama aku meninggalkankan warung kecil itu.