[caption caption="Gambar : www.kaskus.co.id"][/caption]
Disebut kecil karena ia menjual dagangannya di atas meja siswa yang kecil. Meja itu dipinjam dari sekolah. Kebetulan ada beberapa meja yang belum digunakan karena kelasnya kosong. Ia sengaja meminjam karena tak punya cukup duit untuk membuat warung kecil-kecilan. Apalagi itukan lokasi sekolah, jadi tidak boleh pedagang membuat warung di dalamnya. Kebetulan wanita ini tinggal juga di daerah yang sama. Jadi tak terlalu jauh ketika harus mengendarai sepeda motor. Meski begitu, wanita ini diantar-jemput suami yang bekerja sebagai wirausaha.
Sengaja ia berdagang di situ lantaran harus ngemong anaknya yang saat ini belum sekolah, serta menunggui anak yang lain yang saat ini bersekolah di sekolah yang sama.
Sedari pagi, ia nampak sudah siap melayani pembeli di sekolah itu. Para guru dan anak-anak saat ini masih belajar. Tepatnya ketika istirahat siang mereka bisa menikmati santapan paginya. Meski ada saja anak-anak itu yang sengaja menikmati sarapannya, meskipun sang guru sudah memintanya masuk. Maklum saja, anak-anak berkebutuhan khusus harus dibimbing dengan sabar. Kadang yang melihat saja sudah lelah apalagi melakukannya.
Kudapan sarapan pagi sudah berjajar seperti gerbong kereta api yang tengah menunggu penumpang mengantri hendak ke tujuannya. Atau miriplah dengan jajaran bis kota atau angkot yang tengah ngetem di terminal Metro, sebuah kota yang masih terlihat ndeso. Sedangkan penumpang duduk setia di dalam kursi sambil menunggu penumpang lain. Di samping deretan wadah berisi nasi, gorengan ikan laut bersama kentucky buatan sendiri yang bentuknya seperti mobil bemo yang tengah terparkir kepanasan.
Nasi dan sayur dijualnya hanya enam ribu rupiah dengan lauk ikan. Sedangkan gorengannya rata-rata seribu rupiah. Lumayanlah penghasilannya kalau lagi ramai. Sehari bisa ratusan ribu kotor karena harus dipotong modalnya.
Ada juga beberapa wadah snack yang juga siap menyelesaikan hajat perut para pembelinya. Para guru dan siswa yang sedari dulu celam-celem sembari mulut terus mengecap lantaran sudah merasa kecut dari pagi belum menemukan sesuap makanan. Sambil menahan perut yang berdangdut ria, mulut pun tak henti-hentinya menelan ludah.
Di antara anak-anak dan guru yang mengantri membeli makanan, ada sosok yang terduduk berjajar bersama wali murid yang menunggu anaknya. Mereka asyik dengan obrolannya yang aku juga tak seberapa mengerti. Sosok wanita yang sudah berkepala tiga setengah atau tiga puluh lima tahunan tengah asyik bercakap-cakap dengan wali murid lain. Ialah Mbak Yani, pemilik kantin kecil yang sudah siap menanti rezeki sembari ia menunggu anaknya yang bersekolah di sekolah itu. Sebuah sekolah khusus bagi penyandang disabilitas. Kebetuan putrinya adalah pengidap autisme. Di mana tingkah pola anak kadang tak tak bisa terarah. Semau sendiri, kadang duduk, kadang lari dan kadang cuman menggoyang goyang kepala karena keasikan mendengarkan musik dari ponsel yang dipegangnya.
Dengan seorang anak yang masih belia, ia terlihat bersemangat melayani satu persatu pembeli yang datang. Anaknya perempuan yang lucu sekali, kayaknya kalau dibandingkan ibu atau kakaknya jauh banget. Anak ini lucu dan nggemesin. Jadi kadang teringat sendiri dengan anakku yang perempuan yang saat ini sudah sekolah dasar. Kelucuannya semirip anak itu.
“Loh. Kog adik tidak sekolah, Mbak?”
Kutanya pada mbak Yani sambil memesan nasi bungkus dan dua potong piscok sebagai kudapan sarapan pagi ini. Sedangkan aku duduk di kursi sebelah meja itu sambil turut prihatin kenapa anak sekecil itu harus menemani ibunya berjualan. Padahal semestinya ia sudah bisa bermain bersama anak-anak lainnya seperti orang-orang berpunya. Ya, misalnya ke play group atau taman bermain lain yang di situ banyak diketemukan mainan dan teman lain yang kelihatan ceria karena mendapatkan banyak teman.
“Iya, Pak.” Jawabnya sepontan.
“Belum disekolahin, karena gak ada yang njagain. Lagian masih anak-anak. Biarlah ikut sama ibunya saja.”
Ia berusaha menjelaskan padaku. Sedangkan aku masih menanti bungkusan nasi dan gorengannya. Ya lumayan tergesa-gesa juga melayani pembelinya. Karena selain aku juga guru-guru dan anak-anak lain. Maklum aku sudah tidak tahan karena suara cacing kelaparan sudah keluar dari perutku yang lapar ini.
“Mau sarapan, pak? Tanya wali murid yang kebetulan memotong pembicaraan kami.
“Iya, bu.” Perut agak laper, sudah waktunya sarapan. Hehe” Jawabku sambil tersenyum.
Dan kembali kulihat mbak Yani sedang menyiapkan pesananku.
“Emang, umurnya berapa?
Lanjut tanyaku selayaknya seorang wartawan gadungan yang mau minta jatah dana bos sekolah.
“Tiga tahun.” Mbak Yani menjawab dengan jelas.
Sembari dia memperhatikan anaknya itu yang tengah berada di sisinya. Sedangkan Ina, anak sulungnya terlihat tengah di lapangan sekolah bermain sendiri dengan mencangklong tas sekolahnya.
“Betapa ibu ini rajin sekali.” Dalam batinku terlontar pujian, ternyata seorang ibu dari anak penyandang autisme ini tetap percaya diri berdagang meskipun amat jarang yang bisa melakukannya. Ia menjaga anaknya sambil menanti kepulangan putri yang tengah bersekolah. Hingga siang hari baru ia membereskan dagangannya.
Suaminya terlihat kalau mengantar mbak Yani, karena menurut penuturannya Ia bekerja sebagai tukang servis AC. Lumayanlah untuk kegiatan harian sebagai alat penyambung nafas keluarganya. Sedangkan Mbak Yani juga membantu suaminya berdagang, sambil melupakan kesedihan lantaran sosok yang dicintai selama ini ternyata tidak sama dengan anak-anak lainnya. Ia terlihat menyendiri dengan aneka aktivitas yang tidak teratur. Amat jarang bisa diajak berkomunikasi meskipun bertanya nama. Meskipun awalnya sangat parah, alhamdulillah saat ini Ina sudah bisa diajak kegiatan olah raga. Upacara bendera juga sudah mulai rapih dan disiplin.
Dalam batinku alhamdulillah dagangan ibu ini bisa ludes. Beruntung sekali hari ini banyak yang membeli, soalnya kadang sehari cuman laku berapa bungkus saja. Sedangkan gorengannya juga tersisa banyak sekali. Boleh jadi dalam hatinya juga menyucapkan syukur.
“Kog gak dagang tiap hari, Mbak?
“Ia, Pak.” Soalnya di hari lain jualan juga di sekolah dekat rumah. Jadi gantian.” Ia menjelaskan sembari melanjutkan kembali.
Aku kembali sewot bertanya sana-sini. Maklum aku baru saja mau membeli dagangannya karena ia termasuk baru, karena di sudut lain di sekolah ada kantin sekolah yang juga menjual aneka makanan. Tapi aku lebih suka yang dijual mbak Yani ini, karena nasinya pulen dan sayurannya banyak. Ada lauknya pula. Sedangkan di kantin sekolah yang dijual justru makanan yang kurang baik bagi kesehatan. Seperti mie instan dan snack dengan pengawet. Meskipun ada juga soto panas atau pecel, tapi dagangan itu kerap absen lantaran si penjual lagi malas membuat.
Makanya aku lebih baik memilih pedagang ini dibandingkan ke kantin. Ke kantin paling-paling kalau memesan teh pahit atau kopi. Karena hanyalah di kantin itu aku bisa merasakan nikmatnya minum kopi.
Dari segi makanan yang sehat, jualan mbak Yani lebih sehat karena ada sayuran, lauk-pauknya, dan gorengan juga dari jenis makanan alami, seperti: pisang, bakwan, mpek-mpek. Makanan dari Palembang ini tak pernah luput dari deretan meja dagangannya.
“Lumanlah untuk menambah penghasilan, daripada nganggur dan melamun. Saya jadi sedih kalau tidak ada kegiatan lain.” Katanya tatkala kami akhiri pembicaraan itu sembari ia menyerahkan pesananku dan bersiap-siap aku santap ketika istirahat pertama.
“Ini mbak, uangnya.” Kuraih bungkusan makanan pesananku, sembari menyerahkan lembaran uang dua puluh ribuan.
Sebentar ya pak! Saya mau ambilkan uang kembaliannya.”
Tak seberapa lama aku meninggalkankan warung kecil itu.
***
Sebenarnya kalau melihat dari anak-anaknya, ia masihlah muda, tapi karena rasa lelahnya mengurus anak yang mengalami autisme ini maka raut wajah mbak Yani sedikit lebih tua. Kadang saya melihat rauh wajah kesedihan yang dalam. Sebagai ibu seperti wanita lainya, tentulah ia berharap anak sulungnya itu bisa seperti anak lainnya. Bisa sekolah meski tanpa diantar dan ditungguin. Menyekolahkan anak penyandang disabilitas, khususnya tuna grahita dan autis, seperti menunggu anak-anak taman kanak-kanak. Di bulan pertama mereka bersekolah, orang tuanya selalu saja menunggui hingga saat pula tiba.
Ia tak pernah mengeluh, meskipun aku yakin tidak ada orang tua yang tidak mengeluh. Memiliki anak-anak normal saja masih sempat mengeluh, apalagi memiliki anak yang memiliki kekurangan ini. Kami menyebut anak yang istimewa, lantaran dengan kondisi yang dialami, orang tua tertantang bisa menghadapi segala macam hujatan, cibiran, dan hinaan karena anaknya tidak normal. Kadang mereka dianggap pembawa sial, yang tak layak untuk diajak bergaul. Selalu saja mendapatkan stempel buruk.
“Kirain tak jualan mbak.” “Soalnya kemarin tidak ada. Padahal yang membeli sudah mengantri loh.”
“Nggak, Pak.” Kemarin Ina sakit, jadi harus berobat dulu ke dokter.”
“Sudah diobatin belum mbak?
“Sudah.” Jawab mbak Yani singkat.
“Perubahan kondisinya?”
“Alhamdulillah lumayan bagus. Lah itu, Ina sudah bisa sekolah.”
“Oh, iya. Saya malah belum melihat Ina sedari tadi. Ternyata sudah sembuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Ina adalah anak pertama yang dilahirkan dalam keadaan autis. Sudah dari dulu disekolahkan ke mana-mana dan diobati ke beberapa dokter spesialis, ternyata hasilnya tidak ada sama sekali. Ketika dibawa kedokter, dokter hanya bisa menyarankan untuk dibawa ke seorang psikolog untuk dilakukan diagnosa penyakit apa yang dideritanya. Tiba-tiba mbak Yani menceritakan kondisi Ina sebelum di sekolahkan di sekolah ABK. Kala itu, mereka berdua amat bahagia, lantaran anak pertama sudah lahir dengan selamat. Dan beranjak tahun pertama, mereka menaruh curiga lantaran sang anak tidak mau diam, cenderung merusak dan lepas kendali. Kadang malah menggigit tangannya sendiri. Sering juga mencubit-cubit siapa saja yang ada di lingkungannya. Tak ayal ibu dan ayahnya seringkali harus menahan sakit lantaran dicubit anaknya.
Tak sengaja tiba-tiba pula perabot rumah dilempar begitu saja, jadi rusaklah semua yang ada di rumahnya. Televisi pun rusak. Buku-buku banyak yang sobek dan dinding kotor sekali lantaran kalau memegang apapun kepinginnya digunakan untuk corat-coret.
Sedih dan pusing tujuh keliling, tak menyangka anaknya justru bertingkah aneh, tak seperti anak lainnya.
Dalam perasaan sedih itu, mereka membawa Ina ke seorang psikolog untuk ditanyakan terkait kondisinya.
Ketika terjadi perbincangan di antara mereka, ternyata Ina terlepas dari pangkuan sang ibu. Dan tiba-tiba:
“Prang!”
“Ina!”
“Jangan!
“Jangan dirusak ya nak!”
Mbak Yani dan suaminya berteriak kaget karena barang milik psikolog itu rusak.
Tiba-tiba Ina berlari sembari melemparkan vas bunga sang psikolog. Vas bunga pun pecah. Mbak Yani dan suaminya segera meraih anaknya itu. Beruntung psikolog sudah mengetahui bahwa anak yang dibawa merupakan pengidap autisme. Jadi sudah dapat dipastikan akan merusak segalanya kalau tidak diawasi dan dikendalikan oleh kedua orang tuanya.
Dan buru-buru Mbak Yani segera meraih anaknya. Untuk kembali dipangku dan didekap dengan erat agar tidak melakukan hal itu lagi.
“Maaf ya, Bu!”
“ Vas bunganya rusak. Tapi nanti akan saya ganti kog.” Dengan agak sedikit takut dan malu, ia memungut pecahan vas bunga itu.
“Sudahlah, gak apa-apa.” Kata psikolog.
“Tapi benar kog akan kami ganti.” Mbak Yani meyakinkan.
Akhirnya keduanya berpamitan setelah hasil diagnosis terkait kondisi kejiwaan dan kognisi Ina diberikan sang psikolog. Sembari disarankan untuk di sekolahkan di sekolah luar biasa, agar Ina bisa dididik sesuai dengan kondisi dan bakat yang dimilikinya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H