“Iya, Pak.” Jawabnya sepontan.
“Belum disekolahin, karena gak ada yang njagain. Lagian masih anak-anak. Biarlah ikut sama ibunya saja.”
Ia berusaha menjelaskan padaku. Sedangkan aku masih menanti bungkusan nasi dan gorengannya. Ya lumayan tergesa-gesa juga melayani pembelinya. Karena selain aku juga guru-guru dan anak-anak lain. Maklum aku sudah tidak tahan karena suara cacing kelaparan sudah keluar dari perutku yang lapar ini.
“Mau sarapan, pak? Tanya wali murid yang kebetulan memotong pembicaraan kami.
“Iya, bu.” Perut agak laper, sudah waktunya sarapan. Hehe” Jawabku sambil tersenyum.
Dan kembali kulihat mbak Yani sedang menyiapkan pesananku.
“Emang, umurnya berapa?
Lanjut tanyaku selayaknya seorang wartawan gadungan yang mau minta jatah dana bos sekolah.
“Tiga tahun.” Mbak Yani menjawab dengan jelas.
Sembari dia memperhatikan anaknya itu yang tengah berada di sisinya. Sedangkan Ina, anak sulungnya terlihat tengah di lapangan sekolah bermain sendiri dengan mencangklong tas sekolahnya.
“Betapa ibu ini rajin sekali.” Dalam batinku terlontar pujian, ternyata seorang ibu dari anak penyandang autisme ini tetap percaya diri berdagang meskipun amat jarang yang bisa melakukannya. Ia menjaga anaknya sambil menanti kepulangan putri yang tengah bersekolah. Hingga siang hari baru ia membereskan dagangannya.