Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jet Tempur F-35 Digrounded Strategi AS "Eagle Wall dan Eagle Chain" Terancam Berantakan

11 Mei 2019   21:37 Diperbarui: 12 Mei 2019   07:03 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: fighterjetsworld.com

Selama ini AS telah mengerahkan jet tempur siluman Gen-5 F-35 di Pasifik Barat untuk membangun "Eagle Wall dan Eagle Chain" (Tembok Elang dan Untaian Rantai Elang) untuk strategi Indo Pasifik bertujuan memblokir Korut, Tiongkok, (Indonesia?).

Korsel telah bergabung dengan "Club Jet Tempur Gen-5 F-35. Semua sekutu AS di Pasifik Barat memiliki F-35, untuk "melayani" militer AS. Kapal serbu amfibi "Hornet" AS, yang dilengkapi dengan F-35 terbesar, adalah yang pertama berpartisipasi dalam latihan militer Filipina. Jenis taktik baru dengan metode craking dengan jet tempur F-35 yang akan dipraktikkan AS dalam "Eagle Wall dan Eagle Chain".

Dua Jet tempur F-35A pesanan Korsel telah tiba, sehingga sekutu AS yang disebut dalam strategi "Indo-Pasifik" di antaranya, Korea Selatan, Jepang, dan Australia semuanya memiliki jet tempur Gen-5 ini. Selain itu, militer AS telah mengerahkan banyak di Jepang. Saat ini, dapat dikatakan bahwa F-35 sedang berkumpul. Kapal serbu amfibi yang dapat mengangkut F-35B beberapa minggu lalu juga bergabung dalam latihan militer gabungan "bahu-membahu AS-Filipina"( US-Philippines shoulder-to-shoulder joint military exercise) untuk pertama kalinya.

Dari penempatan F-35, kita dapat melihat bagaimana tata letak dan niat strategis militer AS telah mengfokus analisis secara mendalam saat ini.

Kyodo News Jepang melaporkan pada 1 April lalu bahwa Angkatan Laut AS berencana untuk mengerahkan kapal serbu amfibi USS "America" pertama kapal AS untuk menggantikan "Wasp" yang saat ini digunakan di kawasan Pasifik Barat.

Media Jepang melaporkan bahwa dibandingkan dengan dek "USS Wasp", "USS America" lebih luas, kapasitas hanggar juga lebih besar, yang berarti bahwa "USS America" akan dapat membawa lebih banyak jet tempur F-35B.

Belum lama ini, AS, Jepang, Korsel dan Austrlia mengadakan konferensi khusus yang disebut " F-35 Indo-Pacific Regional Cooperation/Kerjasama Regional Indo-Pasifik F-35" di Hawaii.

Charles Brown, komandan Komando Angkatan Udara Pasifik AS, mengatakan pada pertemuan itu bahwa F-35 akan membawa semua kemampuan militer AS dan sekutunya. Ini adalah bagian penting dari kerjasama perang bersama.

Brown menerangkan bahwa penyebaran F-35 saat ini di kawasan yang disebut "Indo-Taiwan". Korps Marinir AS mengerahkan F-35B di Pangkalan "Rock State Base" Jepang, dan skuadron F-35B pertama Komando Udara Pasifik akan dikerahkan di Alaska, Australia. Saat ini ada empat F-35A di Jepang berada di pangkalan Sanze, dan Korea Selatan hanya memiliki dua.

Saat ini ada yang disebutkan "Very 4+3", ada 4 titik (point) di sekutu dan kuasi-sekutu (semu) AS, dan AS memiliki tiga poin di dalamnya. Mereka mengerahkan F-35 seperti Guam AS, ditambah F-35B pada kapal induk AS yang terus bergerak ditengah.

Jadi yang kita dapat lihat sekarang ada tiga titik dari AS yang disebut kombinasi dinamis dan statis, point/titik dan face.

Ada empat poin dari sekutu dan sekutu semu (sekutu kuarsi), termasuk Jepang yang jumlahnya diperlu hingga seratus jet pada jumlah akhir yang harus dicapai. Akan ada 40 di Korea Selatan, dan sejumlah kecil uji coba di Singapura kira-kira 20 jet. Hari ini, ada 72 di Australia, atau 232 jet, jika AS mengerahkan setidaknya 100 jet F-35A, 100 jet F-35B, maka seluruhkan akan mencapai lima ratusan jet F-35.

Dan seklompok jet ini yang disebut "Eagle Wall" dari F-35 yang sedang dibentuk dan yang akan berkaitan dengan "Eagle Chain."

Jika kita menganalisis Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Australia dari sudut penyebaran, seluruh bentuk ini adalah rantai pulau baru melalui pangkalan, pesawat, dan kemampuannya.

Apa tujuan AS membentuk "Eagle Wall dan "Eagle Chain"? Menurut mereka untuk menangkal Korut (Tiongkok mungkin juga termasuk Indonesia) yang secara historis sudah kita kenal dengan "island chain strategy (strategi untaian rantai pulau-pulau) "

Kita semua mengetahui ketika pada Perang Dingin, AS melakukan strategi "Rantai Pulau Pertama (first island chain)" dan "Rantai Pulau Kedua (second island chain)". Tapi saat itu lebih statis dan tidak bisa bergerak dinamis. Yang saat itu lebih untuk menghadapi Uni Soviet.

Tapi kini berbeda, lebih dinamis. Meskipun statis dengan beroperasi dari pangkalan-pangkalan utama dan beberapa pangkalan garis depan. Dan menurut analisis para pengamat militer, kini AS sedang gencar untuk mempercepat pengiriman dan pengoperasian F-35.

Insiden F-35 Di Jepang Dan Di AS

Sumber: www.aviationanalysis.net
Sumber: www.aviationanalysis.net
Pilot F-35A dari AU-Jepang hilang di laut pada malam hari Selasa 9 April lalu, selama penerbangan latihan di lepas pantai Jepang utara, pilot telah meminta untuk menghentikan misi tersebut sesaat sebelum pangkalan udara Misawa kehilangan kontak dengan pesawat. Media Jepang melaporkannya.

Pesawat telah menghilang dari radar setelah lepas landas dari pangkalan udara Misawa di prefektur Aomori, pesawat satu tempat duduk, dikemudikan oleh pilot berpengalaman, terbang bersama dengan empat pesawat tempur lain di sekitar 135 kilometer dari pangkalan.

Pilot pesawat F-35 yang jatuh ini, diidentifikasi Pasukan Bela Diri Udara Jepang sebagai Mayor penerbang Akinori Hosomi, 41 tahun, yang memiliki 3.200 jam jam terbang termasuk 60 jam pada F-35A. Tidak ada komunikasi lain yang kemudian terdengar darinya, dan tidak ada pilot lain yang melihat pesawat itu jatuh.

Menhan Jepang, Takeshi Iwaya mengatakan kepada wartawan operasi pencarian dan penyelamatan untuk pilot yang hilang sedang berlangsung.

Dia menambahkan 12 F-35 lainnya di pangkalan Misawa akan di-grounded. Insiden itu terjadi hanya 11 hari setelah skuadron ke-302 di pangkalan Misawa dinyatakan operasional, menurut laporan dari The Diplomat.com.

Kementerian Pertahanan Jepang mengatakan, pesawat itu adalah yang pertama lepas dari jalur perakitan F-35 lokal Mitsubishi Heavy Industries di Nagoya.

Ini adalah kecelakaan fatal kedua dari jet tempur F-35 dan yang pertama dari varian F-35A yang paling umum di antara ketiga varian tersebut. F-35A adalah varian lepas landas dan pendaratan konvensional (CTOL) yang ditujukan untuk AU-AS dan lainnya. Ini adalah versi F-35 terkecil dan ter-ringan bagi AU.

Pada 23 Agustus 2018, sebuah F-35A melakukan pendaratan darurat setelah Nose Gear runtuh di Pangkalan Angkatan Udara Eglin, AS. F-35A Lightning II, yang ditugaskan ke Skuadron Tempur ke-58 mengalami keadaan darurat dalam penerbangan dan kembali ke pangkalan. Pesawat mendarat dengan selamat dan ketika parkir roda hidung bagian depan runtuh. Ada satu orang di dalamnya. Kru kebakaran segera merespons dan pilot tidak mengalami cedera akibat insiden tersebut.

Pada 28 September 2018, jet tempur F-35B Stealth Fighter Marinir Amerika Serikat Hancur dekat MCAS Beaufort. Jet tempur jatuh lima mil di luar Stasiun Udara Korps Marinir di Beaufort. Pilot pesawat itu bisa dengan aman terlontar dan menderita luka ringan.

Sebenarnya masih ada dua insiden penting lainnya dengan pesawat ini, termasuk kebakaran mesin pada F-35A pada 23 September 2016, di Mountain Home AFB di Idaho dan pada 27 Oktober 2016, ketika bagian F-35B dari Marine Fighter Attack Training Squadron 501 terbakar di kompartment senjata internal yang menyebabkan kerusakan signifikan.

Pada 9 April 2019, jet tempur Angkatan Udara Jepang F-35A Lightning II jatuh di Pasifik. Seperti yang telah disebut di atas.

F-35 adalah hasil dari program senjata paling mahal dalam sejarah militer AS, senilai USD$ 406 miliar. Pesawat ini dikemas dengan sistem paling canggih yang pernah dikembangkan untuk pesawat tempur.

Kecelakaan yang disebutkan di atas dan insiden pendaratan darurat meningkatkan masalah serius tentang kesiapan tempur F-35 dan keselamatan pilot.

Pada 8 April 2019, sebuah laporan yang diterbitkan oleh Watchdog (pengawas) mengklaim bahwa "Angkatan Laut Amerika Serikat Beresiko Hidup" dengan mendorong F-35C ke dalam pertempuran. Hanya beberapa hari setelah laporan jet tempur F-35A Lightning II Jepang Air jatuh. Jepang juga telah menerbangkan seluruh armada jet tempur F-35A yang jatuh di Pasifik ini.

Berdasarkan pedoman yang disetujui pada bulan Desember tahun lalu, pemerintah PM Shinzo Abe berencana untuk membeli 147 jet F-35, termasuk 105 jet seris F-35A, masing-masing berharga sekitar $ 90 juta.

Insiden Fatal Tercepat Dalam Skuadron AU
Perlu dicatat di Pasukan Bela Diri Jepang, ini adalah sebuah skuadron penerbangan yang seluruhnya terdiri dari 13 pesawat tempur siluman F-35 terbaru yang baru aktif 11 hari, yang begitu cepat menciptakan catatan insiden pertama F-35A. Jet tempur yang selama ini dinyatakan AS dan sekutunya sebagai jet tempur "invincible/tak terkalahkan" dan "lightning/halilintar", ini membuat kecemasan bagi Pasukan Bela Diri Jepang.

Seperti telah disebutkan diatas, sekitar pukul 19:25 waktu setempat pada tanggal 9 April, sebuah jet tempur siluman F-35A terbang dari pangkalan Angkatan Udara Bela Diri Jepang Misawa tiba-tiba menghilang dari radar ketika terbang di atas Samudra Pasifik di dekat Prefektur Aomori.

Hari berikutnya, Pasukan Bela Diri Udara Jepang mengkonfirmasi penemuan reruntuhan tubuh pesawat di perairan terdekat, membenarkan bahwa jatuhnya pesawat tempur F-35A adalah salah satu pesawat tempur siluman paling canggih di Jepang.

Pemerintah Inggris mengumumkan pada hari Rabu 10 April bahwa pihaknya telah dalam kontak dengan Kantor Bersama F-35 di AS atas kecelakaan itu dan sedang mempertimbangkan untuk mengrounded 17 armada  F-35 sebagai tanggapan atas insiden tersebut.

Sebelumnya ini juga pernah terjadi insiden fatal sebuah short take off and landing (STOVL) F-35B di dekat Pangkalan Udara Korps Marinir Beaufort di South Carolina AS pada bulan September tahun lalu yang mendorong juga meng-grounded sementara model jet tersebut.

Penyebab kecelakaan pada kesempatan itu kemudian dikatakan sebagai "adanya tabung bahan bakar yang salah" - kata pejabat pertahanan AS Oktober lalu. Tapi penyebab sesungguhnya masih dalam investigasi.

Kembali pada insiden F-35A di Jepang, meskipun sebagian puing-puing dapat ditemukan tapi pilotnya hingga kini masih belum ditemukan, Pasukan Bela Diri Jepang terus mengirim pesawat dan kapal untuk mencari, dan armada militer AS terlibat dalam proses pencarian. Tetapi karena kecelakaan itu terjadi pada malam hari, itu membuat pencarian sangat sulit.

Seperti yang telah disebutkan diatas, pilot berusia 40 tahun ini memiliki 3.200 jam terbang dan berpengalaman. Juga berpengalamaan memiloti pesawat lain, dan dia sudah menghabiskan lebih dari 60 jam menerbangkan F-35A. Selain itu, pilot ini telah mengeluarkan pesan yang meminta "mengakhiri misi pelatihan" melalui radio sebelum kecelakaan itu.

Para pengamat menyimpulkan bahwa pilot telah mengalami situasi abnormal sebelum kecelakaan itu. Tetapi ada banyak alasan untuk kecelakaan itu saat ini, dan penyelidikan masih terus berlangsung. Jadi masih belum ada berita pasti, apa penyebabnya kecelakaan pesawat apakah karena kesalahan pilot? Tapi apapun ini adalah kecelakaan pertama F-35A di Jepang.

Ada sebagian kalangan di Jepang yang mengkhawatirkan kepada AS, jika itu memang dikarenakan kesalahan teknis produksi, maka perlu dipertimbangkan apakah rencana pembelian pesawat ini selama ini sudah sesuai atau tidak.

Setelah insiden ini, ada beberapa kalangan yang meragukan akan teknologi perakaitan pesawat ini di Jepang. Ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa AS tidak terlibat dalam perakitan pesawat ini di Jepang, dan pilot Jepangnya tidak baik.

Setelah insiden ini, tampaknya para pihak yang terlibat akan saling melemparkan kesalahan kepada pihak lainnya. Faktanya, masalah paling mendasar adalah bahwa tim desainer pesawat F-35 AS memiliki kekurangannya sendiri.

Pertama-tama, pilot pertama dari armada pesawat F-35 ini telah merefleksikan bahwa pesawat itu memiliki berbagai cacat, yang paling mengerikan adalah bahwa ada tanda-tanda pilot tersebut mencerminkan terkena hipoksia. Pesawat ini ketika sedang terbang, tiba-tiba pilot merasa sesak nafas yang amat sangat. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada F-22 yang menyebabkan kecelakaan fatal yang menewaskan pilotnya.

Tampaknya kejadian serupa muncul lagi pada F-35 ini, para pengamat memperkirakan ini memang terdapat kesalahan desain pada pesawat ini. Dalam kecelakaan yang menewaskan kali ini, pilot sama seklai tidak memberi sinyal sedikitpun saat-saat sebelum kecelakaan fatal terjadi. Dia hanya memberi sinyal radio kepada menara untuk mengakhiri misi pelatihan. Kemudian semuanya sepi selanjutnya pilot dan pesawat lenyap.

Biasanya pada ketika pesawat mengalami hal darurat kerusakan teknis, pilot akan selalu melaporkan, bahwa terjadi hal yang tidak baik, misalnya merasa kekurangan oksigen, kecepatan mesin turun, daya angkat kurang, fenomena ini selalu akan dilapor pilot kepada menara.

Selain itu  pengamat juga melihat bahwa selama ini jumlah kecelakaan fatal seperti ini pada Angkatan Udara Belan Diri Jepang sangat  rendah, tetapi mengapa kali terjadi pada skuadron F-35 yang baru saja resmi dirikan dalam sepuluh harian, hal ini dianggap tidak normal dan serius.

Banyak pengamat yang memperkirakan insiden ini disebabkan adanya kesalahan pada peralatan utama pada pesawat,  bahkan jika kita didasarkan pada level dasar, ini adalah kelas satu, yaitu kerusakan dan kesalahan serius pada mesin. Hal ini bisa kita lihat Takeshi Iwaya Menhan Jepang beberapa kali meminta maaf.

Insiden ini sebenarnya menunjukkan adanya peralatan pada pesawat berteknologi tinggi ini terdapat masalah besar dalam desain tahap awal. Jadi menurut para ahli luar, kualitas seluruh peralatan itu sendiri jalas ada masalah.

Banyak yang mempertanyakan, mengapa baru terakhir ini skuadron F-35 diumumkan pada 26 Maret lalu. Menurut pengertian umum, satu skuadron telah terbentuk, berarti jumlah jet  dan kesiapan personil untuk mendukung skuadron ini telah selesai ditentukan sesuai dengan kebutuhan.

Selain itu, personil pelatihan peralatan seharusnya juga telah mencapai kemampuan untuk berdiri sendiri. Karena kelompok ke-empat pesawat yang terbang di atas itu menunjukkan pembentukan pelatihan ini sebenarnya adalah merupakan tahap kedua.

Apa yang kita pahami di masa lalu harus menjadi tahap yang lebih tinggi, jadi setelah periode yang lebih tinggi, mungkin ini adalah pertama kalinya dalam sinergi itu sendiri, sehingga kombatan sendiri sudah dalam keadaan sangat tegang.

Dan terutama jika mereka ingin mempertimbangkan penyelesaian keseluruhan tindakan terkoordinasi, jika ada masalah dengan salah satu pesawat, mereka akan yakin bahwa tidak ingin mempengaruhi pelatihan lainnya, mereka akan meminta untuk diberhentikan dulu. Namun tampaknya pilot yang dalam kecelakaan di Jepang ini masih belum punya waktu untuk mengatakan apa masalahnya, dan kemudian kecelakaan terjadi.

Maka kecelakaan F-35A Jepang dengan pilot senior Mayor penerbang Akinori Hosomi masih menyisahkan banyak misteri, mengapa dia tidak melakukan laporan saat terjadi kecelakaan, bahkan untuk meneriakan "help!" sekalipun. Dan tidak sempat mengaktifkan kursi pelontar penyelamatan. Ini suatu yang sangat aneh, apakah sebelum kecelakaan fatal terjadi sudah tidak sadarkan diri?

Memang banyak penggemar militer online meganalisis apa penyebab kecelakaan itu. Bahkan seperti kasusnya sama dengan celakaan yang terjadi pada jatuhnya Boeing 737 MAX Lion Air dan Ethiopian Airlines terakhir ini, yang disebabkan oleh kesalahan perangkat lunak pada sistem kontrol elektroniknya.

Namun jika itu terjadi pilot masih bisa ada kesempatan untuk melaporkan hal ini, tapi dalam kasus kali ini, faktanya pilot sama sekali tidak berkesempatan berbicara dan mengreleksikan situasinya. Dan biasanya satu-satunya yang membuat pilot tidak bisa berbicara adalah oksigen.

Jika terjadi pasokan oksigen tiba-tiba tidak mencukupi atau putus, ini akan membuat pilot tidak sadar dan tidak bisa bernafas, bahkan tidak dapat mengatakan apa-apa dan pesawat sudah jatuh.

Jepang telah menyatakan telah menemukan sebagian puing pesawat, tapi tampaknya pihak AS tidak terlalu memperhatikan proses pencarian ini, belakangan baru terlihat ikut sibuk.

Akibat Jatuhnya F-35 Hampir Mirip Dengan Jatuhnya Boeing 737 MAX
Kasus ini sedikit mirip dengan Boeing 737 MAX, seperti diketahui model F-35 dibagi menjadi tiga model A,B, dan C.

Diantara model ini, type A yang paling stabil dalam produksi atau jumlah pesanannya terbesar, dan kinerjanya paling stabil.

Tetapi jika ada masalah dengan pesawat ini, hal ini akan mirip dengan Boeing 737 MAX. Kuantitas pesanan Boeing 737 MAX adalah terbesar dari perusahaan Boeing, maka jika terdapat masalah dengan pesawat ini, itu akan sangat mempengaruhi keselamatan penerbangan pemakai/pemesannya dari jenis F-35A ini di dunia.

Masalahnya apakah pemesan akan melanjutkan pesanannya? Jika ada cacat desain atau produksi mereka juga tidak akan memesan pesawat "peti mati" ini. Ini yang akan membuat cemas baik bagi Jepang maupun AS sendiri.

Bagi AS ini dikhawatirkan akan menjadi peristiwa sperti B737 MAX, kini bertambah lagi dengan kasus F-35, sehingga Lockheed Martin fabrikan F-35 akan mengikuti jejak Boeng seperti kasus B 737 MAX.

Kasus ini sungguh aneh, semua sinyal tidak ada, bahkan pilot tidak sempat melontarkan diri untuk penyelematan, jika bisa menyelamatkan diri itu masih bisa terlacak posisi kecelakannya, sehingga memudahkan untuk menemukannya (melalui locatornya).

Kasus Kecelakaan F-22
Pada tahun 2011 pernah terjadi F-22 jatuh, penyebabnya masih mejadi misteri. Panel Penasehat AU-AS belum dapat menentukan penyebab beberapa insiden di F-22 Raptors yang mengakibatkan kurangnya oksigen yang mempengaruhi pilot, tetapi Pentagon dalam konferensi pers mengatakan bahwa mereka yakin sistem oksigen pesawat tempur ini tidak menunjukkan risiko yang tidak serius.

Ada 14 "insiden fisiologis" - dengan pilot mengalami gejala seperti hipoksia - yang melibatkan F-22 Raptors dari April 2008 hingga Mei 2011, kata pensiunan Jenderal Gregory Martin, ketua study on oxygen aircraft generation systems.. Tiga dari insiden itu terjadi antara akhir April dan awal Mei 2011.

Pada 2011 AU-AS meng-grounded pesawat super sonik ini dan mulai mencari kemungkinan penyebabnya. Di antara temuan penelitian: sistem pendukung pernafasan F-22 tidak memiliki pasokan udara bernapas yang diaktifkan secara otomatis, tidak ada mekanisme untuk mencegah pesawat jatuh jika pilot menjadi cacat sementara, dan sistem oksigen di pesawat belum diklasifikasikan sebagai "safety critical/keamanan kritis."

Setelah melakukan tes di daratan dan uji terbang, F-22 diklarifikasi untuk boleh kembali terbang pada September 2010, meskipun penyebab gejalanya tidak jelas.

Dua bulan setelah pesawat F-22 kembali terbang, Kapten Jeff "Bong" Haney, 31, meninggal ketika pesawat tempurnya jatuh dalam misi uji terbang malam di Alaska. Investigasi Angkatan Udara menemukan bahwa pasokan oksigen Haney berhenti secara otomatis setelah komputer di pesawat mendeteksi sebuah kebocoran pada mesin/engine. Pada laporan juga mengatakan Heney tidak menarik handle kecil yang akan mengaktifkan sistem oksigen darurat dan tidak menlontarkan diri keluar pesawat.

Laporan AU-AS menyalahkan kecelakaan pada kegagalan Haney untuk dapat  mengendalikan kembali atas pesawat tersebut. Janda Haney telah mengajukan gugatan kematian yang menyalahkan pabrikan F-22 Lockheed Martin dan perusahaan kontraktor pertahanan lainnya.

Martin, Lyon dan Mayjen Noel "Tom" Jones memuji Raptor F-22 yang mahal ini sebagai teknologi terdepan.

Namun Lyon mengatakan mereka akan menyelidiki dengan bekerjasama Angkatan Laut, yang telah mengalami masalah serupa dengan F-18 mereka - untuk mencari tahu apa yang penyebabkan pesawat kehilangan oksigen.

Masalah Teknis Pada F-35
Maka kasus jatuhnya F-35A Jepang, para pengamat ahli memperkirakan kemungkinan adanya kemungkinan otentikasi internal penanggalan pada komputer host memiliki masalah, dan seluruh perangkat lunak sistem tidak dipertimbangkan pada saat penulisan, dan detail kecil ini tidak dipertimbangkan.

Justru Bug kecil ini (kerentanan) yang kemungkinan penyebab seluruh perangkat keras pesawat dan semua sistem perangkat lunak tiba-tiba crash. Maka ketika pilot berteriak, semua tidak bisa mendengarnya.

Karena sinyal tidak bisa lewat. Dan seluruh sistem perangkat lunak terdapat masalah, akibatnya pada titik ini semua ujung kendali semuanya lumpuh dan diluar kendali.

Kini kecelakaan F-35A Jepang tiba-tiba memicu serangkaian reaksi. Siapa seharusnya bertanggung jawab atas jatuhnya jet "Lightning II" ini?

Menurut Kemenhan Jepang, ini adalah kecelakaan F-35A pertama di dunia, Komite Investigasi Kecelakaan Lintas Udara akan menyelidiki penyebabnya.

Menhan Jepang Takeshi Iwaya mengtakan pihak Jepang perlu bekerjasama dengan pihak militer AS. Pesawat tempur yang jatuh di Jepang kali ini berasal dari raksasa militer AS Lockheed Martin,  Pasukan Bela Diri Jepang membeli pesawat tempur F-35 pertama yang dirakit di Jepang,  pada upacara akbar yang diadakan oleh Mitsubishi Heavy Industries dua tahun lalu, yang menunjukkan pesawat tempur itu ke dunia luar.

Untuk kecelakaan ini Lockheed Martin merespond bahwa mereka akan memberikan dukungan yang diperlukan kepada Angkatan Udara Bela Diri Jepang, dan seorang perwakilan dari Mitsubishi Heavy Industries mengatakan bahwa mereka tidak menanggapi insiden tersebut. Perlu disebutkan bahwa meskipun F-35A adalah kecelakaan pertama. Tapi "saudara" lainnya sudah pernah jatuh sebelumnya.

Seperti yang telah disebut di atas pada September tahun lalu, Korps Marinir AS F-35B jatuh selama pelatihan di California Selatan karena kegagalan pipa bahan bakar, dan pilot berhasil melontarkan diri keluar dengan selamat.

Kyodo News Jepang melaporkan bahwa pemerintah Jepang sebenarnya berencana untuk membeli 105 pesawat tempur F-35A. Selanjutnya menyusul, membeli 42 pesawat tempur F-35B, tapi kecelakaan ini dapat memengaruhi pembelian di masa mendatang.

F-35A Jepang yang jatuh ini, suku cadang dan bagiannya dipasok oleh Amerika Serikat dan kemudian dirakit pada jalur produksi domestik Jepang. Apakah ada perbedaan sangat besar antara pesawat asli ini dan mesin rakitan? Apakah konsep yang mereka hadapi sehari-hari akan sama?

Pada umumnya akan ada perbedaan kecil, dan akan ada beberapa tempat yang tidak memuaskan, namun tidak akan ada perbedaan yang mendasar.

Pertama-tama dapat dikatakan memang desain F-35 AS ini ada cacat, jika tidak ada cacat pasti tidak akan tercermin pada AU-AS.

Ada kabar bahwa terdapat seribuan cacat, jadi cacat besar seperti itu tidak menjadi masalah dalam perakitan, tapi dalam hal ini merupakan masalah desain. Masalah bawaan desain tidak akan bisa diselesaikan cepat dengan hitungan hari, besok atau lusa. Jika bukan karena kesalahan desain puluhan tahun, tidak mungkin terjadi begitu banyak masalah.

Maka tidaklah heran jika Amerika akan menimpakan kesalahan ini sepenuhnya kepada Mitsubishi Heavy Industries atas jatuhnya F-35A Jepang, yang akan membuat Jepang tidak bisa membantah.

Tetapi jika dikatakan bahwa ada ketidak cocokan dalam proses lini produksi, apakah itu tidak terpantau? Apakah tidak ada kontrol kualitasnya (QC) atau tempat-tempat produksi tidak diawasi. Kalau memang demikian, maka perlu diperiksa kembali.

Tapi jika melihat kebelakang orang Amerika telah melakukan ini dengan benar? Sedang para pengamat melihat AU Lockheed Martin sendiri apakah sudah tidak ada masalah, jadi mereka perlu untuk merenungkan apakah desain F-35 masih perlu adanya banyak hal untuk diperbaiki.

 "Mail Online" pada 6 Mei ada memberitakan: Sebuah laporan 2018 dari Unit Pengujian dan Evaluasi Operasional Pentagon mengungkap sejumlah masalah dengan ketiga versi F35.

Umur layanan F-35B "mungkin serendah 2.100 (jam)," seperempat dari yang diharapkan, karena masalah struktural. Beberapa jet diperkirakan mencapai batas usia layanan mereka dan perlu pensiun pada awal 2026.

Masalah reliabilitas berarti bahwa F-35 seringkali tidak cukup dalam sirkulasi bagi pilot untuk menggunakannya dalam pelatihan. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan sangat tinggi. Laporan mengatakan tidak ada 'tren peningkatan' ketersediaan pesawat untuk terbang pelatihan atau misi tempur.

Pengujian keamanan siber mengindikasikan bahwa ada beberapa kerentanan yang "belum diatasi".

Pengujian yang dilakukan pada serangan udara ke darat menunjukkan tingkat akurasi "tidak dapat diterima".

Pilot terpaksa berurusan dengan "masalah yang meluas" setiap hari. Direktur kantor tes Robert Behler mengatakan dalam penilaian bahwa perbaikan dalam sistem pemeliharaan "masih belum diterjemahkan ke dalam peningkatan ketersediaan".

Penjabat Sekretaris Pertahanan Patrick Shanahan sebelumnya menyatakan bahwa F-35 "memiliki banyak kesempatan untuk kinerja lebih tinggi". Shanahan juga mengatakan: "Saya bias memberi para pembayar pajak nilai uang mereka."

Alat perawatan terkomputerisasi yang dikenal sebagai "ALIS" belum "berfungsi sebagaimana mestinya." Beberapa data ALIS dan defisiensi fungsi telah menyebabkan masalah keandalan "signifikan". Kinerja keseluruhan dikatakan "jauh di bawah" tolok ukur yang ditetapkan oleh Pentagon.

Namun, kita telah melihat bahwa Jepang sangat mementingkan perakitan F-35A pada tahun yang sama, dan juga mencoba untuk menarik banyak perhatian. Dikatakan bahwa ini adalah tingkat kemampuan Jepang untuk memproduksi pesawat, terutama pesawat tempur siluman generasi baru. Ada acara ikonik seperti ini. Selain itu, dikatakan bahwa F-35A ini telah dikatakan oleh beberapa media bahwa itu adalah "pesawat kompetitif" di Jepang. Tetapi, justru "pesawat yang kompetitif" ini sekarang telah jatuh dan menewaskan pilotnya, jadi apa kiranya dampak dari kecelakaan ini pada industri penerbangan Jepang?

Sumber: www.prpchannel.com
Sumber: www.prpchannel.com
Banyak pengamat yang memperkirakan dampaknya akan sangat besar sekali dan bahkan mungkin menghancurkan. Setelah kejadian jatuhnya F-35A pada 9 April, banyak pihak yang mempertanyakan perusahaan yang bertanggung jawab atas pasokan mesin pesawat ini, adalah IHI sebenarnya adalah Perusahaan Penyiaran Ishikawajima.

Dan kali ini, mesin diproduksi dibawah lisensi, jadi tentu tanggung jawabnya akan dilemparkan pada mereka.

Selain itu pada 6 Maret "The Asahi Shimbun" ada memberitakan bahwa IHI Corp. Pemeriksaan Mesin pesawat dilakukan oleh karyawan yang tidak berlisensi ditemukan ketika kementerian melakukan inspeksi di tempat di pabrik Mizuho perusahaan di Mizuho, Tokyo barat, mulai 10 Januari.

Fasilitas ini adalah pabrik layanan pemeliharaan berlisensi pemerintah dan menangani sekitar 150 pesawat setiap tahun dari maskapai domestik dan luar negeri.

All Nippon Airways Co., Japan Airlines Co., Jetstar Japan Co. dan Fuji Dream Airlines semuanya mengalihdayakan pekerjaan pemeliharaan mereka ke pabrik IHI.

Menurut IHI dan kementerian, pekerjaan pemeliharaan berkala diperlukan untuk mesin pesawat terbang.

Pekerjaan pabrik ini melibatkan pembongkaran dan pemasangan kembali komponen, memeriksa kecacatan, perbaikan, operasi pembersihan dan pengujian.

Peraturan IHI menyatakan bahwa setiap proses diharuskan dilakukan oleh karyawan (berlisensi) yang memiliki ijin untuk tugas tertentu berdasarkan undang-undang penerbangan.

Tetapi beberapa sumber mengatakan didapat saat inspeksi di tempat mengungkapkan bahwa karyawan yang tidak berlisensi terlibat dalam memeriksa kecacatan, membongkar bagian-bagian dan memperbaiki mesin.

Kementerian mencurigai pabrik itu berusaha menutupi kesalahan itu karena dalam beberapa kasus, segel pemegang lisensi diletakkan pada dokumen untuk pekerjaan yang dilakukan oleh staf yang tidak berlisensi.

IHI mengeluarkan pernyataan pada 5 Maret yang mengatakan sedang melakukan penyelidikan atas masalah ini.

Kondisi perusahaan IHI yang demikianlah yang diserahi untuk menangani mesin F-35A yang dirakit di Jepang.

Menurut pernyataan dari Kementerian Pertahanan, Infrastrutur dan Transportasi Jepang sangat jelas memberitahukan bahwa rasio terkahir yang diberikan adalah 75% dari mesin yang disediakan tidak memenuhi syarat. Jika kita menghitung 34 unit mesin itu akan menadi masalah besar. Rasio ini terlalu tinggi.

Itu berarti menunjukkan adanya bagian produk mesin sebanyak 13.000 bagian yang dibawah standar. Jadi jika melihat situasinya seperti ini, kemungkinan adanya masalah pada mesin pesawat sangat mungkin. Misalnya dalam lisensi produksi, termasuk proses produksi, prosedur, termasuk bahan baku, seluruh kepatuhan, itu adalah seluruh proyek. Dalam hal pemesanan, apakah mungkin untuk memiliki beberapa masalah, dan ini hanya akan jelas setelah diselidiki.

Apa Tujuan Dari Jepang Bersikukuh Untuk Memproduksi J-35

Sejak 15 Desember 2015, Mitsubishi Heavy Industries (MHI) telah mengkonfirmasi memulai melakukan perakitan F-35 atau disebut FACO (final assembly and check-out facility).

38 jet F-35As akan dirakit dan dikirim dari fasilitas MHI yang telah dikembangkan sejak 2013.

Saat itu meskipun juru bicara MHI mengatakan perusahaan tidak akan mengomentari perkembangan, Lockheed Martin mengatakan bahwa saat itu mereka bekerja sama dengan perusahaan Jepang untuk menyelesaikan fasilitas FACO dan "memasang peralatan yang tersisa dan peralatan yang diperlukan untuk merakit dan mengirimkan pesawat F-35A dari Jalur perakitan Jepang ". Perusahaan AS juga menyediakan bantuan teknis dan pelatihan tenaga kerja.

Selain memproduksi F-35 untuk JASDF (AU Pasukan Bela Diri Jepang) , fasilitas FACO akan menyediakan perawatan, perbaikan, perombakan, dan peningkatan layanan ke F-35 yang berbasis di wilayah Asia-Pasifik Utara sesuai dengan keputusan Departemen Pertahanan AS pada Desember 2014. Diharapkan di mulai dari 2018.

Pabrik MHI FACO berbasis di MHI Nagoya Aerospace Systems Works Pabrik Komaki Minami di Prefektur Aichi, yang digunakan untuk membangun pesawat tempur multi-role F-2, yang dikembangkan pada 1990-an bersama-sama dengan Lockheed Martin.

Jalur produksi ini harus dikatakan biayanya sangat tinggi, ratusan miliar yen diinvestasikan di dalamnya, apa yang diinginkannya adalah bahwa di masa depan mereka benar-benar dapat membawa keuntungan dari bisnis ini untuk F-35A di wilayah Asia-Pasifik, sebagai basis produksi, basis perawatan, maka sebenarnya dapat mengembalikan uang yang diinvestasikan ini.

Tapi dengan terjadinya insiden ini, Lockheed Martin AS di kemudian hari jika ingin mengandalkan MHI untuk tujuan di atas ini, maka MHI akan dituntut untuk berinvestasi dengan skala lebih besar. Jadi situasi demikian akan menjadi masalah besar. Ini adalah suatu sinyal buruk.

Jepang Sangat Mengharapkan Program F-35 

Untuk memperbarui kemampuan tempur udaranya, pihak Jepang sangat mengharapkan dengan  harapan tinggi F-35A untuk menggantikan pesawat tempur lamanya F-4J.

Menurut rencana sebelumnya, batch pertama 42 jet F-35As akan dikerahkan di pangkalan Misawa, kemudian akan ditambah lebih dari 80 pesawat, yang kelak akan menjadi pangkalan udara "terkuat di Asia."

Menhan Jepang mengatakan bahwa pengenalan pesawat tempur F-35A sangat penting dalam konteks peningkatan kecepatan kemampuan tempur udara "negara-negara di sekitar" tahun ini. Tidak hanya itu, Kementerian Pertahanan Jepang rencana mengembangkan kapal induk (helikopter) "Izumo", dan akan menempatkan 42 pesawat tempur F-35B yang bisa lepas landas dan mendarat secara vertikal dalam jarak pendek.

Selain membeli F-35 itu sendiri, Jepang masih mencari rudal jelajah yang dapat diluncurkan melalui udara untuk meningkatkan kemampuan ofensif.

Selain itu, militer AS sendiri juga telah meningkatkan penyebaran F-35 di Jepang. Dari 2017, militer AS yang ditempatkan di Jepang memindahkan 12 F-35As dari AS ke Okinawa Kadena, dan kemudian Skuadron ke-121 Korps Marinir AS di Negara Bagian Rock Jepang juga menggantikannya dengan F-35B.

Selain itu, pada 29 Maret tahun ini, Angkatan Udara Korea Selatan menerima dua pesawat tempur F35A. Pada bulan yang sama, militer Singapura mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan F-35 untuk menggantikan pesawat tempur F-16 yang ada. Akibatnya, F-35 akan muncul secara masif dan intensif di wilayah udara Asia-Pasifik.

Dengan jatuhnya J-35 "Lighting II" keinginan Jepang untuk menciptakan jet tempur siluman dan superioritas udara akan sangat membuat frustrasi.

Akankah Strategi AS Untuk Membangun "Eagle Wall dan Eagle  Chain" Menjadi Berantakan?

AS bermaksud menciptakan "Eagle Wall dan Eagle Chain" di seluruh kawasan Asia-Pasifik, dan bahkan berencana untuk skala 300 jet tempur siluman "Lightning II"

Tapi sekarang dengan keadaan F-35 masih dalam keadaan seperti ini, tampaknya langkah ini terlihat terlalu besar dan mencemaskan.

Dengan serangkaian kejadian yang telah terjadi terhadap F-35 selama ini, tamnpaknya mempengaruhi kelanjutan dari pembelian pesawat ini bagi Jepang dan Korsel, bahkan bagi sekutu AS lainnya.

Terutama bagi Korsel, karena sekarang dalam tahap pengiriman, dan kecepatan pengiriman relatif lambat. Artinya, dua pesawat per bulan, untuk 42 pesawat dapat terkirim penuh sekitar pada tahun 2021.

Jadi apa Korsel dalam proses menerima satu per satu akan mengusulkan untuk mengubah jumlah pesanan, atau setelah pengiriman selesai apakah berkeinginan untuk menambah jumlahnya, ini semua akan menjadi variabel selama dalam proses pengirim belum selesai.

Setelah menunggu laporan investigasi, jika memang terjadi pada pesawat atau kesalahan desain awal pesawat, maka perlu diubah, perubahan ini biasanya memerlukan waktu yang tidak pendek.

Maka dari itu, startegi "Rantai Elang/Eagle Chain" harus moratoirum dulu, dan kemampuan tempurnya harus benar-benar diabaikan.

Jadi AS semula sangat merasa strategi ini sangat cantik, awalnya F-35 dilihat sangat diandalkan, tetapi kini menjadi tak terbayangkan. Demikian bagi Jepang yang tadinya berencana mengganti jet tempurnya yang sudah tua yang menjadi tulang punggungnya.

Tapi kini kekuatan tulang punggung ini memiliki masalah, termasuk dalam segi dana, teknologi, termasuk SDMnya, sekarang menjadi banyak faktor yang tidak diketahui, jadi para pengamat memperkirakan akan berdampak sangat besar bagi pertahanan Jepang.

Seperti pilot F-35 Jepang yang jatuh baru-baru ini, dia merupakan pilot tingkat tiga dan berpangkat mayor, dan sudah berumur 41 tahun. Dengan umur 40an  refleksinya biasa tidak cepat seperti orang muda 20 atau 30 tahunan. Tapi dia sudah mengatongi 3200 jam terbang. Dari segi pengalaman cukup kaya, sudah menjadi pilot berpengalaman.

Biasanya pada umumnya pilot dengan pengalaman 800 hingga 1200 jam terbang akan dianggap "half hangger/setengan menggantung" kecelakaan sering terjadi pada pilot yang berjam terbang ini. Dan pilot dengan lebih dari 2000 jam terbang dia sudah "termasuk pilot senior" berpengalaman, jarang melakukan kesalahan atau terjadi kecelakaan karena human error, karena secara psykologis sudah relatif tenang dan stabil. Maka seharusnya tidak ada masalah dalam berurusan secara teknis dalam berbagai situasi,

Masalahnya sekarang adalah bahwa jika F-35A akan di-grounded, maka semua pilotnya jika akan melanjutkan terbang lagi harus dimulai dari awal begitu diinterupsi. Jika masalahnya baru teratasi selama sebulan kemudian, maka terjadi penangguhan selama satu bulan. Setelah satu bulan lebih tanpa terbang, maka pilot diharuskan dimulai lagi dari takeoff landing dari tingkat awal.

Dan situasi ini biasanya merepotkan, dari terbang teknis, interupsi, formasi, pertarungan di udara, semuanya harus dari awal lagi, ini sangat merepotkan dan menyusahkan bagi pilot maupun personil gound handling.

Kemampuan bertempur harus dimulai lagi dari nol. Ini biasanya sangat mejengkelkan untuk membentuk kekuatan tempur dari awal kembali.

Jadi hal demikian ini akan menyebabkan kecemasan besar di Jepang. Mereka telah melakukan pembelian batch pertama ini dan harus menunggu terbentuknya skuadron tempur F-35, yang akan dikembangkan pada F-35B untuk dikerahkan pada Kapal Induk Helikopter mereka "Izumo" yang menjadi sangat diharapkan Pasukan Beladiri Jepang. Namun dengan tiba-tiba harus kembali lagi dari nol, kerugian ini menjadi pukulan sangat besar. Selain itu bagi AS juga mendesak untuk mempromisi proyek F-35.

Hal ini bisa dimengerti seperti yang telah kita ketahui, proyek ini sudah berapa tahun dieksekusi dan kini tampaknya kesabarannya sudah habis. Selama lebih dari satu dekade atau 13 tahunan melakukan uji terbang dari tahun 2006, jika mengikuti penelitian dan pengembangan awal itu akan memakan waktu 20 tahun sampai sekarang.

Ini sebenarnya proyek yang sulit yang akhirnya didorong hingga saat ini. Tetapi terakhir ini justru terjadi insiden-insiden fatal, sehingga akan sangat mengganggu bahkan membuat berantakan rencana strategi "Eagle Wall dan Eagle Chain" untuk Indo Pasifik AS dalam rangka pengepungan Korut, Tiongkok, (mungkin juga Indonesia?).....

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri, antara lain:

fighterjetsworld.com

prpchannel.com

aviationanalysis.net

aviationanalysis.net

stripes.com

asahi.com

defensenews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun