Tapi kini Presiden Filipina yang baru terpilih Rodrigo Duterte, mempunyai pandangan lain untuk masalah isu Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok. Duterte lebih menghndakin bernegosiasi dengan Tiongkok dan bersedia untuk mengemsampingkan isu perdebatan kedaulatan dalam pertukaran untuk konsesi ekonomi Tiongkok. Ia menentang untuk berperang dengan Tiongkok dan tidak mengajurkan penggunaan jalan hukum untuk menegakkan klaim Filipina. Sebaliknya, lebih suka melakukan pendekatan multilatheral yang akan membawa rival pengaduan saingan dan bahkan kekuatan ekstra-regional ke meja perundingan. Pandangan ini meskipun bukan baru, tampaknya memberi sinyal perubahan radikal dalam hubungan Filipian-Tiongkok.
Namun, dalam kenyataanya sebagian besar negara-negara ASEAN tidak ingin suaranya dikendalikan AS, dan tidak bersedia mengambil pada satu sisi untuk masalah AS-Tiongkok. ASEAN mempunyai kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengatasi urusan internal, dan tidak perlu kekuatan luar memaksa dan mengatur mereka.
Dari 20 s/d 24 April 2016, Menlu Tiongkok, Wang Yi menerima undangan untuk berkunjung ke Brunei, Kamboja, dan Laos. Selama kunjungan ini mengadakan pertukaran pendapat dengan tiga negara ini untuk situasi Laut Tiongkok Selatan saat ini, dan mencapai empat point konsensus.
Point pertama, Tiongkok dan tiga negara ini percaya bahwa pluau-pulau Nansha tidak ada masalah antara Tiongkok dan ASEAN, juga tidak mempengaruhi hubungan mereka.
Point kedua, Tiongkok dan tiga negara ini semua menghormati hak dari masing-masing negara untuk memilih cara mereka sendiri untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum internasional, dan tidak menyetujui secara sepihak/unilateral memaksa metode atau cara tertentu.
Selain itu, Tiongkok dan tiga negara ini semua percaya dengan Pasal 4 dari “Declaration on the code of Conduct on the South China Sea,”, dimana pihak-pihak yang secara langsung terlibat harus melakukan dialogue dan konsultasi untuk kepentigannya menyelesaikan perselisihan territorial dan maritim.
Tiongkok dan tiga negara ini semua percaya bahwa Tiongkok dan negara-negara ASEAN memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan.
Analis dan pengamat melihat bahwa kebanyakan negara ASEAN tidak menyetujui cara-cara seperti yang dilakukan Filipina, dimana mereka mengambil sikap sengketa bilateral dengan Tiongkok, dengan menjadikan multilateral, selain itu juga coba mengaitkan dengan ASEAN.
Tampaknya negara-negara ASEAN lain juga menentang perilaku ini, jadi tidak mengherankan jika ketiga negara ini semua mencapai konsensus dengan Tiongkok, yang menghendaki isu Laut Tiongkok Selatan seperti yang dikehendaki sudah menuju arah yang tepat, obyektif, dan perubahan yang terkontrol.
Dengan kata lain mereka tidak menghendaki yang dilakukan Filipina dan AS untuk masalah Laut Tiongkok Selatan ini. Yang mencoba menarik ASEAN yang menjadi kekuatan strategis di kawasan Asia-Pasifik ini. AS memang berusaha menjadikan sengketa teritorial di Laut Tiongkok dijadikan “masalah ASEAN” dan menggunakan ASEAN untuk sama-sama menentang Tiongkok.
Pada 15 Pebruari 2016, AS mengadakan pertemuan informal dengan para pemimpin ASEAN di California, AS. Peserta ASEAN dalam pertemuan mengungkapkan bahwa AS dalam membuat pernyataan berusaha untuk menyebutkan Tiongkok dan Laut Tiongkok Selatan dalam sebuah pernyataan bersama dalam pertemuan, dan menuliskan serangkaian “aturan” dan “prinsip-prinsip” bahwa AS telah merencanakan ke dalam dokumen, untuk menciptakan pengaruh politik besar.