Setelah guncang reda dan kekuatanku kembali, aku baru sanggup bersuara.
"Tapi kau tahu aku tidak mencintaimu, Hen."
Hen mengangguk.
"Aku cinta Ryan. Sangat. Kami sudah sembilan tahun bersama sebelum kita menikah."
Hen mengangguk lagi.
"Apa yang kau cari? Apa kau tidak takut mati oleh cemburumu sendiri?"
"Aku cemburu, saat ini pun kau membakar hatiku," ucap Hen cepat, "tapi selama kau masih bersamaku, kau selalu berhak mendapat yang terbaik yang aku bisa lakukan. Hanya yang terbaik. Selama kau masih bersamaku."
Dan Hen menang. Ia memilin sendiri rantai pengikatnya untukku. Hen seperti buta, tak melihat suka ataukah tidak aku pada tiap laku kasihnya terhadapku. Hen tuli, ia tak mendengar sehebat apapun aku mencaci kesalahan-kesalahannya. Hen lumpuh, tiada kuasa membalas apapun diri ini goreskan pada hati dan jiwanya yang murni. Terus begitu, dan terus begitu. Dan aku kalah, bertekuk lutut pada ketulusannya.
***
Ibu tergopoh mendatangiku yang muntah di westafel.
"Kau sakit?"