Aku menggeleng. Ia menyodorkan segelas teh manis hangat.
"Aku hamil."
Ibu melenggong. Jeda beberapa jenak menyekat kami sebelum akhirnya Ibu memelukku erat dan mengucap banyak sekali kosakata syukur.
"Selamat ya, kalian berhasil. Tak ada yang sia-sia dari kesabaran, bukan?"
Airmatanya menggenang saat aku menjawab dengan senyum.
"Hen sudah tahu?"
Aku diam, lalu menggeleng sambil mengusap sisa peluh.
"Segera beritahu dia. Hen pasti sangat senang."
Lagi aku menyuguhkan senyum kecil. Ya, aku menjawab dan segera berlalu.
Di kamar suara Ibu bergema-gema dalam kepala. Hen pasti senang, Hen pasti senang. Aku mengernyit. Menerbitkan harap pada kenyataan seperti itu aku jadi merasa bagai si buta yang berusaha merumuskan jumlah gemintang.
Jikapun tidak mustahil, tapi aku dan Hen bukan lagi pasangan yang baru saja menikah dan mencicip madu-madu rumah tangga. Tujuh tahun terlalu badai bagi biduk kami. Aku sendiri tak juga mengerti di mana rumah tangga ini terdampar kini.