Dan aku merasa semua ini benar-benar sial. Aku pulang demi tenang, bukan semakin rusuh dengan masalah-masalah yang terus saja menjurang jarak antara aku dan Hen. Tapi apa daya jika setiap inci rumah ini justru membuka lebih banyak lagi lembar getir yang seolah kemarin belum sempat terpindai oleh mataku.
Aku bisa menghindar dari sosok Hen, tapi tidak dengan bayangannya.
***
"Sudah kau telepon?" Ibu mendekat. Acara tasyakur tiga bulan kehamilanku barusaja usai. Sejak pagi ia terus berisik agar aku tak lupa menghubungi Hen.
"Sudah kukirim pesan."
Sekilas aku melihat alis Ibu bertaut, "Apakah tak ada jeda sedikitpun agar Hen sempat berhenti dari pekerjaannya dan sekedar meneleponmu?"
Aku mengedik bahu, "Tanpa telepon Hen semua tetap baik-baik saja, Bu."
Binar harap Ibu seketika berubah mendung mendengar jawaban yang kuberikan.
Aku memang sudah berkirim pesan pada Hen, tapi bukan untuk kabar hari ini. Sekedar pesan biasa. Berpura-pura mengingatkan tagihan listrik, air dan membayar pajak, yang tentu tak akan pernah dibalas oleh Hen, sebab ia jauh lebih sering ingat semua itu daripada aku.
Aku tak tahu adakah Ibu curiga pada aku dan Hen. Aku hanya tetap berusaha menjadi anak manis bagi orangtuaku, juga (masih) menantu yang baik bagi keluarga mertua. Hen pun sama kuduga, ia pasti tak akan bicara apapun tentang kami pada keluarganya.Â
Bagaimanapun, perjodohan ini tetaplah ideal bagi dua keluarga terhormat dan terpandang di masyarakat. Tak pernah ada prahara rumah tangga yang sampai ke telinga mereka, termasuk saat ini. Meski belakangan aku semakin tak tahu untuk apa sebenarnya ini semua.