***
Sayangnya waktu kerap tak memberi ampun pada tiap harapan agar semua tak terjadi, terlebih harapanku. Sembilan bulan kandungan tak mungkin akan dapat kutahan agar tetap di sana. Kontraksiku menghebat pada subuh buta, dan pagi itu aku resmi menjadi ibu, sebuah perihal yang Ibu tak mungkin tidak menghubungi Hen. Segera setelah aku melahirkan, Ibu adalah yang paling sibuk menghubungi Hen.
Aku tak tahu apa yang dikatakannya, Hen tak banyak bicara di telepon. Tapi sore ini dia datang, menjatuhkan jantungku hingga ke lantai saat melihat sosoknya muncul dari balik pintu bersama Ibu.
Dengan bangga Ibu menggendong anakku dan menyerahkannya pada Hen,untuk kemudian terheran sebab tak seujung jari pun tangan Hen tergerak menyambutnya, melainkan matanya terus mencangkungku dengan tatap yang paling sulit diterjemahkan. Ruang ini jadi begitu kelabu, aku merasa Hen tengah menghakimiku begitu rupa.
"Apa anak Ibu tidak pernah cerita?"
Ibu terkejut. Hen tak hanya tampak berang dalam segala raut wajah dan isyarat tubuhnya. Hen telah berubah. Â
"Hm?", Ibu menggeleng, diam, menentang mata Hen yang marah.
"Saya kembalikan dia pada Ibu."
Masih, raut Ibu tak mengisyaratkan apapun selain mencoba memahami apa yang tengah terjadi.
"Bicara apa kau, Hen?"
"Silakan tanya pada anak Ibu yang terhormat."