Pada akhir tahun 2024, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan Presiden Joko Widodo dalam nominasi pemimpin terkorup dunia. Selain Jokowi, nominasi ini juga mencakup Presiden Suriah Bashar Al-Assad, Presiden Kenya William Ruto, dan mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina.
Menanggapi hal ini, Presiden Jokowi mempertanyakan dasar tuduhan tersebut dan meminta bukti konkret atas klaim yang dilontarkan. Beliau menekankan bahwa tuduhan tanpa bukti merupakan fitnah dan framing jahat yang tidak berdasar.
Budaya Politik dan Korupsi di Indonesia
Korupsi telah menjadi tantangan serius di Indonesia, mengakar dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks politik, terdapat pandangan bahwa tanpa praktik korupsi, penguasa sulit membagi "remah kekuasaan" kepada pendukungnya. Jika tidak mampu melakukan distribusi semacam itu, legitimasi di mata rakyat dan dukungan dari partai politik dapat terancam.
Praktik patronase dan clientelism sering kali menjadi mekanisme di mana sumber daya negara didistribusikan untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini menciptakan siklus di mana korupsi dianggap sebagai alat untuk menjaga stabilitas politik dan dukungan, meskipun merugikan kepentingan publik dan integritas institusi negara.
Â
Contoh Kasus Korupsi di Indonesia
Berikut adalah beberapa kasus korupsi signifikan di Indonesia selama periode 2012-2024:
1. Kasus Penyerobotan Lahan di Riau (2022)
Pelaku: Surya Darmadi, pemilik Grup Duta Palma.
Modus: Penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare tanpa izin selama 2003-2022.
Kerugian Negara: Rp104,1 triliun.
Putusan: Surya Darmadi divonis 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp39 triliun.
2. Kasus PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) (2015)
Pelaku: Honggo Wendratno, mantan Direktur Utama PT TPPI.
Modus: Penunjukan langsung penjualan kondensat bagian negara tanpa prosedur yang benar antara 2009-2011.
Kerugian Negara: US$2,7 miliar (setara Rp35 triliun).
Putusan: Honggo Wendratno divonis 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan, serta diwajibkan membayar ganti rugi Rp97 miliar.
3. Kasus Korupsi PT Asabri (2021)
Pelaku: Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro.
Modus: Penyimpangan dana investasi PT Asabri antara 2012-2019.
Kerugian Negara: Rp22,78 triliun.
Putusan: Benny Tjokrosaputro dijatuhi pidana seumur hidup dalam kasus lain (Jiwasraya), sementara Teddy Tjokrosaputro divonis 17 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
4. Kasus Korupsi Bantuan Sosial COVID-19 (2020)
Pelaku: Juliari Batubara, Menteri Sosial saat itu.
Modus: Penerimaan suap dari penyedia bantuan sosial COVID-19.
Kerugian Negara: Diperkirakan Rp32,482 miliar.
Putusan: Juliari divonis 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp14,5 miliar. Pada Agustus 2023, ia mendapatkan remisi 4 bulan.
Masuknya Presiden Joko Widodo dalam nominasi pemimpin terkorup dunia oleh OCCRP menimbulkan pertanyaan serius mengenai persepsi korupsi di Indonesia. Meskipun beliau telah membantah tuduhan tersebut dan meminta bukti konkret, fenomena ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Budaya politik yang mengandalkan patronase dan distribusi sumber daya melalui jalur tidak resmi memperumit upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Kasus-kasus korupsi besar yang terjadi antara 2012 hingga 2024 menunjukkan bahwa tanpa reformasi struktural dan komitmen kuat dari semua elemen bangsa, korupsi akan terus menjadi hambatan signifikan bagi kemajuan Indonesia.
Apakah "Tuduhan" Ini Dapat Menjadi Informasi Awal bagi KPK?
"Tuduhan" yang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pemimpin terkorup dunia oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) tentu memancing reaksi luas. Namun, pertanyaannya adalah apakah tuduhan ini dapat menjadi informasi awal bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan investigasi?
Dalam hukum Indonesia, berdasarkan Pasal 1 Ayat (24) UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, informasi awal dapat dijadikan dasar penyelidikan jika terdapat bukti permulaan yang cukup. Bukti ini mencakup data, dokumen, atau keterangan yang dapat mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Artinya, tuduhan atau nominasi saja tidak cukup tanpa bukti konkret.
Tantangan Bagi KPK
1. Kredibilitas Tuduhan
OCCRP adalah organisasi internasional yang memiliki rekam jejak dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Namun, untuk konteks hukum di Indonesia, KPK memerlukan data dan bukti yang spesifik serta dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Jika OCCRP atau pihak lain memiliki bukti yang kuat, hal ini dapat menjadi dasar bagi KPK untuk memulai penyelidikan.
2. Imunitas Jabatan Presiden
Dalam sistem hukum Indonesia, seorang presiden memiliki imunitas selama masa jabatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7B UUD 1945, di mana seorang presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, KPK memerlukan langkah ekstra hati-hati jika ingin menyelidiki seorang presiden yang sedang menjabat. Adapun terhadap mantan presiden tentu lain soal.
3. Isu Politik dan Persepsi Publik
Tuduhan seperti ini bisa jadi dipolitisasi, baik untuk menyerang maupun membela pihak tertentu. Oleh sebab itu, KPK harus memastikan bahwa setiap langkah penyelidikan bebas dari pengaruh politik dan hanya berfokus pada bukti hukum.
Mendorong Transparansi
Tuduhan ini dapat menjadi momentum bagi KPK untuk memperkuat transparansi dalam penanganan kasus korupsi di level tertinggi. Jika memang ada dugaan kuat terhadap petinggi negara, KPK diharapkan mampu bekerja independen dan tanpa tekanan politik. Di sisi lain, pemerintah juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membuktikan integritasnya dengan memberikan akses penuh bagi lembaga pengawas untuk melakukan investigasi, jika memang diperlukan.
"Tuduhan" terhadap Presiden Joko Widodo memang tidak dapat langsung menjadi dasar penyelidikan tanpa bukti konkret. Namun, jika OCCRP atau pihak lain dapat memberikan bukti pendukung, KPK memiliki wewenang untuk menyelidiki dugaan tersebut, tentunya dengan tetap mematuhi koridor hukum yang berlaku. Lebih jauh, ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama dalam pemerintahan untuk mencegah tuduhan serupa di masa depan.
Apakah Praktik Korupsi di Indonesia Sudah Menjadi Budaya?
Korupsi di Indonesia sering kali disebut-sebut sebagai "budaya," karena telah mengakar dalam berbagai lini kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini mencerminkan fenomena di mana praktik korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), melainkan dianggap sebagai hal yang biasa atau bahkan lumrah.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 berada di angka 34 dari 100, yang mengindikasikan tingkat korupsi yang masih tinggi. Banyak kasus korupsi di Indonesia terjadi di tingkat elite hingga lokal, melibatkan pejabat tinggi, politisi, dan bahkan aparat penegak hukum. Jika praktik korupsi ini terus berulang tanpa ada sanksi yang tegas dan reformasi struktural, ia berpotensi menjadi bagian dari sistem sosial, menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah mekanisme informal yang diterima dalam berpolitik dan mengelola kekuasaan.
Apakah Perlu Ditiadakan atau Justru Dipelihara?
Pertanyaan ini mencerminkan dilema moral dan pragmatis yang mencuat dalam diskusi tentang korupsi. Berikut adalah dua perspektif yang dapat dipertimbangkan:
1. Memelihara Korupsi untuk Stabilitas Politik dan Insentif
Ada pandangan pragmatis yang menyebut bahwa korupsi memberikan "oli" dalam sistem politik, yaitu menjadi insentif bagi aktor politik untuk tetap berpartisipasi dalam sistem. Dengan adanya peluang untuk mendapat keuntungan pribadi, para politisi dan birokrat mungkin lebih termotivasi untuk menjalankan fungsinya. Dalam konteks Indonesia, sistem patronase dan distribusi kekuasaan sering kali bergantung pada praktik korupsi untuk memastikan "keharmonisan" antara partai politik, pendukung, dan konstituen.
Namun, meski tampak pragmatis, memelihara korupsi membawa konsekuensi serius. Praktik ini akan terus melanggengkan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, dan erosi kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Pada akhirnya, ini melemahkan legitimasi demokrasi dan menciptakan siklus di mana hanya mereka yang "siap korupsi" yang tertarik masuk ke dunia politik.
2. Meniadakan Korupsi untuk Pemerintahan Bersih
Sebaliknya, memberantas korupsi adalah langkah yang ideal untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, efisien, dan berpihak pada rakyat. Negara-negara yang berhasil mengatasi korupsi, seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru, menunjukkan bahwa keberhasilan ini mampu meningkatkan kesejahteraan, kepercayaan publik, dan daya saing internasional.
Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi membutuhkan langkah besar, termasuk reformasi sistem politik, birokrasi, dan penegakan hukum. Peran KPK, institusi anti-korupsi, dan masyarakat sipil harus diperkuat untuk menciptakan lingkungan di mana korupsi tidak lagi diterima sebagai norma sosial. Hal ini tidak hanya memerlukan komitmen hukum tetapi juga pendidikan moral sejak usia dini untuk menanamkan nilai integritas.
Meskipun korupsi telah menjadi semacam "budaya" di Indonesia, melestarikannya bukanlah solusi yang berkelanjutan. Memelihara korupsi demi stabilitas politik hanya akan memperburuk ketidakadilan dan menurunkan kualitas demokrasi. Sebaliknya, pemberantasan korupsi yang tegas, meskipun sulit dan penuh tantangan, adalah langkah penting untuk menciptakan sistem politik yang lebih sehat dan berintegritas.
Tantangan terbesar bagi Indonesia bukan hanya soal memberantas korupsi secara hukum, tetapi juga mengubah mentalitas masyarakat. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan yang merugikan bangsa, bukan sebagai peluang atau bahkan kebutuhan untuk sukses di dunia politik dan kekuasaan. Dengan komitmen bersama, korupsi dapat ditekan hingga ke akar-akarnya, menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan mendorong generasi baru pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Agama dan Adat Istiadat dalam Menyikapi Korupsi
1. Perspektif Agama terhadap Korupsi
Hampir semua agama yang dianut di Indonesia dengan tegas mengutuk korupsi sebagai tindakan yang melanggar nilai-nilai moral dan etika. Korupsi dianggap sebagai dosa besar karena melibatkan pencurian, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap amanah. Berikut pandangan beberapa agama utama di Indonesia:
Islam: Dalam Islam, korupsi adalah bentuk perbuatan haram yang dikategorikan sebagai ghulul (penggelapan) atau mengambil hak orang lain secara tidak sah. Al-Qur'an, dalam Surat An-Nisa ayat 29, melarang keras perbuatan ini dengan menyebutkan: "Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil..." Rasulullah SAW juga memperingatkan bahwa orang yang melakukan korupsi akan membawa kehinaan di akhirat.
Kristen: Dalam tradisi Kristen, korupsi bertentangan dengan perintah Allah, khususnya dalam hukum moral seperti "Jangan mencuri" dan "Jangan bersaksi dusta." Alkitab, dalam Amsal 29:4, menyatakan bahwa seorang pemimpin yang adil membangun bangsa, tetapi yang menerima suap merusaknya.
Hindu: Dalam ajaran Hindu, korupsi bertentangan dengan konsep dharma (kebenaran) dan karma. Tindakan korupsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap harmoni alam semesta dan akan membawa konsekuensi buruk bagi pelakunya.
Buddha: Dalam Buddhisme, korupsi bertentangan dengan prinsip sila (moralitas) dan ajaran tentang kesadaran akan penderitaan yang ditimbulkan oleh keserakahan. Korupsi melanggar jalan menuju pencerahan dan menyebabkan penderitaan kolektif.
Konghucu: Dalam ajaran Konghucu, korupsi bertentangan dengan nilai-nilai ren (kemanusiaan) dan yi (keadilan). Seorang pemimpin ideal menurut Konghucu harus menjunjung tinggi integritas untuk membawa harmoni bagi rakyatnya.
2. Perspektif Adat Istiadat terhadap Korupsi
Adat istiadat di Indonesia secara tradisional juga menolak korupsi karena bertentangan dengan nilai kejujuran, gotong royong, dan keharmonisan sosial. Dalam masyarakat adat:
Di Bali, konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan) menekankan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Korupsi merusak keseimbangan ini.
Di Jawa, falsafah hamemayu hayuning bawana (memelihara keindahan dunia) mengajarkan bahwa setiap tindakan harus membawa manfaat bagi orang lain.
Di Minangkabau, prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendikan syariat Islam) mengintegrasikan adat dan agama untuk menolak perilaku yang melanggar hukum Tuhan.
Namun, dalam praktiknya, ada paradoks. Di beberapa tempat, hubungan kekerabatan atau budaya patronase sering dijadikan alasan untuk menerima suap atau menggunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Konteks Pernyataan Jokowi tentang Memisahkan Agama dan Politik
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan pentingnya memisahkan agama dari politik untuk mencegah politisasi agama yang dapat memecah belah masyarakat. Dalam konteks ini, pernyataan beliau bertujuan agar agama tidak digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan atau melindungi tindakan yang melanggar hukum, termasuk korupsi.
Namun, kritik terhadap pandangan ini muncul ketika korupsi melibatkan politisi yang menggunakan agama untuk membangun citra moral. Politisasi agama dalam kampanye sering kali mengaburkan fakta bahwa banyak pelaku korupsi mengatasnamakan agama untuk mendapatkan dukungan publik. Ketika agama dipisahkan dari politik, ruang untuk menyalahgunakan agama menjadi lebih kecil.
Apakah Ada Hubungan Antara Pernyataan Jokowi dengan Korupsi?
Pernyataan Jokowi mengenai pemisahan agama dan politik sebenarnya memiliki relevansi terhadap korupsi dalam dua aspek:
1. Penggunaan Agama Sebagai Legitimasi: Di Indonesia, agama sering digunakan untuk membangun citra diri yang bersih dan berintegritas. Namun, banyak kasus korupsi yang melibatkan tokoh agama atau politisi beragama menunjukkan bahwa simbol-simbol agama tidak cukup untuk mencegah korupsi.
2. Membangun Politik Berbasis Etika, Bukan Retorika: Jika agama dijauhkan dari politik, etika dan integritas harus menjadi landasan utama dalam pemerintahan. Ini berarti politik harus dibangun atas dasar profesionalisme, hukum, dan akuntabilitas, bukan sekadar retorika keagamaan.
Agama dan adat istiadat di Indonesia memiliki prinsip yang tegas dalam menolak korupsi. Namun, dalam realitas politik, ada celah di mana agama dan adat sering kali digunakan untuk melindungi atau membenarkan tindakan korupsi. Pernyataan Jokowi tentang memisahkan agama dan politik dapat dimaknai sebagai upaya menciptakan ruang politik yang lebih etis, bebas dari manipulasi agama, dan berfokus pada pemberantasan korupsi secara sistemik. Bagaimanapun, untuk membangun bangsa yang bebas dari korupsi, diperlukan penguatan nilai-nilai agama dan adat yang benar-benar dijalankan, bukan hanya sebagai simbol atau slogan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H