1. Kredibilitas Tuduhan
OCCRP adalah organisasi internasional yang memiliki rekam jejak dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Namun, untuk konteks hukum di Indonesia, KPK memerlukan data dan bukti yang spesifik serta dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Jika OCCRP atau pihak lain memiliki bukti yang kuat, hal ini dapat menjadi dasar bagi KPK untuk memulai penyelidikan.
2. Imunitas Jabatan Presiden
Dalam sistem hukum Indonesia, seorang presiden memiliki imunitas selama masa jabatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7B UUD 1945, di mana seorang presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, KPK memerlukan langkah ekstra hati-hati jika ingin menyelidiki seorang presiden yang sedang menjabat. Adapun terhadap mantan presiden tentu lain soal.
3. Isu Politik dan Persepsi Publik
Tuduhan seperti ini bisa jadi dipolitisasi, baik untuk menyerang maupun membela pihak tertentu. Oleh sebab itu, KPK harus memastikan bahwa setiap langkah penyelidikan bebas dari pengaruh politik dan hanya berfokus pada bukti hukum.
Mendorong Transparansi
Tuduhan ini dapat menjadi momentum bagi KPK untuk memperkuat transparansi dalam penanganan kasus korupsi di level tertinggi. Jika memang ada dugaan kuat terhadap petinggi negara, KPK diharapkan mampu bekerja independen dan tanpa tekanan politik. Di sisi lain, pemerintah juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membuktikan integritasnya dengan memberikan akses penuh bagi lembaga pengawas untuk melakukan investigasi, jika memang diperlukan.
"Tuduhan" terhadap Presiden Joko Widodo memang tidak dapat langsung menjadi dasar penyelidikan tanpa bukti konkret. Namun, jika OCCRP atau pihak lain dapat memberikan bukti pendukung, KPK memiliki wewenang untuk menyelidiki dugaan tersebut, tentunya dengan tetap mematuhi koridor hukum yang berlaku. Lebih jauh, ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama dalam pemerintahan untuk mencegah tuduhan serupa di masa depan.
Apakah Praktik Korupsi di Indonesia Sudah Menjadi Budaya?
Korupsi di Indonesia sering kali disebut-sebut sebagai "budaya," karena telah mengakar dalam berbagai lini kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini mencerminkan fenomena di mana praktik korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), melainkan dianggap sebagai hal yang biasa atau bahkan lumrah.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 berada di angka 34 dari 100, yang mengindikasikan tingkat korupsi yang masih tinggi. Banyak kasus korupsi di Indonesia terjadi di tingkat elite hingga lokal, melibatkan pejabat tinggi, politisi, dan bahkan aparat penegak hukum. Jika praktik korupsi ini terus berulang tanpa ada sanksi yang tegas dan reformasi struktural, ia berpotensi menjadi bagian dari sistem sosial, menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah mekanisme informal yang diterima dalam berpolitik dan mengelola kekuasaan.
Apakah Perlu Ditiadakan atau Justru Dipelihara?
Pertanyaan ini mencerminkan dilema moral dan pragmatis yang mencuat dalam diskusi tentang korupsi. Berikut adalah dua perspektif yang dapat dipertimbangkan: