Islam: Dalam Islam, korupsi adalah bentuk perbuatan haram yang dikategorikan sebagai ghulul (penggelapan) atau mengambil hak orang lain secara tidak sah. Al-Qur'an, dalam Surat An-Nisa ayat 29, melarang keras perbuatan ini dengan menyebutkan: "Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil..." Rasulullah SAW juga memperingatkan bahwa orang yang melakukan korupsi akan membawa kehinaan di akhirat.
Kristen: Dalam tradisi Kristen, korupsi bertentangan dengan perintah Allah, khususnya dalam hukum moral seperti "Jangan mencuri" dan "Jangan bersaksi dusta." Alkitab, dalam Amsal 29:4, menyatakan bahwa seorang pemimpin yang adil membangun bangsa, tetapi yang menerima suap merusaknya.
Hindu: Dalam ajaran Hindu, korupsi bertentangan dengan konsep dharma (kebenaran) dan karma. Tindakan korupsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap harmoni alam semesta dan akan membawa konsekuensi buruk bagi pelakunya.
Buddha: Dalam Buddhisme, korupsi bertentangan dengan prinsip sila (moralitas) dan ajaran tentang kesadaran akan penderitaan yang ditimbulkan oleh keserakahan. Korupsi melanggar jalan menuju pencerahan dan menyebabkan penderitaan kolektif.
Konghucu: Dalam ajaran Konghucu, korupsi bertentangan dengan nilai-nilai ren (kemanusiaan) dan yi (keadilan). Seorang pemimpin ideal menurut Konghucu harus menjunjung tinggi integritas untuk membawa harmoni bagi rakyatnya.
2. Perspektif Adat Istiadat terhadap Korupsi
Adat istiadat di Indonesia secara tradisional juga menolak korupsi karena bertentangan dengan nilai kejujuran, gotong royong, dan keharmonisan sosial. Dalam masyarakat adat:
Di Bali, konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan) menekankan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Korupsi merusak keseimbangan ini.
Di Jawa, falsafah hamemayu hayuning bawana (memelihara keindahan dunia) mengajarkan bahwa setiap tindakan harus membawa manfaat bagi orang lain.
Di Minangkabau, prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendikan syariat Islam) mengintegrasikan adat dan agama untuk menolak perilaku yang melanggar hukum Tuhan.
Namun, dalam praktiknya, ada paradoks. Di beberapa tempat, hubungan kekerabatan atau budaya patronase sering dijadikan alasan untuk menerima suap atau menggunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi.