"Lama-lama aku jadi gila. Banyak sekali pasien PDP Korona dalam sepekan ini. Aku hampir tidak bisa beristirahat."
"Bersabarlah Ayu, itu sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai garda terdepan penanganan Korona. Setelah semua ini berlalu, engkau pasti bisa beristirahat dengan tenang."
"Sabar katamu? Seharusnya mereka menggaji kita lebih. Gaji kita sekarang tidak sepadan dengan resiko pekerjaan yang akan kita hadapi. Kalian tahu sendiri kan apa akibatnya jika terkena paparan virus itu?" ucap Anak Agung Ayu Maharani kesal. Tidak ada seorangpun yang menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya bisa menarik napas melihat sikap keras kepala Anak Agung Ayu Maharani.
Dari kejauhan Ni Luh hanya bisa diam membisu. Menatap Anak Agung Ayu Maharani dengan tatapan penuh dendam.
"Kali ini kau akan menutup mulutmu. Selamanya." ucap Ni Luh dalam hati.
Di ruang kerjanya, Ni Luh bergegas mengepel lantai kamar mayat dengan desinfektan. Sebelum ia pulang, ia ingin membereskan ruangan itu agar steril kembali. Ia hanya sendiri. I Putu Arsa tidak nampak disana. Setelah ia mengambil seember air, ia mulai menyemprotkan cairan desinfektan ke lantai dan mengepelnya dengan kain basah. Kamar Mayat itu kini menjadi harum desinfektan. Setidaknya tidak pengap seperti sebelumnya.
Keanehan terjadi, Ni Luh mencium aroma tidak sedap saat mengepel lantai yang ada dibawah lemari bernomor 7. Ia berusaha mencari sumber aroma itu, tapi sayang tidak berhasil. Satu jam kemudian tibalah waktu pulang. Ni Luh mengemasi barang-barangnya. Mengganti seragam kerjanya dengan pakaian biasa. Sore ini ia tidak bergegas pulang ke rumah. Ada seseorang yang harus ia temui.
***
Seminggu kemudian,
RSUP Sanglah mendadak ramai. Dalam dua minggu sejak rumah sakit itu menerima PDP Korona pertama kali, jumlah pasien PDP Korona makin membengkak. Seluruh dokter dan perawat dikerahkan untuk menangani para pasien.
"Ni Luh, kepala perawat menyuruhmu untuk menangani pasien PDP. Ia menunggumu di ruangannya." ucap I Putu Arsa.