"Kapan piodalan itu digelar?"
"Minggu pertama bulan Februari."
"Terimakasih Bli."
Pura yang berlokasi di daerah Karangasem itu berada diatas bukit. Bersama ribuan pemedek dari beberapa daerah di Bali, Ni Luh berjalan beriringan dari area parkir menuju Pura Silayukti. Perjalanan Ni Luh sedikit mengalami gangguan. Kain kebaya miliknya terinjak oleh pemedek lain sehingga membuat dirinya jatuh tersungkur. Seorang pemedek segera menolong Ni Luh.
"Ibu tidak apa-apa? Maafkan saya."
"Saya tidak apa-apa." balas Ni Luh yang segera meraih tangan wanita itu untuk membantunya berdiri.
"Saya Ni Made Suasti."
"Saya Ni Luh."
Perkenalan singkat itu mengantar mereka berdua kedalam sebuah percakapan yang hangat dan akrab. Terlihat mereka berdua duduk bersebelahan saat menikmati pentas Tari Rejang Dewa. Tarian sakral untuk menyambut para Dewa. Keakraban mereka berlanjut hingga acara piodalan itu selesai di malam hari.
"Kiranya izinkan saya untuk menjamu ibu dengan makan malam. Anggap saja itu adalah bentuk permintaan maaf saya atas kejadian sore tadi." ucap Ni Made Suasti yang diiringi anggukan kepala Ni Luh sebagai tanda persetujuannya.
Jamuan makan malam itu berjalan cukup menyenangkan. Mereka berdua seperti sahabat yang telah lama berpisah. Saling mencurahkan isi hati masing-masing. Mulai dari cerita tentang Ni Luh yang dicemooh oleh rekan kerjanya hingga cerita kematian suami Ni Made Suasti akibat Cetik Badung yang dikirim oleh rekan bisnis suaminya itu.