"Agar mayat tidak membusuk."
Pelajaran yang diberikan rekan kerjanya I Nyoman Anggara masih ia ingat dengan baik.
Malam itu Ni Luh sendirian. Tanpa I Nyoman Anggara. Lelaki itu mengabari Ni Luh bahwa ia tidak bisa masuk kerja karena sakit. Sehingga ia harus menangani sendiri mayat yang kini diam membisu didepannya.
Seperti apa yang diajarkan oleh ingatannya, Ni Luh mulai bekerja sesuai prosedur penyimpanan mayat dibawah penerangan lampu yang tidak terlalu terang. Tepat pukul 11 malam ia berhasil menyelesaikan tugas itu.
Karena kelelahan, Ni Luh duduk di meja kerjanya. Ia mengambil segelas air putih didepannya. Setelah air putih itu mengalir kedalam tenggorokannya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Ni Luh mengamati lemari pendingin tempat menyimpan mayat lelaki tua yang baru ia masukkan. Sorot matanya menyapu bersih pintu lemari. Memastikan bahwa hanya ada satu kunci yang tidak menggantung di sana. Memastikan bahwa di dalam kotak penyimpanan mayat yang berjejer-jejer itu hanya ada satu mayat. Yakni mayat lelaki tua yang telah ia dokumentasikan ciri fisik dan kondisi terakhir tubuhnya.
"Tidak ada apa-apa." gumam Ni Luh sambil meremas kunci lemari bernomor 7 itu. Lalu ia tertidur pulas tepat pukul 12 malam.
***
Ni Luh pergi ke kantin untuk sarapan. Tugas semalam membuatnya merasa lapar. Ia memesan sepiring nasi liwet dan segelas teh panas. Saat tengah asik menyantap makanan kesukaannya itu, Ni Luh dikejutkan oleh sebuah suara yang menyebut-nyebut namanya. Tepatnya suara samar-samar sekumpulan orang yang sedang membicarakannya dari kejauhan.
"Oh itu yang namanya ibu Ni Luh. Pasti ia memakai susuk pengasihan."
"Maksudmu?"