Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teana - Kematian Simkath (Part 39)

27 Juni 2019   10:57 Diperbarui: 27 Juni 2019   11:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya Teana dan Galata tiba di Kota Hegra. Dari kejauhan, beberapa prajurit penjaga gerbang kota saling menatap heran. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka berkali-kali mengusap mata meskipun matahari telah bersinar terang pagi itu. Termasuk Almeera yang sedang berada di sebuah tenda dekat pintu gerbang kota.

"Tuaaan..." teriak Almeera sambil berlari mendekat memeluk Teana.

"Almeera..."

"Aku senang Tuan selamat. Berhari-hari aku berdo'a kepada Dewi Manat di kuil agar ia menunda kematianmu. Agar ia mengubah takdirmu. Dan ternyata do'aku dikabulkan." ucap Almeera bahagia. Tak terasa air mata meleleh dari kedua sudut matanya.

"Terimakasih Almeera. Kau memang sahabat terbaikku. Perhatian dan kasih sayangmu terhadapku melebihi seorang saudara. Meskipun tidak ada hubungan darah diantara kita, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri." ucap Teana.

       Mereka berdua saling menatap. Ada ruang kebisuan diantara mereka. Mereka kemudian berpelukan setelah Teana menghapus airmata Almeera.

"Tuan, ini aku kembalikan Ebra milik Tuan. Aku selalu membawa dan menjaganya baik-baik. Tapi sekarang kami tidak membutuhkannya. Sebaiknya Tuan yang menyimpannya." ucap Almeera setelah ia mengeluarkan tiga helai bulu berwarna biru kehijau-hijauan dari dalam jubahnya.

       Dengan diantar oleh Almeera dan beberapa prajurit, Teana dan Galata akhirnya tiba di tenda milik Teana. Mereka bertiga masuk kedalam tenda. Almeera menyiapkan keperluan Tuannya itu. Saat jamuan makan tiba, ia mengutarakan keinginan para penduduk untuk merayakan kemenangan mereka melawan Bangsa Bawah.

"Bagaimana Tuan? Apakah Tuan Teana dan Tuan Galata setuju? Tidak ada salahnya kita merayakannya. Anggap saja ini untuk merayakan keselamatan Tuan juga."

       Setelah berpikir cukup lama, Teana akhirnya setuju. Galata pun mendukungnya. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan pesta selama semalam penuh.

       Keesokan harinya, Teana mengirim beberapa prajurit untuk berangkat menemui seorang pedagang anggur di daerah Qasr Al Fareed. Ia memerintahkan pedagang itu menyiapkan seluruh minuman anggur terbaiknya untuk perayaan pesta yang digelar malam ini.

       Pesta pun dimulai. Para penduduk meluapkan kegembiraan dengan makan dan minum di sebuah kedai anggur terbesar di Qasr Al Fareed yang telah dipesan oleh Teana. Berbagai macam makanan Timur Tengah tersaji. Kambing bakar madu, roti kebab dan bumbu aneka rempah yang sangat lezat.

       Tak ketinggalan para penari cantik bercadar ikut memeriahkan pesta itu. Mereka menari diiringi alunan musik gambus sambil memperlihatkan lekuk tubuh mereka.  Beberapa pengunjung laki-laki ikut menari. Sesekali mereka melempar koin emas kepada para penari cantik yang menemani mereka malam itu. Makin malam suasana kedai makin ramai. Teriakan-teriakan para lelaki memenuhi kedai itu hingga tengah malam.

"Habiskan semuanya. Malam ini kita harus bersenang-senang." teriak seorang pemuda.

       Di sudut kedai anggur itu, Teana dan Galata terlihat berbincang-bincang. Kebahagiaan nampak di wajah mereka.

"Selamat Teana, kau telah berhasil memenangkan pertempuran itu. Kau layak menjadi pemimpin Bangsa Nabataea. Pemimpin rakyat Kota Hegra." puji Galata sambil mengangkat cawan keramik berisi minuman anggur.

"Terimakasih atas pujianmu, namun aku belum pantas menerima tanggungjawab itu. Aku masih harus belajar banyak hal." jawab Teana singkat.

       Pesta berakhir saat fajar tiba. Para pemuda mulai meninggalkan kedai dalam keadaan setengah mabuk. Sehingga beberapa pelayan kedai terpaksa membantu mereka berjalan menuju rumah masing-masing.

***

       Pagi itu seluruh pemimpin dari berbagai wilayah di Kota Hegra berkumpul di Qasr Al Binth. Didalam sebuah tenda besar, para pemimpin itu membentuk sebuah lingkaran. Mereka mendengarkan arahan dari Teana.

"Kita telah berhasil memenangkan pertempuran melawan Bangsa Bawah. Patung Dewa Dhushara telah kita rebut kembali. Namun perjuangan kita belum berhenti sampai disini. Seperti yang kalian tahu, kota Hegra telah rusak akibat gempa yang melanda kota ini. Pipa-pipa untuk menyalurkan air bersih ke berbagai daerah banyak yang hancur. Bendungan di daerah pinggir kota banyak yang runtuh. Oleh karena itu, kita harus segera membangun kota kita kembali." ucap Teana serius.

"Kami siap menunggu perintah Tuan. Kami akan membangun kembali kota ini."

"Terimakasih atas pengertian kalian. Tanpa kalian, aku tidak mungkin bisa mengembalikan Kota Hegra seperti dulu. AKu percaya kalian mampu melakukannya." balas Teana.

       Pertemuan singkat itu berakhir dengan kesepakatan antara pemimpin wilayah dengan Teana. Sekaligus mereka memilih Teana sebagai pemimpin di Kota Hegra. Karena mereka yakin bahwa Teana pantas dan mampu untuk memimpin Bangsa Nabataea.

***

       Setelah hampir satu bulan, Kota Hegra mulai pulih. Para penduduk dan prajurit kerajaan bahu-membahu membangun kota mereka yang rusak. Kota itu mulai hidup. Beberapa bendungan air dibangun kembali. Pipa-pipa saluran air telah berfungsi dengan normal dan bisa mengairi ladang-ladang kurma dan anggur disana. Padang pasir yang semula kering, kini nampak menghijau di beberapa tempat.

       Teana merasa puas. Pemimpin di berbagai wilayah Kota Hegra pun demikian. Mereka sangat senang dipimpin oleh Teana. Tanpa diperintah, para pemimpin itu menyetorkan barang-barang dan hasil ladang mereka untuk Teana.

"Terimalah ini Tuan. Karena kepemimpinan Tuan, wilayah kami makin maju."

"Terimakasih atas pemberianmu. Keberhasilan ini tidak akan kita dapatkan jika kita tidak bersatu dan saling bekerjasama." balas Teana singkat.

       Beberapa hari kemudian saat Teana hendak berangkat menuju Kuil Qasr Al Binth untuk mengembalikan Patung Dewa Dhushara, Galata menghentikan langkahnya.

"Teana. Tunggu." teriaknya.

"Ada apa Galata? Apa ada sesuatu yang penting?"

"Benar. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu."

"Apa ini ada hubungannya dengan Patung Dewa Dhushara"

"Benar sekali."

       Akhirnya Galata berhasil mencegah Teana agar tidak berangkat menuju Kuil Qasr Al Binth. Sebab menurut Galata, kuil itu sudah tidak aman lagi. Ia menyarankan kepada Teana agar menyimpan Patung Dewa Dhushara di Kuil Ad Deir.

       Galata juga telah memikirkan rencana pemindahan patung. Sesaat setelah Teana membatalkan rencananya, Galata menyuruh beberapa prajurit untuk berangkat meminta bantuan pengawalan pihak Kerajaan Nabataea. Raja Aretas IV setuju dengan rencana tersebut. Mengingat keberanian Teana dan para prajuritnya mengusir Bangsa Bawah dari Kota Hegra, Raja mengirimkan beberapa prajurit kerajaan sebagai imbalannya. Prajurit kerajaan itu akan mengawal keberangkatan Teana menuju Kota Petra.

       Rombongan Teana akhirnya berangkat dengan pengawalan prajurit kerajaan. Mereka meninggalkan Kota Hegra saat fajar tiba. Ketika hari belumlah terlalu panas. Dengan berpakaian jubah serba putih dan cadar, rombongan itu berangkat menggunakan unta dan beberapa ekor kuda untuk membawa barang-barang mereka. Kali ini Teana merasa aman sebab Galata bersamanya.

"Terimakasih atas semuanya Galata." ucap Teana.

"Sama-sama Teana. Aku senang bisa membantumu."

       Mereka berdua saling pandang diatas punggung unta-unta mereka. Cukup lama  mereka beradu pandang. Hingga akhirnya mereka sadar ketika seseorang memanggil nama mereka.

"Tuan. Rombongan siap untuk berangkat." teriak Shahed di depan.

"Iya Shahed. Perintahkan prajuritmu untuk berangkat sekarang." balas Teana sedikit gugup.

       Barisan unta dan kuda berjalan beriringan. Perlahan-lahan rombongan Teana mulai meninggalkan Kota Hegra. Perjalanan ke Kota Petra kali ini membuat Teana bahagia. Karena seseorang telah mengisi hatinya dan membuatnya nyaman berada didekatnya.

***

       Kedatangan rombongan Teana disambut hangat oleh prajurit Petra di gerbang kota. Mereka mendapatkan pengawalan khusus dari prajurit Petra menuju Kuil Agung. Kuil itu disebut juga Kuil Ad Deir. Tempat dimana Patung Dewa Dhushara dipuja oleh Bangsa Nabataea yang berada di Kota Petra. Selama ratusan tahun, kuil itu dijaga turun temurun oleh pendeta yang dipilih pihak Kerajaan Nabataea di Kota Hegra.

       Saat mendengar kabar bahwa prajurit Kerajaan Nabataea mengawal Teana menuju Kuil Ad Deir, para pendeta telah menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Termasuk ritual penyambutan Patung Dewa Dhushara.

       Pendeta Samad secara khusus menyambut kedatangan Teana dan Galata. Mereka bertiga masuk kedalam ruangan di belakang altar. Sebuah ruang bagi para pendeta kuil untuk bermeditasi.

"Akhirnya setelah sekian lama kau kembali lagi Tuan."ucap Pendeta Samad.

"Iya Pendeta. Aku telah memenuhi ucapanku. Aku berhasil merebut kembali patung itu." ucap Teana sambil meletakkan sebuah bungkusan kain putih berisi Patung Dewa Dhushara. "Ini, terimalah pendeta. Jaga baik-baik."

       Pendeta Samad membuka bungkusan kain itu. Lalu ia mengamati baik-baik batu persegi yang ada di tangannya.

"Ada yang hilang." ucapnya singkat.

"Maksud Pendeta?"

"Ada yang hilang dari patung ini."

"Apa itu Pendeta?"

       Lalu Pendeta Samad menyerahkan kembali Patung Dewa Dhushara kepada Teana. Kali ini dengan posisi terbalik.

"Ada apa ini Pendeta? Apa maksud semua ini? Aku tidak mengerti." tanya Teana kebingungan dengan sikap Pendeta Samad.

"Perhatikan lubang kecil berbentuk segitiga ini Tuan." ucap Pendeta Samad sambil menunjukkan lubang yang dimaksud.

"Lalu?"

"Seharusnya disini terpasang batu rubi hijau."

"Untuk apa batu itu?"

"Sumber kekuatan dari patung ini."

"Artinya tanpa adanya batu rubi hijau, patung ini hanyalah sebuah batu biasa?" Teana menambahkan.

"Benar sekali."

"Lalu aku harus bagaimana pendeta?" tanya Teana kemudian.

"Temukan batu rubi hijau itu. Sementara biar aku amankan dulu patung ini. Setelah kau temukan batu rubi hijau itu, maka ritual penyucian Patung Dewa Dhushara bisa kita laksanakan." jawab Pendeta Samad singkat.

***

       Berita kembalinya patung Dewa Dhushara di Kuil Ad Deir tercium oleh Simkath. Ia bisa merasakan kekuatan patung itu lewat tanda -- tanda yang disampaikan oleh alam kepadanya.

       Dengan dibantu oleh bola kristal miliknya, ia mencari keberadaan dimana kekuatan besar itu berasal. Mantra sihir dirapalkan. Perlahan-lahan muncullah penampakan sebuah tempat didalam bola kristal itu.

                "Disana kau rupanya." gumam Simkath.

       Suasana Kuil Ad Deir tidak begitu ramai sore itu. Beberapa pendeta terlihat sibuk membersihkan halaman depan kuil. Obor-obor mulai dinyalakan sebagai penerang hari yang mulai gelap.

       Seorang kakek tua berjalan memasuki kuil sambil membawa tongkat.

"Pendeta, bisakah kau antar aku kedalam? Aku ingin berdoa kepada Dewa Dhushara." ucap kakek tua itu.

"Silakan Tuan, mari saya antar."

       Mereka berdua masuk bersama-sama. Suasana didalam Kuil Ad Deir sangat sepi. Hanya ada mereka berdua didalam.

"Silakan Tuan berdo'a. Saya permisi dulu."

"Terimakasih Pendeta, semoga Dewa Dhushara membalas kebaikanmu."

"Terimakasih Tuan."

       Pendeta itu lalu pergi meninggalkan Peramal Simkath. Beberapa detik kemudian Simkath memanggilnya.

"Pendeta."

"Iya Tuan?" jawab pendeta itu sambil membalikkan badannya kearah Simkath.

       Dalam sekejap pendeta itu telah berada dibawah pengaruh sihir Simkath. Tepat saat ia membalikkan badannya, Simkath telah berdiri dibelakangnya. Lalu Simkath memegang pundak pendeta itu hingga membuatnya diam tak bergerak.

       Mantra sihir terucap dari mulut Simkath. Ia lalu meniupkan mantra itu ke telapak tangannya dan mengusapkan ke wajah pendeta kuil. Simkath menatap mata pendeta itu. Lalu ia mengusapkan tangannya ke wajahnya. Kini, dua orang dengan wajah dan suara yang sama persis saling berdiri berhadapan.

"Terimakasih Pendeta." ucap Simkath sambil tersenyum. Sementara itu si pendeta tetap berdiri dalam posisinya. Ia hanya bisa menggerak-gerakkan bola matanya karena tubuhnya masih berada dalam pengaruh sihir Simkath.

       Simkath bergegas memeriksa seluruh isi ruangan didalam Kuil Ad Deir. Beberapa pendeta nampak sibuk membersihkan ruangan kuil. Sesekali para pendeta itu berpapasan dengan Simkath. Tidak ada kecurigaan sedikitpun di wajah mereka. Sihir Simkath telah berhasil menipu mereka.

       Ketika tiba di salah satu ruangan, tiba-tiba liontin di leher Simkath mengeluarkan cahaya kehijauan. Simkath merasa heran. Namun ia tidak menghiraukan hal itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah mendapatkan patung Dewa Dhushara dan segera keluar dari kuil.

       Ruangan itu tidak dikunci. Sebab seorang pendeta sedang berada didalam untuk membersihkannya. Simkath pun masuk.

"Pendeta? Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Simkath.

"Belum, masih banyak yang harus aku bersihkan." jawab pendeta.

"Sebaiknya kau pergi keluar. Ada banyak pengunjung kuil yang membutuhkan bantuanmu. Biar aku yang melanjutkan pekerjaanmu." jawab Simkath.

"Baiklah. Bersihkan tempat ini. Aku akan segera kembali."

       Ruangan itu kini telah sepi. Hanya ada Simkath didalamnya. Ia mengamati setiap sudut tempat didalam ruangan itu tanpa ada yang terlewat. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah bungkusan kain putih diatas sebuah meja didekat ranjang. Ia membuka bungkusan itu. ia tersenyum puas.

"Akhirnya aku mendapatkanmu." gumam Simkath.

       Setelah mendapatkan apa yang Simkath inginkan. Ia keluar dan menutup pintu ruangan itu. Dengan membawa bungkusan kain putih ditangannya, ia berjalan cepat menuju pintu keluar kuil. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seorang pendeta memanggil namanya.

"Pendeta, mengapa kau pergi secepat itu? Apakah ruangan meditasi telah bersih?"

Tidak ada jawaban dari Simkath.

"Pendeta! Tunggu..."

       Langkah Simkath makin cepat. Yang ia inginkan hanyalah segera keluar dari kuil secepatnya. Namun tiba-tiba ia bertabrakan dengan Galata. Ketika ia hendak keluar dari kuil, Galata dan Teana memasuki pintu kuil. Karena Simkath kurang waspada, ia tidak memperhatikan kedatangan mereka.

"Hei Kakek, perhatikan langkahmu. Awas terjatuh." ucap Galata dengan sopan.

"Ma... Maaf anak muda, aku sedang terburu-buru."jawab kakek tua itu.

       Dibelakang Galata, Teana memperhatikan gerak-gerik mencurigakan dari kakek itu. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Namun ia tidak mengerti apa itu. Setelah beberapa langkah memasuki altar kuil, Teana mengingat sesuatu.

"Bungkusan itu.... Galata, ayo kita kejar kakek tua tadi. Ia telah mencuri Patung Dewa Dhushara milik kita."

"Maksudmu apa Teana?"

"Sudahlah, cepat kita kejar kakek itu." balas Teana sambil berlari keluar kuil.

       Diluar kuil, Teana hanya mendapati para pendeta sedang menyalakan obor. Tidak nampak seorang kakek tua disana. Setelah mendapatkan informasi dari salah seorang pendeta, akhirnya Teana berhasil mendapatkan jejak kakek tua itu.

"Berhenti!" teriak Teana dengan lantang.

       Kakek tua itu membalikkan badannya. Didepan Teana dan Galata, ia mengubah wujudnya. Kini Teana dan Galata berhadapan dengan Simkath dalam wujud aslinya.

"Teana, akhirnya kita bertemu juga." ucap Simkath pelan.

"Siapa kau sebenarnya. Apa yang kau inginkan dari patung itu!"

"Sudah ratusan tahun aku menunggu saat ini tiba. Akhirnya aku berhasil mendapatkan patung ini. Dengan patung ini, kekuatan sihirku akan sempurna. Aku akan menjadi manusia yang abadi. Sebentar lagi Kota Petra akan jatuh ke tanganku. Dan bahkan seluruh keturunan Bangsa Nabataea akan bersujud menyembahku."ucap Simkath penuh keangkuhan. Lalu ia meletakkan patung itu didekat kakinya.

"Teana, tidak usah kau pedulikan ucapan kakek tua itu. Sebaiknya cepat kita rebut kembali Patung Dewa Dhushara dari tangannya atau semuanya akan terlambat." ucap Galata.

       Pertarungan pun terjadi. Malam itu mereka bertiga saling beradu kekuatan. Galata menyerang Simkath dengan tangannya. Sedangkan Teana menggunakan jambia miliknya. Meskipun dengan tangan kosong dan diserang dari berbagai arah, Simkath terlihat tenang dan menguasai keadaan. Serangan demi serangan dari Teana dan Galata seakan tidak berarti baginya. Serangan Teana dan Galata bagi Simkath bukanlah apa-apa. Sehingga ia tidak perlu menggunakan kekuatan sihirnya untuk melawan mereka.

"Kalian bukanlah tandinganku." ucap Simkath dengan angkuhnya.

       Melihat kemungkinan menang yang sangat kecil, Teana berjalan mundur. Sementara itu Galata terus menyerang Simkath meskipun ia tahu bahwa ia bukanlah tandingannya.

       Dalam keadaan tenang dan penuh konsentrasi, Teana memperhatikan gerakan-gerakan Simkath. Hingga akhirnya ia menangkap sesuatu. Dalam suasana malam hari yang tidak terlalu gelap itu, Teana melihat sebuah benda menyala-nyala dari balik jubah hitam Simkath. Nyala benda itu makin terang ketika benda itu tersibak keluar karena gerakan Simkath saat melawan Galata. Cukup lama ia mengamati liontin yang menggantung di leher Simkath. Akhirnya ia menyadari sesuatu. Bentuk liontin itu mirip dengan bentuk lubang yang ada dibagian belakang Patung Dewa Dhushara. Seketika itu juga ingatan Teana kembali.

"Liontin itu harus aku rebut." gumam Teana.

       Dengan gerakan cepat, Teana menyerang Simkath dari arah depan. Ia berusaha mengambil posisi agar mudah merebut liontin di leher Simkath. Karena kecerobohan Simkath, liontin itu akhirnya berhasil direbut oleh Teana.

       Merasa terpojok, Simkath menjadi marah. Ia merapalkan mantra sihirnya. Mendadak angin berhembus cukup kencang. Teana dan Galata menjauh dari Simkath. Mereka menyaksikan telapak tangan kiri Simkath mengeluarkan pendar cahaya kemerahan. Suasana menjadi terang benderang. Sehingga membuat Teana terkejut ketika melihat mata kiri Simkath yang berwarna tidak sama dengan mata kanannya. Sebuah bulatan kemerahan semerah darah memenuhi bola mata itu.

       Tanpa gentar sedikitpun, Teana maju dan menyerang Simkath menggunakan jambia miliknya. Namun serangan Teana tidak berhasil. Setiap tusukan jambia yang ia arahkan ke tubuh Simkath selalu meleset. Saat Teana lengah, Simkath berhasil mencengkeram lehernya. Galata berusaha menolong Teana. Tapi sayang, tubuh Galata tidak bisa digerakkan setelah Simkath mengarahkan bola cahaya kemerahan ke tubuh Galata. Simkath telah menguasai tubuh Galata dengan sihirnya.

       Teana sudah menyerah. Tidak ada lagi yang mampu ia lakukan. Tubuhnya meronta-ronta agar lepas dari cengkeraman Simkath. Namun sayang, hal itu makin membuat napasnya habis. Dalam keadaan putus asa, Teana berdo'a kepada Dewa Dhushara. Ia berharap bisa mengakhiri hidupnya setelah ia berhasil mengalahkan Simkath dan menyelamatkan Patung Dewa Dhushara.

"Oh Dewa, berilah aku kekuatan sehingga aku bisa melindungi bangsaku. Bangsa Nabataea." ucap Teana lirih.

       Ketika napas Teana hampir habis, tiba-tiba Ebra miliknya mengeluarkan pendar cahaya biru kehijau-hijauan. Bersamaan dengan itu, cengkeraman tangan Simkath mulai melemah. Energi miliknya seakan terserap oleh Ebra milik Teana. Perlahan-lahan tenaga Teana mulai kembali. Ia bisa bernapas meskipun sedikit kesusahan. Dan Tiba-tiba sebuah suara menggema didalam gendang telinga Teana. Suara Ratu Jin Mehnaz.

"Tusukkan Ebra milikmu kedalam mata kiri Simkath."

       Teana mengerti, ia segera mengambil Ebra dari dalam jubahnya dan menusukkan ujung Ebra yang tajam kedalam mata kiri Simkath. Teana terjatuh. Simkath berteriak kesakitan memegang mata kirinya yang mengeluarkan darah. Tak lama kemudian Simkath ambruk. Sebuah asap hitam pekat mengepul ke udara diiringi teriakan yang memilukan. Seiring hilangnya asap itu, perlahan-lahan tubuh Simkath berubah menjadi tulang-belulang.

***

       Ritual penyucian Patung Dewa Dhushara akhirnya dilaksanakan. Pendeta Samad memasang batu rubi hijau di belakang patung. Setelah menyucikan patung itu menggunakan air suci, pendeta meletakkannya di atas meja altar. Pendeta Samad yang makin tua itu terlihat tersenyum bahagia. Kini ia telah siap untuk menyerahkan kedudukannya sebagai pendeta Kuil Ad Deir kepada keturunannya. Ia ingin menebus rasa bersalah yang ia pendam selama puluhan tahun dengan mengabdikan diri di Kerajaan Nabataea di Kota Hegra.

***

       Ritual penyucian Patung Dewa Dhushara telah selesai. Patung itu kini kembali ke tempatnya semula. Teana dan rombongannya memutuskan untuk tidak kembali ke Kota Hegra. Teana akan melanjutkan usaha turun temurun keluarganya. Ia akan berdagang Myrrh di Kota Lycia. Ia tidak sendiri. Galata ikut bersamanya. Sebab di Kota Hegra sudah tidak ada keluarganya selain Teana. Galata telah berjanji akan hidup bersama Teana dan menjaga Teana selamanya.

       Sementara itu, Shahed dan Almeera mendapatkan tugas dari Teana. Mereka harus menjaga Kota Hegra. Sebab Teana telah memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinannya kepada Shahed.

***

       Mendengar kekalahan Bangsa Bawah, Ratu Mehnaz berangkat menuju Kota Paphos melewati gerbang dimensi waktu. Ia menemui Yodh yang kini mulai melemah. Sudah tidak ada yang tersisa untuknya.

       Ratu Mehnaz menyadarkan Yodh bahwa ia telah melanggar ketentuan hukum Kerajaan Jin sehingga ia diasingkan di Kota Paphos. Namun Yodh menjelaskan bahwa itu semua adalah kesalahpahaman. Ketika pintu gerbang Kerajaan Jin terbuka, Yodh tidak berada disana. Ia sedang tidak menjaga pintu gerbang itu. Ada seorang prajurit kerajaan yang mirip dengannya. Namun ia tidak bisa membela diri karena Ratu Mehnaz lebih percaya pada ramalan jin peramal bernama Usranat.

       Ratu Mehnaz melihat ketulusan dari penjelasan Yodh. Akhirnya ia mengakui kesalahannya dan memaafkan Yodh. Lalu ia mengajaknya kembali ke Kerajaan Jin. Menjadi tangan kanannya seperti dulu. Yodh setuju.

       Sebelum pergi, Ratu Mehnaz mengunci lubang hitam diatas patung Dewa Temenos. Menyegelnya dengan mantra sihir. Sehingga bisa dipastikan kali ini Bangsa Bawah yang mengkhianati Kerajaan Jin tidak akan bisa lepas lagi. Demikian pula saat mereka berdua keluar dari gua, Ratu Mehnaz menghancurkan pintu masuk gua itu. Menguncinya dengan mantra sihirnya. Sehingga apapun yang ada didalamnya tidak akan bisa keluar. Demikian juga sebaliknya, orang diluar pun tidak akan bisa menemukan gua itu kembali.

"Apakah kau siap Yodh?" ucap Ratu Mehnaz sambil tersenyum kepada Yodh.

"Iya Ratu, aku telah siap."

       Mereka berdua dan pengikut Yodh yang tersisa akhirnya kembali ke Kerajaan Jin. Setelah berpisah selama ratusan tahun. Hubungan Ratu Mehnaz dan Yodh makin erat. Rasa kepercayaan Ratu Mehnaz makin bertambah. Begitu pula kesetiaan Yodh kepada Kerajaan Jin.

***

       Jauh di sebuah gua dibalik semak gurun yang lebat, sesosok anak kecil berkaki delapan turun merayap dari atas dinding gua.

"Tunggu pembalasanku Yodh, kau telah menghabisi bangsaku. Kau harus menerima pembalasan yang setimpal. Nyawa dibayar dengan nyawa."

       Makhluk itu kemudian membuat sarang menutupi reruntuhan pintu gua. Entah sampai kapan ia akan berada disana. Mengumpulkan kekuatannya untuk membalaskan dendam bangsanya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun