“Raka, sebaiknya ajimu segera kau bawa berobat ke rumah sakit. Kasihan ajimu harus menanggung sakit yang berkepanjangan.
“Tapi iwa, kami sudah kehabisan uang. Sawah peninggalan aji sudah kami jual untuk pengobatan beliau. Sekarang kami sudah tidak memiliki uang sepeserpun. Aku sendiri belum juga dapat pekerjaan hingga saat ini “ jawab Anak Agung Raka Sidan tertunduk lesu dihadapan iwanya. Tatapan matanya hampa. Pikirannya kosong. Seakan – akan tidak ada harapan lagi untuk menyembuhkan ajinya.
Dalam kekalutan pikirannya, tiba – tiba I wayan Durma berujar…
“Mmm… Raka, sebenarnya iwa sendiri tidak tega melihat ajimu tersiksa rasa sakit seperti ini. Dalam hati iwa ikut bersedih melihat ajimu terserang lumpuh seperti ini” ucap I Wayan Durma dibelakang keponakannya dengan suara menyayat hati, namun ekspresinya wajahnya menyiratkan rasa senang.
“Membusuklah kau di neraka” gumam I Wayan Durma dalam hati.
“Aku harus bagaimana iwa? Sekarang aku butuh uang untuk biaya pengobatan aji” ucap Anak Agung Raka Sidan lirih.
“Tenanglah, nanti iwa akan bantu” ucap I Wayan Durma.
Riwayat penyakit I Wayan Suardika bukanlah tanpa sebab. Sore itu setelah pulang dari mencangkul ladangnya, I Wayan Suardika beraktivitas seperti biasa. Duduk – duduk didepan teras rumahnya sambil menikmati secangkir kopi panas buatan istrinya Ni Kadek Suasti. Saat itu menjelang senja. Matahari menampakkan sinarnya yang kemerahan. Serupa cahaya jingga keemasan. Sangat indah.
“Ini aji kopinya, minumlah selagi panas” ucap Ni Kadek Suasti kepada suaminya.
“Terimakasih” jawab I Wayan Suardika sambil menyeruput kopi panas buatan istrinya.
“Bagaimana hasil ladang kita aji ?” tanya Ni Kadek Suasti.