Acara pemilihan kepala desa akhirnya berlangsung. Dua hari setelah kedatangan Suwanto di cungkup makam. Tak lupa ia menaburkan butiran putih berbau harum yang dibungkus kain mori. Ia menaburkannya dihalaman rumah saat fajar belum nampak. Saat semua orang masih terlelap dalam tidurnya. Tak terkecuali istri dan anaknya yang masih tertidur lelap.
Ayam jago berkokok dengan nyaring. Pagi itu mentari bersinar sangat cerah.
“Bu, aku berangkat dulu ya… Do’akan aku menang”
“Iya Pak, hati – hati”
Setelah kepergian suaminya, Srining gegas ke dapur. Memasak untuk sarapan Sekar sebelum berangkat ke sekolah.
Tepat pukul tujuh, Srining mengantar Sekar ke sekolah seperti biasa. Sementara itu di kantor kepala desa sedang sibuk menyiapkan berkas – berkas untuk kegiatan pemilihan kepala desa. Pemilihan itu akan dilaksanakan tepat pukul delapan nanti.
Sesampai di sekolah, Sekar mencium tangan ibunya. Berpamitan hendak masuk ke kelas. Sriningpun mengulum senyum untuk anak semata wayangnya itu. anak yang sangat ayu.
Begitu masuk kelas, pelajaran segera dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bahasa Jawa. Selama satu jam bu guru menerangkan bab tembang pucung. Dengan lagu yang merdu. Bak seorang sinden, guru itu fasih melantunkan tembang jawa. Membuat anak – anak terhanyut dalam lagu yang sangat merdu.
Namun tidak bagi Sekar, apa yang didengarnya bukanlah tembang Jawa. Bukan tembang pucung yang merdu. Bukan suara gurunya. Yang ia dengar adalah suara merdu seorang wanita sedang memanggil namanya. Wanita yang dikenal oleh Sekar dengan sebutan Ratu. Jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit. Bu guru dan anak – anak makin asyik dalam alunan tembang Jawa. Satu persatu mereka maju menyanyikan lagu dalam bahasa Jawa.
“Pak Wahyu…. Saaaah”
“Pak Wahyu…. Saaaah”