Cungkup Makam source dimasadji4.wordpress.com
Sepi, tenang dan jauh dari keramaian. Terletak di tengah – tengah pemakaman umum. Dengan dikelilingi tembok setinggi orang dewasa. Bercat ungu terang bak terong yang belum matang benar. Dengan tinggi satu meter diatas permukaan tanah dan berdaun pintu ukiran khas jawa. Makam itu begitu tersohor. Tidak hanya dikenal penduduk lokal,namun penduduk luar kotapun banyak yang berdatangan kesana.
Aroma bunga kamboja putih menyeruak ke udara. Bercampur dengan kepulan asap tebal dari pembakaran dupa untuk sesajen. Membuat mata terasa pedih.
“Mbok… Kira – kira saya bisa lolos seleksi balon kades tidak?”
“Tergantung niat dan …..” mendadak suara Mbok Darmi terhenti.
“Dan apa Mbok ?”
“Besarnya sesajenmu” jawab Mbok Darmi singkat dengan pandangan tajam ke arah Suwanto. Si balon kades Trowulan.
“Ooh itu sudah saya siapkan Mbok” jawab Suwanto singkat sambil berlalu meninggalkan cungkup di sore menjelang petang itu.
Setiap malam Jum’at, cungkup makam Ratu Majapahit di Desa Trowulan itu selalu ramai. Bahkan tidak hanya malam jum’at saja. Malam – malam lainpun juga ada saja satu dua pengunjung yang datang untuk mengirimkan do’a. Berdo’a untuk sang ratu. Mereka berharap dengan kuatnya aura sang ratu, keinginan mereka terkabulkan. Terutama keinginan tentang jabatan dan kekuasaan.
Seperti siang itu, seminggu setelah kunjungannya yang pertama kali, Suwanto mengadakan do’a bersama lagi. Semacam ritual di dalam makam yang tidak terlalu luas itu. Dua orang lelaki dan satu anak kecil bersimpuh didekat makam. Dibantu oleh sang juru kunci, mereka merapalkan do’a – do’a. memanjatkan sesuatu. Berharap terwujudnya keinginan mereka.
Namun sepuluh menit kemudian, ditengah – tengah berlangsungnya perapalan do’a, mendadak tubuh Sekar kejang – kejang. Matanya mendelik. Mulutnya mengatup rapat. Sontak saja paman dan ayahnya gegas menolong Sekar.