***
“Hari pemilihan balon kades semakin dekat saja Wan” ucap Gito di kantor kepala desa Trowulan siang itu.
“Iya juga. Dan aku berharap sekali bisa menggantikan Pak Wahyu, kepala desa kita yang sekarang” balas Suwanto tegas.
“Ah kamu tidak akan bisa menandinginya Wan. Pengaruh Pak Wahyu sangat kuat. Sudah 2 periode dia menjabat sebagai kepala desa disini. Sejak kau belum masuk menjadi aparat disini” jawab Gito singkat.
Suwanto diam. Dia hanya tersenyum tak berkata apapun.
Bakda maghrib, setelah Suwanto merapikan diri. Dia berpamitan kepada Srining. Ada keperluan katanya. Sriningpun mengantar kepergian suaminya hingga batas pagar rumah mereka sebelum akhirnya Suwanto lenyap ditelan bayang senja.
“Bagaimana perkembangannya Mbah?” tanya Suwanto kepada Mbok Darmi yang sedang bersemedi didalam cungkup makam petang itu.
“Bagus Nak, niatmu sangat kuat. Ditambah lagi dengan besarnya sesajenmu. Aku lihat sesajenmu untuk ritual ini sangat berharga. Keinginanmu pasti terkabul.”ucap Mbok Darmi dengan keyakinan yang sangat.
Suwanto tersenyum sumringah. Senang dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kau bawa ini, taburkan didepan rumahmu saat subuh. Tepat di hari pemilihan kepala desa” perintah Mbok Darmi seraya menyerahkan bungkusan putih dari kain mori sebesar genggaman tangan orang dewasa.
“Baik Mbok, terimakasih”