“Bukan begitu, kawan. Ini semua demi kebaikanmu juga. Kau tak pernah dengar ya nasib si Ular setelah pacaran sama anak si Elang? Tuh Ular jadi santapan induk Elang. Kamu gak ngeri apa?”
“Tapi aku mencintainya. Susah kau paham, sebab kau tak pernah jatuh cinta. Aku harus menemuinya hari ini.” Bukannya takut, Tupai malah nekat.
___
Suara ngaji terdengar sampai keluar rumah Mbok Darsih. Anwar yang sudah berdiri di depan pintu rumah itu mengetuk pelan. Tak lama Mbok Darsih yang hampir bungkuk itu membukakan pintu dan menanyakan prihal kedatangan Anwar.
“Hayatinya ada Mbok?”
“Neng Hayati gak kemari, nak.” Jelas Mbok Darsih singkat.
Mata kiri Mbok Darsih hampir buta karena katarak. Anwar memerhatikannya kemudian berucap. “Apa Mbok tau kemana ia sekarang.”
“Sepertinya dia di rumahnya, sebab kan tadi pagi ada acara haul di rumahnya. Mungkin kecapekan.”
Tanpa sempat mengucapkan terima kasih, Anwar berlari menuju rumah Hayati yang berhelat tujuh rumah saja dari rumah Mbok Darsih. Sebenarnya Anwar cukup gugup, takutnya Emak Hayati tau hubungannya dengan Hayati. Bisa kacau balau macam gempa bumi nantinya. Namun rindunya sudah membuat ia bodoh, ia buta, ia tak lagi punya akal buat berpikir.
Tok tok, suara pintu diketuk Anwar. Tak lama Emak Hayati membuka pintu rumahnya. Tak ada yang aneh dari ekspresi wajah perempuan tua itu, semuanya baik-baik saja. Seperti badai yang tidak jadi menerjang, Anwar memusut dada untuk mengurangi kegugupannya.
“Hayatinya ada?” Tanyanya dengan tergagap.