Mohon tunggu...
Lilis Indrawati
Lilis Indrawati Mohon Tunggu... Guru -

Guru SMA\r\ndi Kota Malang

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Trip ke Penang ala Backpacker

18 Maret 2019   13:36 Diperbarui: 19 Maret 2019   11:47 4777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salam petualang untuk sahabat Backpacker...

ika hanya berjalan ke mana-mana membawa backpack, itu sudah saya lakukan sejak masih muda. Naik gunung, arung sungai, susur pantai, terutama telusur goa, karena bidang spesialisasi saya waktu itu adalah caving. 

(Sedikit flasback, pernah pada saat ekspedisi caving di Trenggalek (sekitar 1994), saya bersama teman-teman reppeling menuruni goa vertikal dan landing di atas tumpukan tengkorak manusia pada pukul 12 malam, kata Pak Kades goa tersebut merupakan tempat pembantaian zaman PKI 1965 dan tengkorak yang terlilit selendang merah adalah korban pembantaian terduga dukun santet, dua tahun sebelum ekspedisi saya).

Kamis, 7 Maret 2019

Saat ini, saya telah melengkapi petualangan-petualangan tersebut dengan traveling ala backpacker. Tulisan ini semoga bermanfaat untuk sahabat backpacker yang akan melakukan perjalanan tipis-tipis ke Pulau Penang dan Kuala Lumpur. 

Kata Peribahasa: Sambil menyelam minum air, begitulah sebenarnya kami berempat (saya, Liliek Triani, Heri Sudjatmi, dan Sasongko) memiliki misi khusus di Penang, tetapi dalam kesempatan ini saya hanya akan bercerita tentang trip kami sebagai backpacker pemula. (Hampir sepuluh kali saya memasuki teritorial Kerajaan Malaysia, baru kali ini tidak melibatkan travel agen.

Eh, ralat: Lima bulan lalu saya dan teman-teman mendapat kesempatan dari Universitas Ma Chung ke UCSI University di Kuala Lumpur juga tidak menggunakan jasa travel agen, tapi di-handle sendiri oleh civitas akademika Ma Chung).

Hari ini kami berangkat dari Kota Malang menuju Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya tanpa bagasi, hanya backpack seberat (rata-rata) kurang lebih 8 kg. 

Pukul 11.00 WIB pesawat Air Asia terbang menuju bandar udara Penang yang dikenal dengan sebutan Bayan Lepas Penang International Airport. Penerbangan membutuhkan waktu sekitar 3 jam, dan tiba di Penang pukul 15.00 waktu setempat (selisih satu jam lebih sore dibandingkan dengan WIB).

Kami langsung restart hp untuk mengaktifkan paket roaming Asia dengan kode aktivasi *266# (Telkomsel). Layanan internet sangat penting sebagai alat navigasi dan membaca peta mencari tempat tujuan. 

Dalam tim kami ini ada spesialisasi masing-masing, ada tukang navigasi, tukang talang (bagian "nalangi" pembayaran), tukang cekrak-cekrek, dan tukang catat. Selain menggunakan GPS kami juga mengambil beberapa brosur di bandara, yang di antaranya memuat peta, destinasi wisata, dan kuliner, serta agenda/event wisata Penang dalam setahun (2019). (Brosur tersebut bisa didapatkan juga di hotel, toko, restoran, dll).

Saat berada di pemeriksaan imigrasi, saya teringat peristiwa empat tahun lalu, saat pertama kali saya datang ke Penang. Paspor saya dioret-oret oleh petugas imigrasi, setelah saya amati ternyata tulisan cakar ayam berbunyi "renew your pasport". 

Saya baru menyadari bahwa masa paspor saya tinggal 5 bulan. Tulisan itu selalu menghantui dan membuat saya was-was karena pada waktu itu saya akan berada di Thailand sekitar dua minggu dan kembali ke Indonesia melalui Singapura. 

Alhamdulillah, kejadian seperti itu tidak terulang lagi saat ini, semua pemeriksaan berjalan dengan lancar. ("Terima kasih oh Allah, Engkau selalu memberi kesempatan dan kebaikan kepada kami".)

Keluar dari bandara, tampak berbagai moda transportasi yang bisa digunakan untuk melanjutkan perjalanan. Demikian juga transportasi yang murah meriah yaitu bus Rapid Penang (semacam bus kota) sudah berjajar di halte dengan berbagai kode dan rute. Halte Bus Rapid berada di luar pintu kedatangan, keluar pintu belok kiri beberapa meter saja, lalu menyeberang satu ruas jalan.

Kami naik bus dengan kode 401 tujuan Komtar. Awalnya saya mengira Komtar itu nama, ternyata singkatan dari frasa Kompleks Tun Abdul Razak, sebuah kawasan pertokoan, hiburan, dan perkantoran yang berada di pusat kota George Town. 

Menurut informasi yang kami dapatkan, penamaan kawasan tersebut sebagai penghormatan terhadap seorang mantan Perdana Menteri yaitu Tun Abdul Razak.

Awak Bus Rapid ini hanya sopir, tanpa kondektur. Bus memiliki dua pintu di samping kiri, pintu depan untuk masuk dan pintu tengah untuk keluar. Cara membayar tiket tidak sama dengan bus kota di Surabaya. 

Penumpang harus antre di pintu depan dengan tertib dan sabar karena setiap penumpang yang naik menyampaikan tujuannya kepada sopir, disebutkan tarifnya oleh sopir, bayar dengan uang pas, dientri di system box yang berada di samping kiri sopir (di hadapan calon penumpang saat masuk bus), kemudian mendapat print out tiket.

Naah, setelah itu penumpang bebas memilih tempat duduk selama masih ada seat yang kosong, kalau penuh ya harus siap berdiri dengan pegangan tali yang bergelantungan). 

Tiket Bus Rapid tergolong murah, hanya RM 2,70 dengan jarak tempuh sekitar 20 km dari bandara menuju Komtar. Oh ya, tidak semua Bus Rapid Penang di bandara dengan kode 401 menuju Komtar. Saat pertama masuk bus berkode 401, saya tanya sopir: "Komtar"? dijawab: 'No", lalu saya turun dan menunggu bus berikutnya jurusan Jetty yang menuju ke Komtar.

Sepanjang perjalanan, bus berhenti di setiap halte hanya untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Suasana dalam bus cukup tenang, tidak ada suara pemberitahuan siapa turun di mana. Oleh karena itu penumpang yang belum mengenal medan harus berpesan kepada sopir atau penumpang lain agar diberitahu saat sampai di tempat tujuan. Sekitar empat puluh menit kami sampai di Komtar. Amanat: Berliterasi itu penting, malu bertanya/membaca sesat di jalan.

Pulau Penang merupakan Negara Bagian di Wilayah Kerajaan Malaysia, dipimpin oleh Yang Di-Pertuan Negeri (Gubernur). (Pulau Penang inilah yang pernah menjadi tempat diasingkannya Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwana II, (Gusti Raden Mas Sundara) oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, pada tahun 1810 karena perlawanannya terhadap Belanda, juga dicurigai terlibat dalam aksi perlawanan yang dilakukan Bupati Madiun, Raden Rangga Prawiradirja). Ibu kota Pulau Penang adalah George Town, sebuah kota yang merupakan salah satu pelabuhan ternama di Selat Malaka.

Selain itu, George Town merupakan kota tua yang memiliki banyak peninggalan bersejarah sejak zaman penjajahan Kolonial. Hotel kami Regal Malaysia, berada di Jalan Transfer kota George Town, berjarak sekitar 1600 meter dari Komtar dan kami berjalan kaki menuju ke sana. 

Di sepanjang jalan sangat banyak ditemukan gedung tua berarsitektur kolonial Britania Raya, itulah salah satu ciri khas yang mencerminkan George Town sebagai daerah bekas jajahan Inggris. Demikian juga dengan nama-nama jalan dan tempat-tempat yang berbau Inggris. Gaya seni dan arsitektur yang indah tampak pada bangunan di sepanjang jalan yang kami lewati termasuk Hotel Majestic.

Langkah kaki terus terayun. Beberapa tempat penting kami lalui, misalnya Gedung Persatuan Muslim Bersatu, Wiswa MCA, Ibu Pejabat Polis Kontinjen Pulau Penang, dll. Lalu sampailah kami di rumah makan Mami Fatimah Hassan, kuliner original Penang dengan menu spesial Nasi Kandar. 

Setiap kali pesan minuman teh, saya selalu lupa untuk berkata Teh O yang menunjukkan bahwa teh dimaksud adalah teh original, jika tidak, maka yang tersaji adalah teh tarik, demikian juga dengan kopi.

Kembali ke pembahasan tentang Nasi Kandar, walaupun salah satu teman saya merasa eneg, bagi saya masakan yang penuh rempah tersebut cukup familiar di lidah saya bahkan terasa nikmat. (Selain itu harganya relatif murah dan terjangkau, seperti tampak pada daftar menu berikut. Amanat: Sesuaikan menu dengan selera, sesuaikan selera dengan budget yang tersedia.

Rasa lapar dan dahaga telah sirna, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel yang jaraknya tinggal 600 meter lagi (menurut peta) tentunya tetap berjalan kaki. Ini sudah berada di Jalan Transfer. 

Di sebelah kiri kami melewati beberapa jalan yang berpotongan dengan Jalan Transfer, antara lain Jalan Hutton, Jalan Ariffin, Jalan A.S. Mansoor, dan Jalan Argyll. Ketika di kejauhan tampak tulisan di vertical box Regal Malaysia di sebelah kiri jalan, hmmmm... suka cita membuncah dalam rasa.

Tidak sampai 50 meter, sampailah di hotel Regal Malaysia. Sebelum masuk ke loby hotel, perhatian kami langsung tertuju pada sebuah bangunan kuno di arah depan hotel, tepatnya di sebelah kanan Jalan Transfer. Sambil menunggu proses check in selesai, saya sempatkan cekrak-cekrek di depan hotel, dengan target bangunan kuno tersebut. Sebenarnya bangunan itu sudah rusak namun masih tampak kokoh pilar dan dinding-dindingnya, berukuran besar, halaman luas, dan terkesan menyeramkan.

Bangunan itu mengahadap ke utara (menghadap Jalan Sultan Ahmad Shah). Ketika saya memotret dengan lebih mendekat ke arah utara, tampak pada dinding bagian depan bangunan terdapat tulisan dua baris. Baris atas berbahasa Mandarin, dan baris bawah terbaca "SHIH CHUNG BRANCH SCHOOL". Berdasarkan data dari hasil "blakraan", diketahui bahwa gedung tersebut dibangun tahun 1880.

Setelah check in hotel, bersih diri, salat, dan istirahat sebentar sambil menikmati pemandangan laut dari jendela kamar hotel yang bisa dibuka lebar-lebar, kami memanfaatkan waktu sore itu untuk survey lokasi sekolah kebangsaan di Penang. 

Sinar matahari masih sangat terang saat itu walaupun jam sudah menunjukkan pukul 17.30 waktu setempat. Memang waktu hanya selisih 1 jam lebih awal namun matahari tenggelam lebih lambat sehingga berpengaruh terhadap masuknya waktu salat. Kami berjalan menyusuri Jalan Sultan Ahmad Shah, belok kiri keJalan Larut, belok kiri ke Jalan Hutton, dan belok kiri lagi ke Lorong Argyll.

Kami kembali ke hotel saat terdengar kumandang azan salat maghrib tepat pukul 19.32 waktu setempat. Penang memiliki jalan-jalan yang lebar, rambu jalan yang cukup, serta pengendara yang tertib dan toleran, namun demikian kita harus tetap berhati-hati sebagai pengguna jalan. Amanat: Pejalan kaki perlu memperhatikan rambu-rambu dan tidak menyeberang sembarangan demi keselamatan dan keamanan dalam perjalanan.

Setelah salat maghrib dan makan malam, kami melanjutkan jalan kaki menikmati suasana Penang di malam hari. Belanja jajanan, kopi, dll di Happy Mart. Lanjut menyusuri Jalan Sri Bahari dan tidak lupa cekrak-cekrek lukisan mural di tembok-tembok jalan, di antara bangunan heritage yang diperuntukkan sebagai restoran-restoran oriental.

Kami sempat juga kongkow sebentar di kursi tepi jalan bak musafir yang sedang istirahat dari kelana. Waktu sudah larut malam, kami menempuh jalan kembali ke hotel lewat Jalan Penang. Ujung Jalan Penang bertemu/berpotongan (membentuk huruf T) dengan Jalan Sultan Ahmad Shah, belok kiri melintasi perkuburan umum, dan belok kiri lagi.

Akhirnya, sampailah kembali di Jalan Transfer letak hotel Regal Malaysia tempat kami menginap. Ohya, hotel ini ternyata sedang dalam perbaikan namun tidak dijelaskan saat kami booking online. Tamu hotel hanya beberapa bahkan kami tidak pernah bertemu atau bersimpangan jalan di hotel.

Jumat, 8 Maret 2019

Ini hari kedua di Penang. Saat makan pagi, hanya beberapa orang dewasa yang berada di restoran hotel.  Kami berempat secara kompak saling bertanya, "Kok gak ono uwong yo? Lha arek-arek cilik sing guyon depan kamar tadi malam siapa?"  Jadi begini,  sepulang "city tour" semalam kami masuk hotel sudah hampir pukul 12.00.

Di dalam kamar tetangga terdengar suara anak-anak kecil sedang bergurau ramai dan tertawa-tawa, tetapi sampai esok pagi tak seorang pun kami temui, tak lagi ada suara anak-anak. (Mungkin penghuni kamar sedang tidur kali yaa). Setelah semua urusan selesai, kami bersiap sebagai "Infanteri" lagi, pasukan jalan kaki bergerak menuju ke halte bus Rapid Penang di Komtar. Kami memakai kaus Roadtrip Indonesia dari sahabat saya Bang Denny Hendrawan Piliang.

Di halte itulah bus kode 204 tujuan Bukit Bendera (Penang Hill) sudah ditunggu banyak orang. Namun kurang beberapa meter kami datang, bus sudah berangkat jadi harus menunggu bus berikutnya. Karena kurang sabar menunggu bus (walaupun sebenarnya hanya sekitar 10 menit), kami pesan grab. Baru saja aplikasi pemesanan grab di-OK, eh bus Rapid 204 datang, berhenti sebentar hanya untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, bus langsung berangkat. Sedangkan kami masih menunggu grab datang. Amanat: Kadang keberhasilan itu sudah sangat dekat, namun manusia telah berputus asa lebih dahulu, maka bersabarlah...

Grab datang. Kami berangkat menuju Bukit Bendera. Ongkos grab dari Komtar ke stasiun Bukit Bendera RM10. Bukit Bendera terletak di Jalan Lintang, kota Air Itam/Ayer Itam (Penamaan yang tidak konsisten, termasuk Penang dan Pinang). Tiket masuk ke Bukit Bendera RM30 PP per orang dewasa normal (Harga khusus berlaku untuk anak-anak dan manula, bahkan orang berkebutuhan khusus free ticket). Harga tiket tersebut termasuk fasilitas kereta railway/funicular menuju ke puncak bukit.

Jaringan rel keretapi di Bukit Bendera dibangun oleh pemerintah Kolonial Britania/Inggris tahun 1906, dengan jalur yang sangat tajam baik naik maupun saat turun. 

Konon, pada zaman penjajahan Inggris di Penang, Bukit Bendera itu menjadi tempat peristirahatan kaum kolonial karena udara yang sejuk dan pemandangannya indah. Tips: Agar bisa menikmati pemandangan lepas dan bisa mendapatkan objek foto yang keren, harus memilih tempat paling atas saat naik, dan paling bawah saat turun.

Peringatan yang berkesan di Bukit Bendera adalah tulisan dalam bahasa Melayu lengkap dengan terjemahan Inggris dan Mandarin yang dicetak dengan huruf kapital dan diakhiri tanda seru: "BEG TANPA PENGAWASAN AKAN DIAMBIL DAN DIMUSNAHKAN!". Itu menjadi candaan di antara kami yang kadang meletakkan backpak di lantai. Amanat: Berhati-hatilah di mana pun berada dan jangan ceroboh terhadap barang bawaan, terutama paspor.

Dari Bukit Bendera, kami lanjutkan ke Kek Lok Si (secara leksikal, Kek Lok Si bermakna "Kebahagiaan Tertinggi"). Perjalanan hanya memerlukan waktu tempuh 7 menit dari stasiun Bukit Bendera dan turun di halaman kuil dengan ongkos RM7 naik grab. 

Dari sopir grab inilah kami sering bertanya dan mendapat pelajaran bahasa tentang perbedaan kata Lebuh, Jalan, dan Lorong. Lebuh adalah jalan raya, Jalan lebih kecil dari pada Lebuh, sedangngkan Lorong itu semacam gang namun tetap lebar, ramai, dan bisa simpangan mobil juga. Kek Lok Si temple merupakan kuil Buddha terbesar di Asia Tenggara yang telah berumur seabad lebih.

Kuil yang penuh dengan ornamen-ornamen memukau, bercorak khas Tionghoa itu, dibangun pada tahun 1905 di Bukit Paya Terubong. Lokasinya tidak jauh dari pasar yang menjual beraneka barang dagangan dan makanan, namanya Pasar Awam Air Itam yang terletak di Jalan Pasar, Kampung Baharu, Air Itam. Kami hanya mampir sebentar di sini karena tidak punya kepentingan yang berkaitan dengan fungsi kuil tersebut sebagai tempat ibadah pemeluk agama Budha, namun cukup menambah khasanah kesejarahan yang luar biasa.

Suhu di tempat ini relatif panas, sekitar 35 derajad, akan tetapi sinar matahari yang memancar sangat terik itu tidak begitu menyengat kulit. Sambil menunggu grab datang, semua duduk-duduk di depan kuil dengan pemandangan Bukit Bendera di kejauhan sambil memikirkan sesuatu yang baru saja kami diskusikan di area kuil.

Grab datang. Kami langsung berangkat menuju mall Penang Times Square. Ongkos grab dari kuil Kek Lok Si ke Penang Times Square RM13 dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Mendekati Times Square, kami melintasi jalan yang bertuliskan "Kampung Jawa Baru". 

Di situlah letak kantor GERAH (Gerakan Revolusi Anti Rasuah), sebuah lembaga yang memerangi suap di Malaysia. Tidak jauh dari tempat itu ada lagi jalan yang bertuliskan "Kampung Jawa Lama". Kata sopir grab, zaman dahulu wilayah itu banyak dihuni oleh penduduk keturunan suku Jawa, Indonesia. Bahkan ada juga hotel yang bernama "Jawi Peranakan", nama yang lucu menurut saya.

Sampailah di Penang Times Square. Di sini hanya jalan-jalan sebentar sambil ngadem di mall. Sebagaimana lazimnya sebuah mall, tak ada yang istimewa di tempat ini. Namun, ada patung yang menarik perhatian saya, yang tiba-tiba membuat saya berimajinasi tentang kisah masa lampau, saat bangsa Melayu dijajah oleh Kolonialis Eropa. Indonesia dijajah Belanda, dan Malaysia dijajah Britania/Inggris. Patung itu berupa dua orang yang berdiri berdampingan.

Patung sebelah kanan menggambarkan orang Eropa berkumis tebal dan melengkung ujungnya, berbadan gendut, mengenakan stelan jas putih lengan panjang, bersepatu, dan bertopi polka berwarna putih juga. Tangan kanan memegang kertas/buku yang di angkat setinggi dada, dan tangan kiri menujuk jauh ke depan. Sedangan patung di sebelah kiri berwajah melayu. Dia tidak berbaju, hanya mengenakan kain yang dililitkan menutup pinggang sampai lutut.

Ada destar terikat di kepala dan kakinya tidak beralas. Kulitnya hitam kecoklatan, tubuh agak kekar tapi kurus dan ceking, sampai tampak garis-garis tulang iga di dadanya. Badannya sedikit membungkuk sambil kedua tangannya mengangkut tiga bongkahan benda persegi, mungkin logam atau batu. Patung tersebut merupakan gambaran penindasan pada masa penjajahan. Hhhhhh, saya ambil napas dalam-dalam, lalu meninggalkan patung tersebut.

Kami hanya sebentar di mall ini, lalu keluar dan melihat restoran cepat saji (yang juga populer di Indonesia). Dengan berjalan beberapa meter sampailah di restoran itu. Alhamdulillah, ada label halal.

Gedung yang di jadikan restoran ini berarsitektur kolonial yang megah dan kokoh. Di atas pintu masuk ada papan kecil persegi panjang berwarna merah dengan tulisan kuning: BIRCH HOUSE 1908. Sudah terlanjur masuk, ternyata di sini tidak menyediakan menu nasi.

Ah, sudahlah. Sekali-sekali tidak makan nasi. (Usai makan saya belum merasa kenyang, hahaha..). Setelah cekrak cekrek di depan Penang Times Square bersama robot raksasa Optimus Prime dan Bumble Bee yang dibuat dari limbah spare part otomotive, kami lanjut menuju destinasi berikutnya, yaitu Butterworth.

Penang sebagai Negara Bagian terdiri atas wilayah daratan dan wilayah pulau yang dipisah oleh selat. Butterworth adalah kota terbesar di wilayah daratan yang menjadi salah satu pintu masuk menuju Pulau Penang. Butterworth berasal dari nama seorang Gubernur pada zaman penjajahan Inggris yang pernah berkuasa di Pulau Penang, yaitu V.T. Butterworth.

Sepanjang perjalanan menuju Butterworth, kami membicarakan banyak hal dengan sopir grab. Di Butterworth itluah letak stasiun KTM (dari sopir grab kami mengetahui bahwa KTM singkatan dari Keretapi Tanah Melayu). 

Awalnya kami ingin ke Butterworth naik ferry gratis dari pelabuhan ferry Raja Tun Uda di George Town menyeberang selat menuju ke pelabuhan Sultan Abdul Halim di Butterworth.

Akan tetapi, dengan mempertimbangkan waktu kami putuskan untuk naik grab. Mobil meluncur ke Butterworth melewati tol laut Penang Bright sepanjang 13,5 km. Jembatan itu bernama Jambatan Sultan Abdul Halim Mua'dzam Shah yang menghubungkan George Town ke Butterworth. (Di sisi jauh ada juga Jembatan Penang ke-2 sepanjang 24 km).

Ongkos grab dari Penang Times Square ke Butterworth RM39 sudah termasuk tambahan biaya tol. Kami ingin segera tiba di Butterworth untuk mendapatkan tiket KTM Night Sleeper yang sering disebut juga Sleeper Train, atau ETS (Electric Train Service) menuju Kuala Lumpur.

Sesampai di stasiun, kami langsung menuju ke lantai 1 (yang disebut lantai 1 di sini adalah lantai paling atas, harus naik tangga atau lift). Tetapi apa yang terjadi? Di dinding kaca loket terpasang kertas ukuran F4 landscape bertulisan "ETS TICKET TO KL SOLD OUT".

Waduuuhhh...! Ternyata tiket keretapi (baca: kereta api) tidak dijual on the spot. Kami beralih ke plan B, naik bus. Alhamdulillah, stasiun keretapi dan terminal bus di Butterworth ini berdampingan, demikian juga dengan pelabuhan verry. (Ini salah satu kehebatan manajemen dinas perhubungan Pemerintah Malaysia).

Terminal bus berada di Penang Sentral yang hanya berjarak beberapa meter saja dari stasiun. Setelah salat di surau stasiun sambil mengumpulkan kata sepakat, kami bergerak menuju Penang Sentral melalui lorong bawah gedung dan naik menggunakan lift ke lantai atas sesuai petunjuk arah menuju ke counter ticket. (Kata teman saya, "Diperlukan daya literasi tinggi untuk menghadapi situasi seperti ini". Terminal ini sekeren bandara, terminal rasa bandara.

Semua serba terintegrasi, terkoneksi, dan tersistem. Akhirnya kami mendapatkan tiket bus dari Butterworh (Penang Sentral) menuju terminal bus di Kuala Lumpur (KL Sentral) dengan tiket seharga RM33/orang.

Saat di Penang Sentral itu masih pukul 16.30, sedangkan keberangkatan bus kami pukul 22.59 dan boarding 30 menit sebelumnya. Lalu kami sepakat menyewa dua Locker penitipan barang seharga masing-masing RM10 untuk menampung 4 backpack. Locker tersebut hanya bisa dibuka dengan menggunakan scan wajah penyewanya masing-masing. (Dijamin tidak akan tertukar, hehehe..)

Ungkapan: Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, tidak berlaku bagi kami karena setiap momen yang kami lalui adalah bagian dari perjalanan yang bisa memberi kenangan dan pelajaran berharga. Kami memanfaatkan waktu untuk jalan di kawasan Penang Sentral. 

Kami duduk-duduk di anjung restoran yang terbuka menghadap ke pelabuhan dengan laut yang berbatasan langsung dengan bukit, dalam suasana senja yang indah. Sambil makan dan minum teh-o kami bisa menikmati matahari dengan semburat warna jingga membias mega lalu terbenam di balik bukit.

Usai alat di surau Penang Sentral, kami melanjutkan jalan-jalan sambil berliterasi dengan memanfaatkan papan informasi layar sentuh yang bisa diakses sebagai fasilitas informasi. 

Aras 1 (lantai 1): tempat bus, Aras 2 dan 3: Mall,tempat ibadah, restoran, money changer, perkantoran, kesehatan, dll. Akhirnya menit-menit menjelang boarding telah menjelang, gate dibuka on time sesuai dengan jadwal. Kami menuruni eskalator menuju Aras 1 dengan memperhatikan hal-hal berikut: Trip No: KPB-20 di Gate No: 7. Bus ekspres yang kami tumpangi keren dan mewah dengan formasi kursi 1-2.

Selain itu, bus juga berangkat on time walaupun penumpang hanya sedikit. Bismillah, kami berangkat menuju Kuala Lumpur tidur di dalam bus. (Jadi, doa bepergian dikombinasi dengan doa hendak tidur, hehehe...). 

Hampir pukul 12 malam, bus melaju dari Penang Sentral menuju KL Sentral dengan kecepatan tinggi. Empat jam dengan kondisi mengantuk sampai tertidur pulas telah kami lewatkan. Sampai terdengar beberapa kali sopir menyerukan "KL Sentral". Standar waktu yang seharusnya ditempuh 5 jam belum terpenuhi. Kami mengira belum sampai tujuan.

Sampai pada 30 menit kemudian, bus berhenti di Terminal Bersepadu Selatan. Ternyata kami kebablasan. Di terminal ini kami turun sambil observasi untuk menentukan langkah selanjutnya.

Sabtu, 9 Maret 2019

Pukul 04.30 kami memasuki Terminal Bersepadu Selatan. Woooowww.... keren sekali, besar, megah dan modern. Terminal Bersepadu Selatan (TBS) ini disebut juga Bandar Tasik Selatan (BTS), merupakan terminal termegah se Asia Tenggara pada saat dibangun 7 tahun yang lalu. 

Terminal ini melayani jalur dalam negeri dan luar negeri seperti Singapura dan Thailand dengan pelayanan 24 jam sesuai dengan jadwal kedatangan dan keberangkatan, selalu ada kehidupan dari detik ke detik.

Di sini waktu subuh masuk pukul 06 lebih sedikit, jadi masih sekitar dua jam kami menungu waktu salat. Dan kami memanfaatkan waktu dengan belanja makanan ringan dan roti untuk sarapan. Selain itu juga bersih diri dan ganti baju. Setelah salat subuh kami bersepakat menuju KL Sentral naik grab dengan ongkos RM14. 

Sampai di KL Sentral kami sewa 1 Locker besar yang memuat 4 backpack kami, ongkosnya RM30. Seharian ini kami tidak punya itinerary yang jelas, hanya mengikuti kemana kaki melangkah dan roda berputar. Kurang ada greget untuk menuju kemana karena beberapa tempat populer di KL sudah pernah kami kunjungi beberapa kali sebelumnya, alhamdulillah...

Setelah backpack dititipkan di Locker dan kuncinya kami bawa (untuk sekali buka), kami mulai pengembaraan hari ini di Kuala Lumpur. Keluar pintu utama KL Sentral, belok kiri sedikit, di tepi jalan itu ada halte Perkhidmatan Bas Percuma (bus gratis). 

Kami naik bus Rapid KL gratis dengan ciri-ciri berwarna pink dan bertuliskan Free. Kami naik bus gratis Rapid KL dan turun di halte depan Masjid Negara yang berada di Jalan Perdana. 

Kami salat duha di Masjid Negara dan mengikuti kajian (Kuliah Duha) yang bertema "Ridho terhadap qadha' Allah swt". Amanat: Tidak ada satu pun kejadian di dalam kehidupan ini yang terlepas dari qadha' Allah swt Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kira-kira 20 menit kami di Masjid Negara, kembali ke halte dan lanjut naik bus gratis Rapid KL lagi keliling kota. Dari papan data diketahui nama sopir: Muhammad Shafiq Najmi. Destinasi berikutnya ke Sungei Wang shopping centre untuk membeli oleh-oleh. Ternyata dari pantauan map, rute bus Rapid KL ini semakin menjauh dari sasaran.

Kami pun turun di perhentian terakhir. Dari tempat tersebut naik lagi mencari bus yang paling awal berangkat (Ini masih bus gratis). Namun, sebelumnya saya katakan kepada sopir tentang tujuan ke Sungei Wang. Lalu, kami disilakan naik dan diberi tahu bahwa nanti turun di halte Bukit Bintang, jalan sedikit menuju Sungei Wang. Tidak jauh dari halte Bukit Bintang ini, kami mampir sebentar di toko dan membeli buah yang sangat dirindukan bersama, yaitu jambu cristal, hehehe.

Masuk plaza Sungei Wang, tak ada yang menarik. Hanya teman kami yang membeli kain selendang penghangat, oleh-oleh untuk ibunya. Tiba-tiba saya merasa bersedih, teringat bahwa hari ini, setahun lalu, Ibu saya pulang ke haribaan Allah swt. Tak bisa lagi saya membelikan apa pun untuk Ibu. (Tentang doa, tak perlu ditanya...)

Hanya belasan menit di Sungei Wang, kami menerabas lewat pintu belakang plaza, turun tangga, belok kiri (Pintu B1), keluar pintu, belok kiri, menyeberang, lalu naik jembatan menuju pintu utama Berjaya Time Square. Aktivitas pertama di Berjaya Times Square adalah makan di Food Court. Saya suka ikan.

Menu pilihan: nasi putih dan ikan kembung bumbu pedas seharga RM6. Untuk jenis ikan kembung, ukuran ikan ini relatif besar dan panjangnya melebihi garis tepi piring saya (Ah sudahlah, tidak usah divisualisasikan). 

Setelah makan dan ngobrol sana-sini, dilanjut belanja oleh-oleh di super market yang bersebelahan dengan Food Court tempat kami makan. Di seberang jalan (dari pintu belakang plaza) ada halte, kami duduk-duduk di sana sambil menunggu grab, moda transportasi andalan.

Butterfly Park merupakan destinasi berikutnya. "Ndelok kupu-kupu ae nang Malaysia." Bukan, itu bukan tujuan utama. Indonesia sebagai negara beriklim tropis lebih kaya dalam hal keanekaragaman hayati, termasuk kupu-kupu. Guna menghilangkan rasa penasaran terhadap objek wisata tersebut, kami melaju ke sana naik grab dengan ongkos RM9 (dari Berjaya Times Square ke Taman Kupu-Kupu). "Oalaaah ngglethek ae.. apik-an Arboretum Sumber Brantas, Cangar!"

Tidak hanya hebat dalam bidang perhubungan, Malaysia sangat piawai dalam dunia pariwisata. Objek wisata sekecil dan sesederhana Butterfly Park tersebut bisa populer dan dikunjungi wisatawan dari berbagai negara. Saya tidak merekomendasikan untuk datang ke tempat ini, kecuali untuk kepentingan penelitian dan edukasi.

Taman ini tidak terlalu luas, hanya berisi tumbuh-tumbuhan dengan beberapa gazebo untuk rehat, air grojokan membentuk sungai kecil yang bergemirik dengan kupu-kupu beterbangan dalam batas jaring/rajut yang seolah menjadi atap taman tersebut. Selain itu, tiket masuk relatif mahal bagi orang asing, sebesar RM24 (sekitar 3x lipat lebih mahal dari pada harga tiket bagi warga negara Malaysia).

Hanya satu hal yang membuat saya bangga, di Butterfly Park ada jenis kupu-kupu yang habitat awalnya berasal dari Irian, Indonesia. Keterangan tersebut terpajang di dinding di tempat laluan pengunjung yang akan keluar taman.

Keluar dari Taman Kupu-Kupu, kami tak lagi tertarik terhadap objek wisata, ingin ke hotel saja istirahat karena semalam tak jenak tidur di dalam bus dari Penang. Hotel Youniq letaknya sekitar 50 km di luar kota Kuala Lumpur, tepatnya di Sepang (tidak jauh dari SIC MotoGP). Rencana selanjutnya: Malam Minggu di Sepang. Naik grab RM10 dari Taman Kupu-Kupu ke KL Sentral guna mengambil backpack yang dititipkan di Locker. 

Dari Lantai 2 tempat Locker, kami turun ke lantai G menuju Medan Kereta, tempat bus segala jurusan terparkir di sana. Setelah membeli tiket di loket jurusan KLIA2 seharga RM12/orang, kami naik bus ke Sepang.

Ternyata semua penumpang harus turun di bandara KLIA2, tidak bisa turun di sembarang tempat. Baiklah, tak mengapa, toh semua yang kami jalani adalah bagian dari petualangan yang wajib dinikmati. Perjalanan kali ini agak panjang, memerlukan waktu sekitar 1 jam, alhamdulillah bisa nyicil tidur dalam bus.

Dropp zone penumpang di KLIA2, kendaraan besar seperti bus di selasar lantai 1, sedangkan kendaraan kecil seperti mobil, di selasar lantai 3 (Gerbang Kedatangan). Oleh karena itu, setelah turun bus, kami masuk ke dalam bandara, naik ke lantai 3, keluar pintu lalu memesan grab menuju hotel. Di sinilah satu-satunya grab yang pernah kami order dengan jarak tempuh paling dekat tetapi paling mahal ongkosnya yaitu RM45, mungkin karena ordernya dari bandara. Amanat: Jika ingin nikmatnya bertambah, maka harus pandai bersyukur sebagaimana isi Surat Ibrahim Ayat 7.

Sopir grab ini bernama Azis, dia menjemput kami dengan tersenyum dan mengucap salam "Assalamu'alaikum", Waaahh.... adem mendengarnya. Dalam perjalanan ke hotel, tak terlewatkan untuk memanfaatkan kesempatan berliterasi melalui sopir grab. Di sini semua sopir grab ramah, sopan, keren, dan berwawasan tentang tourism di negaranya.

Kami menuju hotel Youniq yang berada di wilayah Sepang. Sepang sudah termasuk ke dalam wilayah Negara Bagian Selangor. Sebagaimana yang pernah saya tulis di sini: Melaka 0 Mile bahwa Malaysia merupakan negara Monarki Konstitusional yang terdiri atas federasi 13 Negara Bagian: (1) Johor, (2) Kedah, (3) Kelantan, (4) Melaka, (5) Negeri Sembilan, (6) Pahang, (7) Perak, (8) Perlis, (9) Pulau Pinang, (10) Sabah, (11) Sarawak, (12) Selangor, dan (13) Terengganu. Selain 13 Negara Bagian tersebut, Malaysia juga memiliki satu wilayah Teritori Federal, yaitu (1) Kuala Lumpur sebagai Ibu Kota, (2) Labuan, dan (3) Putrajaya sebagai Pusat Pemerintahan.

Tiba di hotel, check in, bersih diri, salat, istirahat sambil ngobrol sana-sini, tak lupa menikmati pemandangan dari jendela kamar, sampai waktu sore berakhir dalam senja temaram. Setelah maghrib, lanjut pesiar tipis-tipis sambil makan malam. Hotel Youniq berada di kompleks pertokoan Jalan Bukit Changgang, Bandar Baru Salak Tinggi Busines Park.

Di wilayah ini terdapat banyak hotel: hotel Sri Langit, hotel Qlassic, hotel City View, dan banyak lainnya. Tidak hanya sebagai area bisnis dan pariwisata yang menyajikan hotel dan restoran, di sini juga terdapat lembaga pendidikan, seperti Khalifah Model School, Admal Aviation College, dll.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun