"Setelah lulus nanti, kamu mau balik ke sini dan cari kerja di sini, kan, Du? Cari suami orang sini aja. Nggak ribet. Banyak kok, yang nanyain ke Ibu. Kamu tinggal tunjuk aja mau yang mana," kekeh Mbak Ratih.
Entahlah. Aku merasa semua yang ditawarkan kakakku itu terlalu mudah. Kakakku tidak salah memilih cara aman untuk membentuk kehidupannya. Tetapi, aku punya keinginan berbeda. Meskipun aku belum tahu seperti apa warna dan bentuknya.
Aku ingat pernah menyabotase sesuatu yang mungkin menentukan masa depanku. Aku sengaja tak mengerjakan soal-soal pada seleksi masuk perguruan tinggi. Waktu itu apa, ya, namanya? SPMB?
Sudah lama aku berimajinasi pergi ke tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Tinggal di kota yang tak seorangpun kenal denganku. Ide menjadi manusia baru sudah memenuhi kepalaku sejak kelas dua SMA.
Akan tetapi, lahir sebagai anak bungsu di keluarga, aku terbiasa dikhawatirkan, diremehkan sekaligus dimanjakan. Keluarga menghendaki aku kuliah di kota provinsi saja. Di Palembang. Hanya tiga atau empat jam dari rumah. Orang tua bisa dengan mudah mengunjungiku di kost dua minggu sekali. Membawakan kering tempe dan kentang yang bisa disimpan berhari-hari. Dan hal-hal semacam itu.
Itu mengerikan buatku. Itu bukan bayangan kehidupan mahasiswa yang kuinginkan. Aku ingin bebas. Aku ingin bisa mengendalikan hidupku. Aku ingin pergi ke manapun yang kumau. Aku ingin melakukan apapun yang kusuka. Tanpa rasa khawatir dan bersalah.
Aku menang sebab namaku tak ada dalam daftar calon mahasiswa yang diterima di peguruan tinggi negeri di Palembang. Terang saja, aku memang sengaja mengosongkan jawaban beberapa soal. Tetapi, pertarungan belum usai.
"Ya sudah, kampus swasta di Palembang kan banyak. Kalau mau, kamu bisa coba lagi tes masuk PTN tahun depan. Kalau masih gagal, paling nggak kuliah kamu udah jalan dua semester," lagi-lagi Mbak Ratih mendikteku.
Aku lupa bagaimana caranya menang berdebat lawan Mbak Ratih waktu itu. Yang jelas, Bapak ada di pihakku. Ia menyetujui permintaanku kuliah di kampus swasta di Solo. Dan menanggung segala biayanya, tentu saja.
Di kota dengan dua nama itu aku benar-benar menemukan kehidupan baru. Kehidupan yang menantang dan membebaskan. Sekaligus membuatku tersesat.
Ya, kebebasan rupanya bisa menyesatkan seseorang.