Saya berterima kasih sekali kepada teman-teman saya hari itu karena, setidaknya, sudah membawa saya untuk keluar dari kegelapan walau hanya sesaat. Menyenangkan sekali menonton konser tersebut, saya bahkan sempat melompat-lompat mengikuti hentakan lagu. Namun, ketika sudah pulang dan tiba di atas kasur, perasaan sedih itu kembali menghantui.
Berulang kali saya menjerit dalam hati dengan nada frustasi, "Why me?" namun jujur saja, bahkan hingga detik ini pun, saya belum menemukan jawaban konkretnya.Â
Bapak tiba di Jakarta minggu depannya dan mencoba menenangkan saya. Kalimat demi kalimat klise yang keluar dari mulut beliau—seperti, "Ini adalah ujian," atau, "Semua sudah takdir Tuhan," atau bahkan, "Pasti ada hikmahnya,"—sambil sesekali membandingkan kesialan yang sedang saya alami dengan jatuh-bangun beberapa sosok public figure yang beliau kenal.Â
Pada akhirnya semua itu hanya masuk ke telinga kiri lalu keluar melalui telinga kanan, berputar-putar dengan nada gemeresik layaknya pita kaset yang telah usang.
Dalam perjalanan pulang menuju kampung halaman, banyak hal yang terlintas dalam benak saya. Bisakah saya bangkit? Apakah saya bisa tersenyum dan bangga pada diri saya sendiri seperti dulu lagi? Kapan Tuhan akan membukakan jalan kembali? Atau saya harus banting setir saja mencoba berbisnis dengan mengembangkan usaha nastar milik kakak ipar saya meski saya tidak punya pengalaman entrepreneurship sama sekali?
Saya pun berpura-pura tidur di dalam mobil, berharap agar Bapak dan Ibu tidak menanyai saya macam-macam. Saya hanya tidak tahu lagi harus merespons seperti apa, takut kalau setiap jawaban yang meluncur dari mulut saya justru akan menyakiti perasaan mereka.Â
Saya sadar betul, saat itu, karena tidak ingin menangis lagi dan terlihat lemah, saya lebih sering memutuskan untuk menjadi keras kepala dan terlihat marah sepanjang waktu. Kelakuan saya betul-betul seperti anak kecil.
Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya bertingkah seperti ini sebelumnya. Pastinya sudah lama sekali. Sesekali, sambil menghitung jumlah mobil yang berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi di jalan tol, saya kembali bertanya-tanya, "Kenapa dulu saya memutuskan untuk tetap tertawa dan terlihat tegar, ya? Kenapa saya senang sekali mengelabui perasaan saya dan meyakinkan diri sendiri bahwa saya ini baik-baik saja? Kenapa saya berusaha untuk optimis? Sekarang, ketika semua emosi ini menyeruak keluar, rasanya jadi lebih sulit untuk menahan diri."
Rasanya ingin sekali mengamuk. Tetapi saya ingat kata-kata Bapak ketika pertama kali datang menemui saya saat itu: jangan marah. Penting bagi saya untuk tetap menjaga perasaan orang lain dalam kondisi apa pun. Apalagi, semenjak saya absen mengontak keluarga, orang-orang rumah menjadi khawatir.
Beliau bilang, diamnya saya menimbulkan perasaan bersalah untuk mereka, padahal mereka tidak salah apa-apa. Suasana di rumah jadi tidak enak. Kalau dipikir-pikir sekarang, ternyata lucu juga, ya... karena ketika kita sedang terpuruk dan butuh validasi emosi pun ternyata di saat yang bersamaan, kita tetap harus mengutamakan orang lain di atas segalanya.
Tepat ketika saya hendak meneteskan air mata diam-diam, sebuah surel masuk. Isinya panggilan psikotes dan wawancara untuk Supervisory Development Program di salah satu perusahaan farmasi ternama. Saya buru-buru memberitahu Bapak, mengatakan bahwa tesnya akan berlangsung lusa di Jogja. Saya deg-degan, selain karena tidak ada baju formal yang saya bawa pulang ke rumah, pikiran-pikiran negatif saya langsung tiba-tiba menghilang begitu saja. Batin saya bolak-balik berkata penuh harap, "Inikah? Apakah ini jalannya...?"