Masa-masa internship pun dilalui dengan menyenangkan. Walau sempat kaget karena lumayan physically challenging, but overall, saya suka! Yang awalnya deg-degan setiap didekati customers, lama-lama malah ingin dicari dan inisiatif menawarkan bantuan ke customers. Padahal internship-nya cuma lima hari, tapi rasa senang dan syukurnya bisa bikin saya di perjalanan pulang senyum-senyum sendiri. I learned something new everyday karena pekerjaannya memang begitu dinamis. Kakak-kakak staf tokonya pun super ramah dan baik, sangat cekatan serta ringan tangan. Saya bahkan belajar banyak sekali dari mereka.
I also made some mistakes, but I quickly learnt from that and tried my best not to repeat the same one. Saya bahkan sudah membayangkan jika suatu saat menjadi Store Manager di sini, I'm gonna reciprocate all the help, kindness, and lesson I received, and will truly emphasize yang namanya staff development to enhance the overall customer experience, and also for them to advance their careers.
Saya bangga sekali karena mampu melalui serangkaian proses rekrutmen yang begitu panjang (Februari - Juli). Akhirnya, saya bisa tiba di tahap akhir.
I still remember it, on the first week of July, I went to Jakarta with high hopes. I was full of spirit and getting ready for my last interview, again, with C-level. I have prepared everything: my clothes, my shoes... I even bought a new bag! Saya juga sudah research banyak, mengulang materi selama internship, mengingat kritik, saran—pokoknya apa saja yang pernah diajarkan store managers saya selama internship.Â
Saya bahkan berdiskusi banyak dengan teman yang saya ceritakan sebelumnya, termasuk dengan teman-teman magang (saya membuat WhatsApp group agar kami bisa saling sharing serta belajar bersama untuk persiapan wawancara akhir)...
... only to find that my dream would only be just a dream.
Sehari setelah wawancara, sore itu, saya bangun dari tidur siang dengan perasaan kosong. Saya baru saja membuka surel yang memberitahu bahwa saya tidak lolos. I didn't cry when I first received an email regarding the layoff, but this hit me so hard that I cried in my sleep that whole night—weeping and whimpering like a cold, limping dog.
I stopped contacting my family in my hometown. I just wanted to be alone and coped everything at my own pace. The harder I tried, the worse it got. I couldn't stop blaming myself, I even ate instant noodles most of the time during the first three days since I got rejected.Â
Saya mencoba mengalihkan perasaan kalut tersebut dengan fokus pada kegiatan bersih-bersih—saya membersihkan seisi unit saya sendirian selama empat hari berturut-turut sampai tangan kanan saya cedera.Â
Hal ini tentu mengingatkan saya pada perasaan kehilangan saat ditinggal Mama delapan tahun silam—pada saat itu, saya sering terbangun saat dini hari sampai-sampai saya memutuskan untuk menyikat kamar mandi hingga subuh agar tubuh menjadi lelah dan bisa tidur kembali.
Untungnya, salah seorang teman mengajak nonton konser Epik High, trio hiphop asal Korea Selatan favorit saya, dengan tiket pemberian alias gratis. Daripada mengurung diri dan memikirkan hal yang bukan-bukan, akhirnya saya ambil kesempatan emas tersebut.Â