Saya baru setahun berkontribusi di perusahaan tersebut. Belum banyak challenge yang sempat saya eksplorasi, masih ada banyak pencapaian pula yang ingin saya raih di sana. Saya pun hanya bisa menutup akhir tahun seperti orang linglung karena semua rencana yang telah disusun sejak lama menjadi berantakan tak karuan.
Pasca kejadian tersebut, tidak pernah saya menangis sekalipun di depan teman-teman terdekat, bahkan keluarga. Saya berulang kali merapal mantra, "This isn't the end. What doesn't kill you make you stronger." Tetapi ketika tiba harinya exit interview, saya tidak bisa menahan tangis di depan HR dan leader saya. Meski berulang kali leader saya meyakinkan bahwa ini bukan soal performa kerja, melainkan restrukturisasi yang tidak bisa dihindari, saya tetap tidak bisa berhenti menggigit bibir dan membiarkan masker saya basah karena air mata.
Ada satu hal yang masih membuat saya bingung hingga detik ini. Saat exit interview, tidak sedikit pun muncul rasa marah. Justru kata-kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah, "Are you okay?" karena melihat kedua mata leader saya sembap bekas air mata. Bahkan ketika saya menceritakan hal tersebut kepada salah seorang teman saya, dia mengata-ngatai saya bodoh.
"Bodoh dan terlalu baik itu beda tipis, tapi lo punya keduanya. Harusnya pas bos lo bilang, 'Silakan kalau kamu mau mau marah sama aku, mau nangis di sini sepuasnya, that's okay,' ya lo marah, dong! Lo protes, kok bisa kejadian kayak gini sampai banyak karyawan kena dan lo juga kena!? Bisa-bisanya lo malah nanyain kondisi bos lo. Duuhh..."
Maybe I should've done that. But I wasn't sure... I just didn't know what to do. I was already tired because things weren't going as planned. PHK ribuan karyawan itu tidak mudah, tidak murah, dan tidak seharusnya terjadi.Â
Kalau kata teman saya, "In the end, we're just numbers to the company." Tapi satu hal yang yakini: bahwa keputusan tersebut juga pasti berat diambil oleh leader saya, leaders lainnya, direksi, dan stakeholders papan atas lainnya di perusahaan.Â
Realistically speaking, tidak ada perusahaan yang sempurna. Kalau perampingan menjadi keputusan terakhir yang harus diambil oleh para petinggi, divisi yang paling awal terdampak sudah pastilah mereka yang mostly bersifat support or operational dan bukan business-centered, atau justru berdampak pada karyawan yang belum lama menjadi bagian dari perusahaan.
Toh pasca-PHK semua hak saya dipenuhi oleh perusahaan. Kalau perusahaannya mangkir dari kewajiban tersebut, mungkin akan lain ceritanya.
But the problem started here. Ternyata saya tidak bisa sepenuhnya legawa. Mungkin memang seharusnya saya marah seperti yang teman saya katakan. Sehingga proses berduka yang seharusnya saya lewati secara berurutan tidak saya paksa langsung loncat ke tahap akhir: acceptance. Tetapi sekeras apa pun berusaha, saya tetap tidak bisa menyalahkan leader saya maupun perusahaan. Yang ada justru saya malah semakin banyak menyalahkan diri sendiri, semakin mempertanyakan kapabilitas saya, dan saya pun semakin terpuruk dari waktu ke waktu.
Tiga bulan pertama saya habiskan dengan senyuman. Saat orang lain menanyakan keadaan dan bagaimana perasaan saya pasca-PHK, saya masih bisa tersenyum dan berkata, "Everything will be okay."Â
Saya masih bisa positive thinking, menghabiskan waktu dengan tawa bersama keponakan, menjadi salah satu panitia penanggung jawab untuk acara pernikahan sepupu, bahkan saya masih bersemangat untuk jalan-jalan dan menghadiri pernikahan teman di Semarang sekaligus reuni kecil-kecilan.Â