Saya pun akhirnya berani mendaftarkan diri untuk mengikuti HR bootcamp dan mengambil sertifikasi BNSP yang harganya kalau dipikir-pikir lagi tidak sebanding dengan pelatihan yang saya terima dan bikin mau nangis.
Di masa-masa itu pula, salah seorang rekan setim kemudian terkena PHK gelombang kedua. Kami membentuk group chat yang tujuannya untuk saling support dan share lowongan.Â
Saya paling bersemangat saat itu—atau setidaknya, saya berusaha bersemangat—karena biar bagaimanapun, hadirnya negative vibes justru akan semakin menciutkan tekad untuk lolos dari status pengangguran. Yang saya pikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya supaya bisa turut menyemangati teman-teman yang senasib dan saling membantu agar tetap tercipta suasana yang kondusif di tengah carut-marut berita PHK massal di mana-mana.
Kalau dilihat-lihat lagi daftar yang kami susun, sampai detik ini tercatat ada 521 lowongan. Itu pun belum termasuk puluhan, atau mungkin ratusan lowongan lainnya yang entah saya maupun kedua teman lainnya lupa tulis. Semua lowongan yang berada di ranah content writing, learning and development, marketing communication, sampai management trainee, semuanya saya masukkan.Â
Peduli setan kalau syarat management trainee sebagian besar membatasi umur dan pengalaman kerja yang hanya sampai satu-dua tahun. Saya berpikir, kalau memang sudah rezekinya, siapa tahu Tuhan pun bakal kasih meski syarat yang dituliskan dalam lowongan terlihat mustahil.
Saya pun akhirnya mencoba realistis. Tidak jadi HR tidak apa-apa, mungkin memang belum saatnya. Masih berkarier di area content writing dan marketing communication pun tidak masalah, yang penting perusahaan tersebut stabil dan karier saya bisa berkembang di sana sebagai seorang pekerja full-time (permanen). Sebab saya menyadari masih ada tagihan Telkom dan IPL yang harus dibayar setiap bulannya, juga impian lainnya yang belum saya raih: membantu meringankan beban Bapak yang sudah pensiun dan masih membayarkan tagihan listrik, air, dan internet rumah setiap bulannya. Saya pun tidak bisa terus-terusan bergantung pada pesangon dan dana JKP.
Doa saya sepertinya dijawab oleh Tuhan. Saya mendapat panggilan wawancara, bahkan saat perjalanan pulang selepas wawancara saya dikabari bahwa saya diterima. Secepat itu. Namun setelah melalui beragam pertimbangan satu dan lain hal, peluang tersebut saya lepas. Saya pun kemudian mendapat kesempatan di perusahaan yang lebih besar, yaitu salah satu perusahaan otomotif asal Jepang.Â
Di saat yang bersamaan, saya juga mengikuti proses rekrutmen management trainee di salah satu perusahaan retail ternama yang berasal dari negara yang sama pula. Rekrutmen Bersama BUMN pun saya ikuti, meski harus gagal di tahap awal karena nilai TKD saya mepet sekali, kurang satu angka dari batas ambang yang sudah ditentukan (padahal saya sudah banyak belajar dan semangat sekali akhirnya saya bisa apply lowongan HR karena syaratnya menerima jurusan saya juga).
Pada akhirnya, saya juga gagal di perusahaan otomotif tersebut. Padahal sudah sampai tahap akhir, yaitu wawancara dengan C-level.Â
Saya terus mencoba menyemangati diri sendiri, "Baiklah, tidak apa-apa. Ayo, berjuang lagi," meski sebenarnya dari hari ke hari batin saya semakin diliputi rasa cemas. Bagaimana kalau di perusahaan retail ini saya juga gagal? Bagaimana kalau saya pada akhirnya menganggur dalam jangka waktu lama sampai tidak ada perusahaan yang mau melirik saya? Bagaimana dengan umur saya yang tahun depan sudah memasuki kepala tiga, apakah masih ada kesempatan di luar sana untuk saya?
Lucunya, di saat-saat terpuruk seperti itu, saya masih sempat menyemangati teman-teman saya untuk tidak patah semangat. Saya juga rajin berbagi tips kepada mereka seputar pengalaman wawancara saya, baik dengan level user maupun c-level.Â