Mohon tunggu...
Lia Kurniawati
Lia Kurniawati Mohon Tunggu... Dosen - Realistis dan No Drama

Author - Founder Manajemen Emosi & Pikiran (MEP) Dosen Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

CERPEN : Telepon Penghempas Asa

3 Juli 2015   11:13 Diperbarui: 5 Juli 2015   11:16 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Terhenyak terbangun setelah suara deru motor bergas pol memekakkan telinga, maklum kamarku tepat pinggir jalanan kampung hingga lalu lalang kendaraan tak asing berderu dan seringkali tak bisa tidur lelap jika tak terlalu lelah. Kucoba sapukan tangan menjelajah ke arah samping dalam ranjang,  namun tak kudapati dia …

“Kemana dia? …. “ pikirku

Ku singkap sedikit tirai jendela kamar, sekedar mengintip matahari di luar sana namun tak kudapati sinar mentari pagi itu…

“hmmm masih gelap …“ gumamku seraya meraba menarik tali lampu kamar yang terletak diatas meja kecil tepat di sampingku.

Mulai terlihat jelas jarum jam di dinding kamar mengarah ke angka 3 dini hari. Beranjak menuruni tempat tidur kusasar kaki menelaah sandal jepit.. sejurus kemudian sandal jepit itu tepat berada di kakiku. Suara deritan kecil terdengar dari pintu yang kubuka, melongok keluar ruang tengah ternyata lampunya sudah berpendar menyala namun tak terlihat tanda-tanda pergerakkan siapapun disana termasuk suamiku.

“hhhmmm kemana kah dia ?  .. “ sekali lagi gumamku.

“Paah  … paaah  .. “  Kuarahkan suara memanggilnya ke lantai atas berdiri di bawah tangga.

Namun tetap tak terdengar suara dari siapapun di atas sana,  baik suara anak-anak ataupun suaranya, lanjut kulangkahkan kaki ke arah kamar mandi kulucuti satu persatu lingery dan mengguyurkan air ke seluruh tubuh untuk menghilangkan hadast besar yang tersisa tadi malam.

“Alhamdulillah … “  Percikan terakhir air wudlu menyapu wajah, Tiba-tiba bunyi dering handphone dari arah kamar, mungkin karena masih dini hari sehingga suaranya terdengar kencang. Dengan tangan yang masih agak basah, sedikit kusapukan ke arah bawah handuk yang menutupi dada sampai atas lutut, segera kuraih handphone itu dan mendekatkan nya ke telinga.

“Halo, mah..  papah udah di masjid … tadi pergi jam tiga kurang mama masih tidur jadi papah pergi aja!  ..”  terdengar suara di balik speakerphone tanpa menyapaku selayaknya sesama muslim.

“oiya maaaff .. tadi mama nyari papah kirain pindah tidur ke atas sama anak-anak, tadi kebangunin kaget denger suara motor .. motor  papah kali yah …? ” tanyaku

“Iya sengaja di kencengin, biar mama bangun! “  balas nya ketus

Sejenak ku lirik jam dinding di ruang tamu jarum pendek yang masih mengarah ke angka 3 sedangkan   jarum panjang sudah bergerak  ke arah angka 2.

“Hhmmm … 10 menit? “ tanyaku

“Iya kurang lebih … “ balasnya lantang tegas sumringah terbayang diiringi dengan senyuman  kecil kebanggaan.

Kebanggaan mampu menaklukkan jalanan berjarak tempuh 40 kilometer dengan waktu  kurang lebih 10 menit saja. Yang berbeda dari biasanya memakan waktu lebih dari 1 jam jika jalanan normal.

“Tadi jalanan kosong … jadi lumayan cepet!  udah ya! mau mandi dulu!” lanjutnya tetap dengan suara ketus tanpa menunggu persetujuanku langsung menutup telponnya.

Kulihat pukul 5 pagi, jam dinding angry bird di kamar anak-anak,  kubangunkan mereka agak bersusah payah terutama membangunkan si kecil yang masih agak manja, pikirku satu jam rasanya cukup untuk mempersiapkan kebutuhan mereka sebelum berangkat ke sekolah. Namun rasanya waktu satu jam selalu kurang hingga ku selalu melewatkan sarapan karena kehabisan waktu,

“tak apalah aku bisa mencari sarapanku nanti di tempat kerja, yang penting mereka jangan melewatkan sarapannya”  pikirku.

“Mama ga sarapan?” Tanya si sulung.

“nggak nanti aja di tempat kerja.. “ jawabku seraya  menghampiri motorku yang sebelumnya sudah kupanaskan terlebih dulu,

“sok habiskan sarapannya, biar kalian kuat … “ lanjutku

Sepertinya suara motor ku sudah siap mengantar anak-anak ke sekolah sekaligus menjalankan aktifitasku hingga siang nanti. Perasaan senang melihat anak-anakku terlihat segar dan ceria siap pergi sekolah, tak menunggu lama segera ku bonceng mereka khawatir terjebak jalanan macet dan sepuluh menit  kemudian tiba di sekolah anak-anak.

“Mama pergi ya ka,, jagain adik kalo ada apa-apa bantuin dia ya .. nanti pulang bareng sama adik kalo mama belom jemput, mama usahakan bisa jemput.” pesanku pada si sulung.

“Mama hari ini bisa jemput?” Tanya si sulung.

“Iya nanti mama cobain, kalo mama ga bisa jemput nanti telpon atau sms kaka yah!” tukasku.

“Papa mana ma?”  Tanya si kecil.

“Tadi pergi ke masjid jam 3 pagi sebelum kalian bangun”  jawabku.

Mereka sudah faham betul pekerjaan papanya  seorang muadzin masjid provinsi yang terletak lumayan  jauh dari rumah.

“Owh ya udah … mama hati-hati di jalan ya !” lanjut si sulung.

“iyaa .. belajar yang tekuun jangan lupa di makan bekal nasinya,  jangan jajan sembarangan..“  tambah ku seraya memeluk mereka.

Memastikan mereka masuk ke ruang kelasnya masing-masing segera ku hampiri motorku dan menarik gasnya perlahan namun pasti menuju tempat kerjaku. Pukul 7 lebih 20 sudah motorku parkirkan tak jauh dari ruang kelas, suara riuh rendah penuh semangat anak-anak terdengar sudah berbaris rapi di pelataran halaman sekolah.

“ups .. kesiangan lagi … “ gumamku dalam hati.

Bergegas memasuki ruang kelas seraya menganggukkan kepala tanda permintaan maaf, setelah sebelumnya melewati deretan rapi barisan anak-anak berumur 5-6 tahun itu dengan di iringi tatapan guru-guru yang sudah hadir lebih dulu.

Rasa perih mulai menyapa perut, ku arahkan pandangan ke arah pergelangan tangan kanan..

 “hhhmmm … sudah jam 12” gumamku.

Segera kubereskan buku-buku yang berserak di atas meja, kusambar tas yang menggantung di sandaran kursi beranjak ke arah kantor dan pamit pulang untuk menjemput anak-anak.

Setibanya di halaman depan rumah kuparkirkan motor bergegas menuju jamban dan mengambil air wudlu meskipun sepertinya perutku sudah tak mau berkompromi lagi, segera kusempatkan sarapan yang tertunda sebelum menjemput anak-anak pukul setengah tiga  nanti, setelah berkendara satu jam lebih di bawah matahari yang terik cukup membuat mata terserang kantuk yang luar biasa. Sofa coklat berbantal keras itu begitu menggodaku untuk sekedar merebahkan diri yang terasa tak berdaya dan merapatkan bulu-bulu mataku.

“Satu jam lumayan lah …” gumamku sambil menarik bantal keras itu mendaratkan pipiku di atasnya seraya merebahkan badan.

tutut tutut tutut … tutut tutut tutut … tutut tutut tutut “ bunyi alarm yang sengaja ku pasang sebelum rebahan tadi.

Segera ku tekan tombol bergambar telpon merah itu, sesaat kemudian tak terdengar lagi bunyi itu. Segera kulangkahkan kaki menghampiri motor yang tak bergeming menunggu pemiliknya dengan setia.

“wuuuuzzzhhh … “ hembusan angin terasa berhembus menerpa wajah, sekilat kemudian debu lapangan sekolah menyeruak berhembus terbawa angin yang terhembus dari putaran ban motorku.

Wajah lelah anak-anak terlihat saat menuruni anak tangga, namun segera terlihat berubah sumringah tatkala mereka melihatku berdiri menyambutnya beberapa meter di bawah tangga. Segera kuhampiri dan memeluk mereka di tengah lalu lalang peergroup nya. Kali ini tak terlalu padat karena beberapa kelas belum keluar untuk pulang.

Kuperiksa satu persatu isi tas, mengeluarkan lunch box Tupperware nya dan membukanya guna menghilangkan rasa khawatir serta kupastikan sudah tak berisi,  itu tandanya usahaku menyiapkan bekal untuk mereka tadi pagi tidak sia-sia, mereka menghabiskan bekal makan siang nya…

“Alhamdulillah bekal makannya abis maa … “ terang si sulung seolah mengerti kekhawatiranku.

“iya, ..  Alhamdulillah punya adik juga abis, ayo segera ganti baju kalo kaka mau ikut ke TPA siap-siap pake baju koko.. ” tambahku

“adik mau ikut juga? “ tanyaku pada si kecil

“enggak ah capek! ..  adik disini aja sama nenek “ jawabnya

Di sela-sela kesibukkanku berdialog dengan bocah-bocah itu terbersit pertanyaan dalam benak.. kenapa papahnya tak pernah ambil peduli terhadap mereka, harapan ku sekedar menyapanya by phone pun tak pernah ia lakukan ,, namun ya sudahlah toh mereka masih memiliki aku yang selalu menyayangi mereka … 

“Mama pergi lagi sama kaka jam 3 nanti ya de ..  mau ngajar anak – anak TPA “ lanjutku meskipun berat meninggalkan si kecil.

Ku alihkan pandangan ke arah pintu kamar yang terbuka lebar terlihat jelas ranjang itu dari ruang tengah dimana ku bercengkrama dengan anak-anak, ranjang itu begitu menarik perhatianku dengan langkah gontay kuhampiri, duduk di samping luar ranjang ingin rasanya sejenak merebahkan badan .. namun kupandangi jam di dinding kamar sudah jam 3 segera kutepiskan keinginan itu. Entah mengapa hari ini terasa begitu melelahkan padahal hari-hari yang kulalui bersama anak-anak hampir dipastikan sama seperti ini kecuali weekend.

“Hari ini lemes banget pengen rebahan dulu, tapi takut kesorean!“ ujarku pada si sulung

“Kaka udah siap pake baju koko, emang mama mau pergi jam berapa? “ Tanya nya

“ Sekarang … “ Tukasku

Segera ku gas motorku berbonceng si sulung meluncur menuju tempat mengajarku tadi pagi, kuusahakan satu jam sudah sampai di tempat tujuan namun tetap rasa khawatir menyeruak dalam benak, sesekali kulirik jam tanganku saat berhenti menunggu lampu berubah hijau di perempatan traffic light itu.

“ Jam tiga lebih seperempat kaa … belom adzan ya kaa? “ tanyaku mengagetkan si sulung yang mulai terkantuk-kantuk.

“ Iya ..  “ jawab si sulung pendek.

Kualihkan pandangan ke arah kanan …

“Angkot berwarna kuning sebelah kanan itu sepertinya sangat familiar dan terlalu mepet mendekati motorku. Tapiii … Aaah gak apa-apa nanti juga bisa ku susul dia … “ Pikirku,  Segera kusingkirkan pikiran jelekku dan fokus pada  lampu traffic light tak sabar menunggu berubah menjadi lingkaran hijau.

Perlahan melintasi perempatan yang terasa begitu lengang, seolah aku pemilik jalanan itu dengan kecepatan 20-30 Km/jam ku arahkan motor ke sebelah kanan bermaksud mendahului dan memberikan ruang untuk pengendara lain agar melintas di sebelah kiriku. Tiba-tiba ..

“Sruduuuuuuuttt ,, braakkkk … Gedebub !!!” Badanku terhempas jauh ke depan melewati stang motor, sesaat kemudian

“… Brak … brakkkk!!!“ terdengar suara patahan benda keras.

Selintas terlihat pengendara lain berusaha melepaskan gulungan karung besarnya yang  tersangkut menghantam stang kananku menyalip dari arah belakang dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan kondisiku. Ternyata motorku terhempas ke  arah kiri dan tertabrak angkot kuning itu sekaligus terseret dalam hingga setengah ban depan motorku tak terlihat lagi.  

 “Mamaaaaa …. “ terdengar jerit tangis si sulung

tak kuhiraukan bagian lulut celana kain yang kukenakan terasa basah, bergegas merangkul si sulung yang memanggilku. Sesaat kemudian kerumunan orang mulai menghampiri dan membantu kami membopong ke arah trotoar.

Lutut terasa bergetar hebat, tatkala melihat tangan dan pipi si sulung yang berdarah hebat. Ku hanya mampu menjadi penonton puluhan orang yang berusaha mengeluarkan motorku dari kolong angkot kuning yang ku pandangi tadi saat bertengger bersama di Trafic light, seraya menerima segelas air cup suguhan laki-laki tengah baya yang merasa iba terhadap kami.

“Tenang Ka .. mama telpon papa dulu”  seruku berusaha bersikap tenang.

Masih dengan rasa tak percaya sambil merogoh saku kanan baju dan berusaha memijit tombol recent call .

“halo?” terdengar suara  laki-laki teman tidurku yang sudah tak asing lagi menyapa.

“Assalamualaikum pah … bisa tolong bantu mama dan kaka di depan tugu terminal, mama dan kaka kecelakaan .. motornya ga bisa jalan lagi kayaknya ada yang patah masuk ke kolong angkot!” pintaku berusaha tegar.

“Duh! Kayaknya nggak bisa! .. disini nggak ada  muadzin bentar lagi mau adzan!” jawabnya ketus, tanpa menunggu lama ia lalu menutup telponnya.

“Oh ya udah kalo gitu … “ gumamku, selalu saja rasa kecewa menghampiri perasaanku tatkala berkomunikasi dengannya.

Segera ku putar otak mencari orang yang mau membantu, dan lagi-lagi ku pijit tombol telpon untuk menghubungi ayah dan kakak sulung ku.

 

 

Glosary :

  1. Lingery                       : Baju tidur
  2. Peergroup                   : Teman sebaya
  3. Lunch box Tupperware : Kotak bekal makanan berbahan plastik bermerk tupperware
  4. By phone                    : Melalui telepon
  5. Weekend                    : Akhir pekan
  6. Traffic light                  : Lampu merah / stopan
  7. Recent call                   : Pembaruan telepon
  8. speakerphone              : Pengeras suara

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun