Mohon tunggu...
Lia Kurniawati
Lia Kurniawati Mohon Tunggu... Dosen - Realistis dan No Drama

Author - Founder Manajemen Emosi & Pikiran (MEP) Dosen Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

CERPEN : Telepon Penghempas Asa

3 Juli 2015   11:13 Diperbarui: 5 Juli 2015   11:16 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“ Jam tiga lebih seperempat kaa … belom adzan ya kaa? “ tanyaku mengagetkan si sulung yang mulai terkantuk-kantuk.

“ Iya ..  “ jawab si sulung pendek.

Kualihkan pandangan ke arah kanan …

“Angkot berwarna kuning sebelah kanan itu sepertinya sangat familiar dan terlalu mepet mendekati motorku. Tapiii … Aaah gak apa-apa nanti juga bisa ku susul dia … “ Pikirku,  Segera kusingkirkan pikiran jelekku dan fokus pada  lampu traffic light tak sabar menunggu berubah menjadi lingkaran hijau.

Perlahan melintasi perempatan yang terasa begitu lengang, seolah aku pemilik jalanan itu dengan kecepatan 20-30 Km/jam ku arahkan motor ke sebelah kanan bermaksud mendahului dan memberikan ruang untuk pengendara lain agar melintas di sebelah kiriku. Tiba-tiba ..

“Sruduuuuuuuttt ,, braakkkk … Gedebub !!!” Badanku terhempas jauh ke depan melewati stang motor, sesaat kemudian

“… Brak … brakkkk!!!“ terdengar suara patahan benda keras.

Selintas terlihat pengendara lain berusaha melepaskan gulungan karung besarnya yang  tersangkut menghantam stang kananku menyalip dari arah belakang dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan kondisiku. Ternyata motorku terhempas ke  arah kiri dan tertabrak angkot kuning itu sekaligus terseret dalam hingga setengah ban depan motorku tak terlihat lagi.  

 “Mamaaaaa …. “ terdengar jerit tangis si sulung

tak kuhiraukan bagian lulut celana kain yang kukenakan terasa basah, bergegas merangkul si sulung yang memanggilku. Sesaat kemudian kerumunan orang mulai menghampiri dan membantu kami membopong ke arah trotoar.

Lutut terasa bergetar hebat, tatkala melihat tangan dan pipi si sulung yang berdarah hebat. Ku hanya mampu menjadi penonton puluhan orang yang berusaha mengeluarkan motorku dari kolong angkot kuning yang ku pandangi tadi saat bertengger bersama di Trafic light, seraya menerima segelas air cup suguhan laki-laki tengah baya yang merasa iba terhadap kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun