Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolak Penggantian Kompasianer dengan AI di Kompasianival 2020

25 November 2019   00:10 Diperbarui: 5 Desember 2019   18:49 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 KOMPASIANIVAL, PESTANYA KOMPASIANER 
Semalam Kompasianival 2019 telah diselenggarakan dengan sukses.

Makan siang bersama Kompasianer mbak Ari Budiati dan mbak Anis Hidayati mengakhiri rangkaian 'Reunite'. Selamat di jalan, kompasianer keren. 

Saya harus kembali ke pekerjaan yang sempat tertunda karena flue. Namun, rasanya saya akan tetap tidak tenang tanpa meninggalkan jejak digital tentang Kompasianival 2019.

Kawan kawan Kompasianer telah menuliskan kesan dan reportase tentang acara Kompasianival. Saya tak harus ulang agenda agendanya. 

Saya ingin gambarkan kegembiraan saksikan soliditas Kompasianer yang hadir dari berbagai kota, yang menyempatkan bertemu dan berkumpul untuk mengikuti keseluruhan agenda keren yang telah dipersiapkan oleh tim dan panitia pelaksana.

Bahagia sekali bisa bersapa dan berbicara dengan oom Mim, mas Ikrom, pak Himam Miladi, pak Edy Supriyatna, kang Edy Priyatna, pak Ign Pakdhe Djoko, mas Ferry. dan oom Yonathan Christian, seakan kami kawan lama. Juga, Pak Almizan yang 'sombong', padahal di artikelnya beliau katakan paling ingin ketemu Leya Cattleya.

Meski sebentar, saya bisa berbicara dengan mbak Yayat, mbak Tamita, mbak Avy, "Swarnahati", mbak Anis HIdayati, mbak Maurin, mbak Syifa. Jose KW (tertipu aku). Juga, oom Ronald, juga mas Adica. Oh ya, mas Ajinatha ternyata kalem lembut sekali, sementara mas Ryo serta oom Gatot riuh. Duduk bicara cukup lama dengan mbak Ari Budiati, sang ibu guru itu nikmat damai. 

Saya menanti para Profesor kita, Prof Felix Tani dan Prof Pebrianov. Ibu Lina dan pak Tjip, tentu juga mas Susy dan pater Bobby serta Mbah Ukik, p Giri Lumakto, oom Neno, oom Arnold, oom Gege, pak Hadi Santosa, pak Jokris, pak TH, uda Zaldy Chan, Mbah Peang, pak dokter Pudji, Ayah Tuah juga Kang Marakara dan mbah Prih, mbak Hennie, mbak Sisca. Mbak Irmina, bu Nursini, mbak Sapta, mbak Liliek juga saya harap bertemu. Eh mereka tak hadir. 

Sedih tidak sempat bercakap dengan para admin dan pengasuh Kompasiania, namun saya memahami kesibukannya. 

Acara berjalan lancar sukses, dan saya ucapkan selamat untuk para pihak. 

Selamat kepada semua pemenang.
Selamat kepada semua Kompasianer.
Selamat kepada tim Kompasiana dan Panitia Kompasianival. Bravo. You did great jobs. 

UCAPAN TERIMA KASIH
Ini bukan "Victory Speech" ala Oscar. Tapi tidak bisa tidak, saya harus berterima kasih secara khusus. Ini saya tujukan kepada Kompasianer, Pembaca juga Admin dan Pengelola Kompasiana. 

Bagaimana tidak? Saya pulang dengan 3 penghargaan. 'Headliner', 'Best in Opinion', dan ' People Choice'. Ini bukan untuk disombongkan. Tak ada yang pantas disombongkan. 

Kesemua penghargaan itu untuk saya? Tidak!! Sesungguhnya itu bukanlah semata karena tulisan saya. Di situ ada campur tangan luar biasa dari Pembaca, Kompasianer, khususnya 'voter', dan juga Admin dan Pengelola Kompasiana serta Panitia. Karena beriman, saya percaya kerja semesta. TanganNya yang mempertemukan kita dan menganugerahkan kebahagiaan. 

Kepada mbak Maurin, ada terima kasih khusus. Sejak bulan September, ia menjagokan saya yang bukan siapa siapa di artikelnya. Ia bahkan memasukkan saya dalam novelnya. Terima kasih, Young Lady Cantik. Tak lupa saya pada Pak Rustian, Pak Tjip dan bu Lina yang selalu hadir hampir di semua artikel saya. Pak Ropingi yang marah marah terus, tetapi baik hati. Harunya, terdapat beberapa Kompasianer yang secara terbuka mendukung. Matur nuwun, dari hati paling dalam. 

Tanpa semuanya, saya tidak ada. Terkesan gombal? Iya, tak apa. Nyatanya, tanpa pembaca dan Kompasianer yang memberikan komentar, kritik, debat sengit, mencaci, atau mem'bully', saya tak ada. Untuk apa tulisan saya buat, bila tidak untuk pembaca dan sesama Kompasianer.

Saya yang 'newbee', yang tidak rapi tata bahasanya, yang sering banyak salah eja, yang serampangan menyampaikan materi tulisan, yang kadang terbawa emosi, marah dan kecewa dengan situasi politik, yang juga mudah bahagia dengan musik , atau terlalu nekad konyol menulis fiksi saya yang sangat tak layak, telah diterima secara resmi sebagai keluarga Kompasiana. Dok, dok, dok. 

Keluarga inilah yang menerima saya apa adanya. Susah dan senang. Baik dan buruk. 

Keluarga ini pula yang menaruh risiko memilih saya melalui 'vote' untuk 'award' itu. 

Saya hendak menyebut tulisan Prof Felix Tani, Kompasianer yang saya hormati dan segani, bahwa Kompasiana adalah "E-Democracy". Dan, Kompasianival adalah pestanya aktor 'E- democracy', para Kompasianer. Kita barus saja merayakan perayaan itu dengan damai. 

ARTIKEL APA SIH YANG SAYA TULIS? 

Saya menuliskan bab ini bukan karena merasa istimewa, tetapi justru karena saya berhutang.

Beberapa kali saya ditanya kawan Kompasianer "Bagaimana cara kamu menulis? ", "Apakah kamu buat kerangka, outline dan lain lain?", "Bagaimana sih kok bisa sering HL?", "Masa baru saja menulis? Tidak mungkin!

Jawaban saya selalu berbeda. Bingung!. Karena alasan dan jawabannya sulit saya bakukan. Mungkin, kawan kawan Kompasianer berpikir saya pelit membagi tips. Atau apa sajalah. Sejujurnya, saya hanya menulis dan menulis. Tanpa kerangka. Tanpa penjara. Ketika saya ingin menulis, saya lakukan. Itu saja. 

Namun, karena dipaksa, saya coba urut balik "trace back". Walau jawaban ini jadi terasa "mengada ada", karena saya tidak memiliki prosedur atau pola baku dalam menulis. Mohon maaf bila apa yang saya tulis membuat pembaca tidak berkenan.

Pertama, saya bukan terlahir sebagai seorang penulis. Apalagi penulis prosa. Mungkin saja, pekerjaan yang menuntut saya untuk menulis mempengaruhi pola kerja menulis. Bukan tulisan prosa. Bukan fiksi. Namun, tulisan laporan. Beruntungnya, laporan itu bukan laporan reportase, atau laporan proyek, melainkan laporan yang mencoba menjawab ala"riset", yang punya pertanyaan untuk dijawab. 

Laporan itu bisa terkait isu sosial budaya, kehutanan, perikanan, pertanian, ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, pemilu, masyarakat sipil, gender, kemiskinan dan lainnya. Sebisa saya tentunya. Modal saya adalah banyak hidup di lapang dan menggunakan ilmu hidup. Bukankah menjadi makin tua memberi kita ilmu hidup pula. 

Kedua, selain menjawab pertanyaan "riset", tulisan itu tentu menjawab pertanyaan dasar tentang apa, siapa, mengapa, bagaimana ini penting, berapa, dan apa yang harus dilakukan. Intinya 5 H dan 1 H itulah. Jadi, saya berangkat dari hal dasar dan sederhana, yang saya yakin kita semua gunakan ini. 

Ketiga, pekerjaan saya melibatkan kunjungan lapang, bertemu manusia, bertemu aktor kemanusiaan. Manusia tidak homogen.

Ia bisa perempuan pejuang ekonomi. Ia bisa laki laki yang terancam egonya sendiri di pemerintahan. Ia bisa orang kaya pemilik modal. Ia bisa elit desa yang banyak bicara. Ia bisa orang miskin pemberontak. Ia bisa orang mapan yang tak hendak lihat realitas. Ia bisa petani tanpa tanah. Ia bisa perempuan disabilitas tanpa akses politik. Ia bisa guru penuh tugas namun berstatus honorer selama hidupnya. Ia bisa pengungsi bawah tenda yang lama menanti dukungan pemerintah, dan sebagainya. 

Mereka punya kekhasan. Seperti hidup kita. Ini jadi bekal saya bercerita, dan masuk dalam tulisan. Sekali lagi, saya pakai ilmu hidup saja.

Keempat, untuk menjawab pertanyaan "riset" di atas, mau tidak mau saya harus membaca. Bahasa kerennya, saya lakukan kajian pustaka. Itu karena tak semua pertanyaan punya jawaban siap pakai di google. 

Setelah saya mengingat-ingat, artikel saya mungkin saja jadi mirip tulisan investigatif. Ini karena saya mudah kepo. Intinya, saya coba menjawab pertanyaan dari berbagai topik dan melaporkannya dalam bentuk tulisan kepada pembaca. Ini mirip definisi tulisan investigatif menurut en.wikibook.com. Artikel investigatif saya bisa beragam, ke soal apa saja. 

Soal lebah jantan yang hidupnya sangat pendek, yang mati setelah mempersembahkan kejantannya kepada sang Ratu Lebah. Sementara, madu lebah ternyata utuh baik yang ditemukan di suatu piramida di Mesir. 

Juga, artikel tentang kucing yang dianggap jadi penyebab kematian separuh penduduk Eropa di masa gelap. Hoaks membuat pembantaian atas kucing di penjuru Eropa.

Padahal ini soal penyakit sampar yang disebabkan tikus. Adalah Renaissance yang merubah nasib kucing. Peristiwa yang dikenal dengan 'the black death cat' ini saya kaitkan soal hoaks pada konteks terkini, pra Pemilu 2019. Ini saya tulis karena dulu saya sempat punya 56 ekor kucing. 

Atau, suatu saat saya mendengar kisah angka tujuh yang penting bagi masyarakat Dayak. Ini saya dengar dari pak Marius Gunawan yang duduk ngopi bersama di kafe Arborea di area hutan Manggala Wanabakti, Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. 

Pak Marius yang dari suku Dayak itu bercerita soal angka tujuh ini dalam 10 menit, di luar cerita lain. Namun, itu tidak berhenti di situ. Saya cari informasi lebih tentang itu. Dari riset yang ada. Dari tulisan Prof Apollo. Itu saya jadikan referensi saya menulis. 

Karena saya memerlukan sejaran masyarakat Dayak, saya juga bertanya kepada seorang sahabat yang memiliki banyak referensi soal Dayak. Saya bertelpon cukup lama. Saya ingat, saya bertelpon sampai jam 3 pagi. Ngantuk juga karena yang bersangkutan lebih semangat dari saya. Ini semacam wawancara dengan nara sumber. 

Ada juga soal revisi Undang undang KPK. Saya terganggu dengan begitu banyaknya sentimen seakan ada gerakan radikal dalam tubuh KPK, dan untuk itulah KPK perlu digembosi dan ditaklukkan serta diawasi melalui revisi Undang undang KPK . 

Dan, saat itupun lahir diskursus Buku Merah, tuduhan kepalsuan kasus Novel Baswedan, atau UAS yang berkotbah di KPK yang sebetulnya misterius soal siapa yang undang. Ini menyudutkan posisi KPK. Hati saya sulit menerima. 

Saya paham bahwa saya mungkin hanya sedikit dari Kompasianer yang 'melawan' mazab sentimen radikalisme dalam tubuh KPK. Tapi, tak apalah. 

Apa yang saya lakukan dalam menulis soal KPK?. Saya memang menggunakan referensi riset tentang kinerja KPK selama ini. Ini bukan hanya terkait laporan tahunan KPK, tetapi juga riset yang dilakukan ICW, laporan lembaga dunia seperti OECD, serta riset lain yang menjadi dasar pembentukan laporan Corruption Perception Index (CPI) tahunan yang disusun Transparency International. 

Ribet amat?. Bukan sok sokkan!. 

Begini, karena isu KPK memiliki isu pro kontra luar biasa yang sempat jadi pertanyaan publik dan melibatkan partai pendukung Presiden terpilih, saya perlu bukti dan argumentasi.

Bila ada pihak yang 'ngeyel' pada hasil kerja KPK dan tetap katakan KPK tak berprestasi, itu adalah hak mereka. Meski saya merasa saya dibodohi. Urusan loyalitas kita tak seharusnya membuat nilai kita luntur untuk menulis kejahatan di depan mata untuk menghidupkan swasta atas nama legalitas korupsi. Kepercayaan bahwa KPK menjerat langkah kerja itu agak sulit  bisa saya terima. 

Jadi, paling tidak, saya membawa argumentasi atas pandangan saya terkait KPK. Sentimen dan propaganda adanya radikalisme di tubuh KPK sebagai mengada ada. Ini artikel yang berisi kritik. Saya harus teliti sebelum menulis dan tayang. Bukan karena mau selamat. 

Pekerjaan dan hidup saya mengajarkan bahwa bila kita menginginkan perubahan, sampaikan dengan baik dan argumentatif. Bahkan, ambil pintu masuk yang pas yang menjadi interes orang atau pihak yang kita tuju. 

Saya juga belajar dari hidup. Ketika masih lebih muda, saya sampaikqn apapun yang ada di kepala. Kadang tidak kondusif. Karena ketidaktahuan saya. 

Momen revisi UU KPK memang momen saya menjadi cukup produktif. 

Lalu, terdapat beberapa artikel soal KPK yang diganjar HL. 

Saya memang suka membaca. Mungkin karena dulu belum ada "fadget". Sejak SD saya baca buku ibu saya. Mulai dari komik dan buku cerita HC Andersen sampai Mahabarata, Bagavan Gita, sampai novel novel terjemahan semacam Pearls S Buck dan Hemingway, serta buku buku Pramudaya. Ini berlanjut sampai dewasa. Bedanya, saya membaca dengan lebih selektif. 

Ketika melakukan perjalanan, saya hampir selalu mampir toko buku di setasiun, bandara, di mana yang ada. Buku buku itu adalah teman saya di rehat siang atau jelang tidur. 

Lalu, tiba saatnya menulis. Mungkin aneh, tetapi ketika menulis, saya merasa sedang membuat persembahan. 

Persembahan? Iya, saya menulis seakan sedang berbicara dengan orang yang saya cintai, pembaca . Berbicara dengan orang yang kita cintai tentu ada emosi di sana, ada 'pijar mata' penuh cinta, senyum malu, merajuk, merayu, kadang tangis kecewa, cemburu, atau marah. Ketika menulis sesuatu yang menyentuh, saya juga menangis. Entahlah, saya memang cengeng, tapi saya hanya ingin 'bersama' pembaca dalam tulisan itu. 

Lalu kapan saya menulis? 

Setiap pagi, setelah ritual pagi dan minum kopi, saya buka laptop dan tulis paling tidak sebuah artikel. Apa saja yang menjadi minat saya. Bisa sesuatu yang aktual seperti isu politik, bisa juga sesuatu yang saya memang punya ketertarikan, seperti isu gender. Saya cukup cepat menulis. Tapi mohon jangan dibayangkan saya hanya perlu waktu 1 jam untuk bisa tayang sebuah artikel. Ini adalah  1 sampai 2 jam untuk sebuah artikel sepanjang 1000 sampai 1.500 kata. Itu semacam draft, yang masih lengkap dengan typo dan repetisi serta kesalahan lain, juga salah alur pikir. Saya lalu email draft itu ke email saya sendiri. Saya buat semacam bank artikel. 

Di saat senggang, istirahat makan siang, atau hendak tidur, saya pilih artikel yang sesuai untuk hari itu, dan saya edit artikel di email saya dengan smartphone. Bagi saya, editing perlu waktu. Kemacetan Jakarta dan transit penerbangan adalah rejeki untuk menulis dan edit. Oh ya, saya juga sering mendapat ide tulisan dari obrolan dengan supir taksi. Perjalanan dengan Kereta Api Jakarta Bandung adalah saat terbaik. Paling tidak 1 artikel bisa saya hasilkan dalam sekali perjalanan. 

SENANGKAH DAPAT HL? 

Kok saya berkali sebut soal HL atau Headline ? Ini yang berat. Saya diganjar penghargaan 'Headliner'. Untuk ini, saya perlu berbagi kesan, dan ini tidak pantas untuk disombongkan.

Senangkah saya mendapatkannya? Iyalah. Bohong bila saya tidak gembira. 

Namun sejujurnya saya tidak menarget HL dan tak pernah menghitung jumlah HL. Saya menulis. Ketika sudah tayang, serahkan pada pembaca. Ada yang suka. Ada yang tidak suka. Ada yang mungkin menyumpahi. Itu risiko di media sosial. 

Saya baru menyadari bahwa dalam sebelas bulan ini saya memperoleh lebih dari 130 HL ketika saya menerima email dari Kompasiana. 

Ijinkan saya sampaikan sesuatu. Karena saya berada pada masa kegairahan menulis, saya lebih pusing bila tidak bisa menulis, tinimbang memikirkan apakah tulisan itu HL atau tidak. Saya juga tak terlalu sadar berfokus pada apa itu centang biru. 

Apalagi bila ada Kompasianer yang menduga bahwa kita menulis hanya untuk gopay, itu nonsense! Memang, Gopay adalah insentif. Tapi gopay bukan tujuan utama. 

Apakah saya kecanduan menulis di Kompasiana? Saya tanpa malu untuk katakan 'Iya, saya kecanduan menulis di Kompasiana'. 

Ketika pekerjaan sedang banyak, saya geliah karena artinya saya hanya punya waktu terbatas untuk menulis di Kompasiana.

Mengapa saya kok repot amat sih? "Lha nulis ya tinggal nulis, kok pakai ribet.". 

Sebetulnya tidak repot atau ribet, karena tanpa sadar saya telah memiliki kebiasaan di kepala saya ketika menulis. Jadi, mohon jangan dibayangkan seakan hidup saya hanya untuk Kompasiana. Saya punya aktivitas pekerjaan yang memenuhi kalender tahunan saya. Saya juga punya kehidupan sosial. Saya juga punya keluarga. 

APA ARTINYA HL BAGI SAYA? 

HL merupakan insentif (bukan tujuan) untuk tetap menjaga agar tulisan itu tak menabrak koridor etika, akurasi dan substansi. Juga, artikel perlu ada pesan, apapun itu namanya, plus ada nilai kebaruan. Itu bagi saya. 

Saya menyadari bahwa ketika suatu tulisan adalah HL, ia memiliki kesempatan untuk dibaca lebih banyak orang. Dan, saya jadi lebih sadar untuk memastikan tulisan itu masuk prinsip prinsip di atas. 

Saya jaim? Tidak juga! Saya menjaga? Iyalah!. Saya kan gunakan identitas asli saya di Kompasiana. Sementara saya punya pekerjaan dan keluarga. Jadi, mau tidak mau, saya bertanggung jawab langsung pada apa yang saya tulis. Sesederhana itu. Tak ada rahasia. Sudah terlalu tua bagi saya untuk membuat sensasi yang tak perlu. 

Tapi sekali lagi, tidak ada pakem. Saya hanya menulis. Dan menulis. Tak ada 'stress' atau penjara. Justru menulis adalah untuk melepaskan stress. Saya menulis dan 'upload'. Serahkan pada semesta. Nikmati. 

Ingat puisi dan cerpen saya yang sangat amatiran dan picisan? Nah itu saya banget. Saya tidak terlalu pusing dengan apa yang saya tulis. Juga saya tak risau dengan komentar kawan. Masa dibilang jaim? No lah. Bahwa iri untuk bisa menulis baik kepada cerpen dan puisi karya Fiksiana keren itu normal, kan?! Mereka idola. 

Lalu, apa tantangan yang saya masih harus kelola dan belajar lebih baik?

Satu, saya tidak bisa atau belum mampu menulis pendek. Saya punya masalah dengan kalimat efektif efisien. Lihat saja tulisan ini. Ini tantangan. Mungkin saya harus punya tujuan untuk mampu menulis Opini dalam 1200 kata. Seperti syarat Opini di Kompas. 

Kedua, saya hampir selalu gagal menuliskan artikel 'pesanan' untuk advertorial, misalnya tentang Program Keluarga Harapan (PKH). Susah. Saya kebetulan bekerja dan terlibat cukup banyak dengan PKH. 

Sementara advertorial atau program artikel bersponsor meminta kita untuk menulis hal positif (dan pujian). Tak ketemu. Saya sulit menulis sesuatu yang saya tidak setuju. Mungkin saya terlalu serius? 

Ketiga, saya malas dituntut target untuk menulis dengan keteraturan. Jadi, ajakan Kompasiana untuk menulis tiap hari di bulan Ramadhan tidaklah mungkin saya ikuti, meski ada iming iming hadiah. Bagi saya, menulis adalah ruang kemerdekaan saya. Merdeka dari pakem. Merdeka dari tuntutan. Bahkan merdeka dari tekanan. 

TOLAK KOMPASIANER AI

Baru semalam gempita Kompasianival 2019 kita akhiri. Kok saya taruh judul Kompasianival 2020?. Ini bukan salah cetak. 

Materi yang disampaikan oleh banyak pembicara pada 23 November 2019 kemarin adalah 'bekal' mengiringi konteks yang saat ini terjadi. Jaman Artificial Intelligence. Jaman AI. Materi relevan. Bravo untuk panitia Kompasianival. Keren. 

Jadi, visi dan misi Kompasiana 2020 dan Kompasianival 2020 terlu perlu sejalan dan sesuai masanya.

Untuk urusan pengadministrasian artikel selama tahun 2020, dan apakah akan menggunakan AI, kita serahkan ini kepada pengambil keputusan Kompasiana. Tentu ini akan jadi tantangan jaman. Alasan efisiensi bisa melindas jumlah admin. 

Namun ada hal yang lebih penting dan ada dalam kontrol kita, para Kompasianer, bagi saya tentunya.  Kita harus tetap relevan di jagad AI ini. 

Bayangkan, tulisan saya yang berpola akan jadi tulisan yang paling mudah digantikan oleh kerja AI. Apalagi bila saya percaya bahwa saya perlu tata urutan, pola, proses dan struktur artikel investigasi. Itu sangat mudah ditiru oleh AI, dan saya gulung tikar.

Pesan dari Kolumnis Mike Elgan "Why we shouldn't let AI write for us", mengingatkan bahwa meski AI akan memberi keuntungan pada bisnis dengan cara luar biasa, namun jangan pernah kita beri AI kesempatan menulis untuk kita. (Computerworld, 24 Agustus 2019).

Caranya? Tolak cara penulisan yang otomatis pada laptop dan gadget anda!. Tolak semua mesin yang melakukan tugas editing untuk kita. Tolak keberaturan dan "penjara" format dan template. 

Argumentasinya, kita telah menulis dengan bekal literasi yang terdiri dari membaca, berpikir dan menulis. Dan, asspek 'berpikir' yang memasukkan rasa dan jiwa adalah sesuatu yang AI tidak bisa lakukan. Jadi, kita perlu tuliskan ide kita, pikiran kita, rasa kita, jiwa kita. Jangan biarkan alat alat itu lebih pintar dari kita.

Apa bedanya Kompasianer bernyawa dengan AI? Rasa, emosi, jiwa yang tidak dimiliki AI perlu kita pertajam dan latih. 

Nah, artinya, kawan kawan Kompasianer fiksiana punya keunggulan. Meski AI bisa membuat puisi, tapi AI tak bisa memikirkan fiksi itu, apalagi memberi jiwa dan rasa. Bravo!!!

Suatu studi yang melibatkan ribuan puisi dilemparkan kepada pembaca via survai Amazon's Mechanical Turk, untuk membedakan mana puisi yang dikerjakan manusia, dan mana yang dikerjakan AI. 

Studi itu menunjukkan bahwa puisi yang dibuat AI berbeda dengan puisi manusia berjiwa. Diksi bisa diatur AI. Jadi, diksi bukan satu satunya modal bila kita ingin berfiksi yang baik. Itu rekomendasi dari studi itu. 

Puisi yang baik yang dibuat pujangga manusia akan punya jiwa, ada refleksi, ada kedalaman, ada emosi di sana. Mungkin saja puisi mas S Aji akan tetap jaya di masa AI. Ini hanya suatu contoh saja. Terlalu banyak Kompasianer fiksiana yang keren. 

Sejujurnya, saya mendapat inspirasi dari anak saya, Mutiara Anissa. Dia bilang, hobi berbayarnya untuk merias wajah "face painting" ia terus lakukan, meski ia adalah asisten peneliti 'bio-medical science' dan saat ini menjadi dosen.

Menurutnya, ini karena ketrampilannya tak bisa disaingi AI. Sementara, kerjanya sebagai peneliti kanker justru mudah diganti AI. Teknologi berkembang di dunia penelitian dan AI sangat berperan.

Namun, etika akan membuat peneliti kanker membawa hasil kerjanya untuk kebaikan dunia, dan bukan untuk ketersesatan atau perang biologi. Saya pikir betul juga kata anak saya. 

Ini kritikal. Bila kita tidak mengasah lebih baik kemampuan membuat puisi kita, juga tak memasukkan etika, puisi kita tak akan ada bedanya dengan puisi AI. 

Nah, saya ini belum miksi, njur kok diganti AI. Piye coba? 

Juga, rupanya pemilihan foto ilustrasi tulisan itu juga memerlukan ketrampilan. Memang admin akan bantu moderasi bila tulisan kita akan HL sih. Namun, foto dan ilustrasi yang pas juga ternyata memberi bobot tulisan kita. Kita memilih foto dan ilustrasi dengan rasa dan jiwa, khan? Sementara, AI hanya akan gunakan estimasi estimasi saja. Itu kata studi di atas. 

Rupanya, kita sebagai Kompasianer perlu mengasah kemampuan dan ketrampilan, dengan pendalaman serta jiwa yang baik. Sementara, Etika kitalah yang mendikte mau apa dengan tulisan kita. 

Tampaknya, kita juga perlu terbuka dengan kritik. Kalau tulisan saya dikritik lalu saya mutung, yo repot. Dan, pemenangnya adalah AI. AI menang karena ia bisa direkayasa untuk perbaikan dan penyempurnaan. Sementara saya tidak berubah? 

APA KAITAN AI DAN KOMPASIANIVAL 2020? 
Agar kita tidak diganti AI, saya merekomendasikan beberapa hal untuk acara Kompasianival 2020.

  1. Kompasiana perlu merancang dan menyusun agenda acara secara proaktif melawan kekuasaan AI. Artinya, seting panggung, susunan agenda, pendekatan acara perlu mengedepankan rasa dan jiwa manusia, yang menjadi keunggulan kita. AI bisa lakukan apa yang kita buat bertahun tahun yang lalu. Artinya, kita tidak bisa lagi hanya berfokus pada agenda panjang berisi rangkaian 'talk show' dan malam penganugerahan seperti tahun tahun sebelumnya. Dialog jadi kunci, dan AI tak bisa dialog. 
  2. Perlu panggung yang humanis dan interaktif untuk bisa memunculkan banyak dialog itu. Ini agar kita bisa mengisi ruang kosong ketika dua atau tiga narasumber berbicara. Nararumber berbicara bergantian selama 20 menit di panggung yang begitu luas bisa membuat nuansa melompong. Pendekatan humanis akan mencegah penonton sunyi menunggu jeda sesi tanya jawab. Panggung humanis yang interaktif bisa dirancang dengan dinamis ala warung kopi, lesehan misalnya. Atau disesuaikan dengan tema yang akan dipilih untuk 2020. Buat yang informal.
  3. Juga, beri selingan musik jalanan dan pembacaan puisi dari Kompasianer 'Best in Fiction". Ini untuk mendorong kegairahan fiksi, yang sering dikeluhkan dan dianggap 'anak tiri'. Artinya, puisi Kompasianer harus jadi bagian penting dari perhelatan Kompasianival. 
  4. Undang UKM kuliner yang menarik, semenarik apa yang dituliskan Kompasianer. Ada menu Mangut seperti yang ditulis mbak Wahyu Sapta. Ada menu Ketoprak, Es Doger, Coto Makassar, Papeda dan makanan lain. Juga kopi Banyuwangi Osing yang ditulis indah dan HL oleh Mbak Prih dan Asita DK. Lelah kita dengan menu 'global' yang bisa kita dapatkan di mall dan gerai manapun. Ini membuat kita 'lebih Nusantara', dengan harga rakyat Kompasianer, seperti tulisan tulisan Kompasianer selama ini. 
  5. Buat gubuk literasi. Buat pameran dan festival buku karya Kompasianer. Buku buku boleh dijual atau dinikmati dan dibaca. Kompasianer tak perlu malu malu tunjukkan buku dari balik ranselnya seperti kemarin. Kompasiana juga bisa catat, berapa buku digenerasikan melalui proses literasi dan "civic engagement", media warga. 
  6. Libatkan universitas yang dosennya memberikan tugas untuk menulis. Siswa tayang artikel di Kompasiana dan Admin menilai mana yang bisa HL. Mahasiswa itu tentu harus mendaftar sebagai Kompasianer. Mereka bukan hanya meramaikan acara, tetapi menambah jumlah Kompasianer. Recruite - Recreate - Regenerate. Jumlah akun kompasianer dan bacaan "view" akan bertambah. Ini akan membesarkan Kompasiana. Bravo!!
  7. Hadiah untuk penerima Award? Meski E-Book meraja, harum kertas dari buku buku terkini, atau buku klasik, termasuk buku impor adalah hadiah mahal, istimewa dan relevan bagi kami. Buku "Animal Farm" dari George Orwell? Gadis Pantai dari Pramudya? Atau buku karya Kompasianer disumbangkan sebagai hadiah?. Mauuuuu! Kaos juga keren sih. Sedih, tak ada T Shirt Kompasiana di dalam goody bag semalam. Hiks 

Jadi, panggung Kompasianival kita buat sebagai panggung media, seni budaya serta literasi yang merefleksikan Kompasiana yang baru. Yang relevan menjawab masanya. 

Panitia dan relawan Kompasianer bisa turut menyeleksi pembaca puisi dari karya Kompasianer fiksi terbaik pilihan redaksi. Sang Juara akan tampil pada malam Penganugerahan. Guyub. Indah. Saya kok bergairah sekali membayangkannya. 

Ingat lho, relawan tidak hanya mereka yang muda muda, yang berlari lari untuk mempersiapkan acara. Ada relawan ide. Ada relawan berjejaring donatur. Ada relawan kuliner. Gotong royong ini tidak dimiliki AI, tapi kita bisa. 

Lalu, karya puisi oom Mim, Syahrul Chelsky, mas S Aji atau puisi mbak Liliek serta mas Pringadi dibaca di panggung Kompasianival 2020. Atau puisi pak guru Ropingi, Prof Felix Tani, Prof Pebrianov? Syaratnya, harus yang terbaik. Boleh edan, asal tetap waras dan bermutu!

Jadi, saya 'kekeuh' Kompasianer dan Kompasianival 2020 tidak boleh digantikan oleh AI. 

Sebagai penutup, mohon terima saya apa adanya. 

Jangan saya diharapkan untuk menulis artikel Opini yang harus selalu HL. Izinkan saya menulis apa saja, termasuk menulis fiksiku yang picisan itu. 

I love you, Kompasiana and the team.
I love you, Kompasianer.
I love you viewers.
I love you, ALL.
Jayalah Kompasiana!

Pustaka : Satu dan Dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun