Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolak Penggantian Kompasianer dengan AI di Kompasianival 2020

25 November 2019   00:10 Diperbarui: 5 Desember 2019   18:49 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Argumentasinya, kita telah menulis dengan bekal literasi yang terdiri dari membaca, berpikir dan menulis. Dan, asspek 'berpikir' yang memasukkan rasa dan jiwa adalah sesuatu yang AI tidak bisa lakukan. Jadi, kita perlu tuliskan ide kita, pikiran kita, rasa kita, jiwa kita. Jangan biarkan alat alat itu lebih pintar dari kita.

Apa bedanya Kompasianer bernyawa dengan AI? Rasa, emosi, jiwa yang tidak dimiliki AI perlu kita pertajam dan latih. 

Nah, artinya, kawan kawan Kompasianer fiksiana punya keunggulan. Meski AI bisa membuat puisi, tapi AI tak bisa memikirkan fiksi itu, apalagi memberi jiwa dan rasa. Bravo!!!

Suatu studi yang melibatkan ribuan puisi dilemparkan kepada pembaca via survai Amazon's Mechanical Turk, untuk membedakan mana puisi yang dikerjakan manusia, dan mana yang dikerjakan AI. 

Studi itu menunjukkan bahwa puisi yang dibuat AI berbeda dengan puisi manusia berjiwa. Diksi bisa diatur AI. Jadi, diksi bukan satu satunya modal bila kita ingin berfiksi yang baik. Itu rekomendasi dari studi itu. 

Puisi yang baik yang dibuat pujangga manusia akan punya jiwa, ada refleksi, ada kedalaman, ada emosi di sana. Mungkin saja puisi mas S Aji akan tetap jaya di masa AI. Ini hanya suatu contoh saja. Terlalu banyak Kompasianer fiksiana yang keren. 

Sejujurnya, saya mendapat inspirasi dari anak saya, Mutiara Anissa. Dia bilang, hobi berbayarnya untuk merias wajah "face painting" ia terus lakukan, meski ia adalah asisten peneliti 'bio-medical science' dan saat ini menjadi dosen.

Menurutnya, ini karena ketrampilannya tak bisa disaingi AI. Sementara, kerjanya sebagai peneliti kanker justru mudah diganti AI. Teknologi berkembang di dunia penelitian dan AI sangat berperan.

Namun, etika akan membuat peneliti kanker membawa hasil kerjanya untuk kebaikan dunia, dan bukan untuk ketersesatan atau perang biologi. Saya pikir betul juga kata anak saya. 

Ini kritikal. Bila kita tidak mengasah lebih baik kemampuan membuat puisi kita, juga tak memasukkan etika, puisi kita tak akan ada bedanya dengan puisi AI. 

Nah, saya ini belum miksi, njur kok diganti AI. Piye coba? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun