"Anak saya sakit pak Dokter," dan beberapa saat kemudian  Jatmiko kecil sudah sibuk dengan boneka bayi untuk diperiksa.
Lamunannya buyar demi didengar suara lembut Emaknya.
"Nang,"
"Ya, Mak,"
"Kamu sudah siap?" kata Mak Jatmiko sambil mengais-ngais di antara lipatan baju di lemari lusuhnya. Ada pecahan lima ribuan, sepuluh ribuan bercampur dengan recehan. Hasil dia menyisihkan penjualan dagangannya yang tidak seberapa. Seratus ribu. Untuk menggenapinya menjadi satu juta rupiah dengan meminta dari suaminya rasanya tak mungkin.
Ada desah  berat dalam helaan nafasnya. Panen singkong bulan lalu saja hanya cukup untuk ditukar dengan beras. Bagi orang desa seperti mereka memiliki beras sudah bisa makan tinggal lauknya dicari di sekitar rumah. Daun sembukan, daun kates, daun singkong bisalah mereka jadikan lauk.  Â
Matahari masih hangat dalam balutan awan. Embun  masih menjuntai di antara rerumputan. Pagi itu adalah hari terakhir daftar ulang di SMA Negeri 1 Klepon tempat anaknya diterima. Mak Jatmiko menatap loket yang kian berangsur sepi. Sengaja disuruhnya Jatmiko menunggu di sudut. Karena dia tahu Jatmiko pasti tidak berani membayar seratus ribu untuk daftar ulang. Ada ragu terbersit di hatinya.
Satu juta.
Dia tengok lagi bundalan uang di selendangnya. Tapi anakku harus sekolah, teriaknya dalam hati.
"Ibu ada perlu apa ya di sini? Mungkin ada yang bisa saya bantu, " ibu Hari, guru bahasa Indonesia di SMA N 1 Klepon itu tiba-tiba mendekatinya.
"Anak saya diterima bu tapi saya cuma punya ini," ucapnya sembari menyodorkan gulungan uang yang tampak begitu lecek bercampur keringat.