Jatmiko tercenung. Matanya nanar menatap gedung yang bukan menjadi impiannya. Namun dia tidak bisa berontak Maknya memaksa dia untuk masuk di sekolah ini. Â Irit. Dekat dengan rumah itu alasannya.
SMA Negeri 1 Klepon adalah sekolah negeri terdekat dari rumahnya dengan jarak kurang lebih sepuluh kilometer. Sekolah ini memang bukan sekolah favorit atau unggulan di kotanya sehingga peminat yang datang biasanya mereka yang merasa tidak diterima di sekolah-sekolah favorit
Sudah tiga hari yang lalu dia mendaftarkan di sekolah ini dan hari ini adalah saat penentuan dia diterima atau tidak. Sebagai anak yang memiliki nilai ujian nasional SMP murni yang tinggi, dia tidak perlu khawatir untuk tidak diterima di sekolah ini. Apa lagi setiap dia melihat jurnal, nilainya selalu bertengger di titik paling atas.
Dia menatap ke lapangan yang silau oleh terpaan sinar matahari tempat dimana papan pengumuman akan dipasang. Sementara emaknya duduk dengan gelisah. Jatmiko tidak paham apa yang dirasakan oleh emaknya. Dia membenamkan diri sambil berdoa penuh harap emaknya akan mencabut pendaftaran di sekolah ini dan memindahkannya ke sekolah yang lebih baik. Bukankah nilaiku memenuhi untuk dapat diterima di SMA yang paling favorit di kota kabupatenku, bisiknya dalam hati. Namun sepertinya harapan itu tinggal harapan.
"Nang, kata teman-temanmu kamu diterima. Mbok coba ditengok itu papan pengumumannya,"
Ucapan Maknya membuyarkan lamunannya. Maknya selalu memanggilnya dengan sebutan "Nang" - Â Kenang, panggilan sayang untuk anak laki-laki di daerahnya.
Bergegas Jatmiko melangkah menuju ke papan pengumuman dan dia tidak kaget kalau namanya ada di barisan nomor tertinggi. Matanya mulai meneliti satu persatu syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar bisa masuk di sekolah yang baru itu.
"Bagaimana Nang, diterima to?" Yang ditanya hanya mengangguk.
"Alhamdulillah," bisiknya.
"Terus syarat-syarat apa yang harus  kita penuhi?
"Harus daftar ulang Mak. Â Kalau tidak salah harus membayar satu juta," bisiknya pelan penuh kehati-hatian.
"Satu juta?"
"Kapan harus dibayar?"
"Sepertinya tiga hari lagi."
"Artinya Mak memintaku harus masuk di sekolah ini," hatinya bergejolak. Mengapa aku tidak dilahirkan dari keluarga berada. Mengapa bapakku  cuma petani yang sawahnya tiada arti. Sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami ketika hujan turun ke bumi. Sawah yang hanya dapat ditanami dengan tanaman yang bisa bertahan hidup tanpa air. Meski begitu tetap saja harus berebut dengan tikus untuk membawa pulang hasil tanamannya ketika panen tiba. Dan lebih sering tikus yang beruntung. Â
Pikirannya ngelantur. Mengapa juga ibuku hanya seorang ibu rumah tangga.  Seorang ibu yang hanya berjualan warung kelidi rumahnya, sebuah istilah bagi pedagang yang tidak memiliki warung dan menggelar dagangannya di sudut jalan atau di persimpangan. Warung yang hanya mengandalkan pembeli dari kanan kiri rumahnya. Usianya yang renta tidak memungkinkan Mak  untuk berjualan keliling kampung. Hasil berapapun yang diperoleh, Mak pun hanya bisa pasrah.
Aaaah. Dan bukankah sekolah ini hanya kumpulan murid yang tidak punya nyali untuk maju. Yang hanya mengandalkan pekerjaan teman untuk dicontek. Yang menganggap bahwa sekolah hanya sekadar memperoleh selembar kertas yang berbunyi ijazah. Yang terkadang mengambilnya pun setelah bertahun-tahun disimpan oleh pihak sekolah meski sudah menggunakan lembar legalisirnya untuk memperoleh pekerjaan. Yang menganggap guru kejam kala memberi tugas yang menuntut murid untuk berpikir secara logis dan kritis serta mengumpulkannya harus tepat waktu.
Bukannya tanpa sebab Jatmiko berpikiran seperti itu. Hampir seluruh tetangganya nota bene menjadi alumni sekolah tersebut. Tak heran dia sering mendengar cerita mengenai polah tingkah murid-murid tersebut. Karena semua berpikiran setelah lulus, dapat selembar kertas ijazah, lalu bekerja di pabrik-pabrik yang bertebaran di ujung kanan kiri desanya. Maklumlah daerahnya dilingkupi sektor perindustrian yang padat hingga ke pelosok-pelosok kampung. Macet dan efek polusi sudah menjadi teman sehari-hari. Â
Demi menghormati kedua orang tua yang dicintainya Jatmiko hanya mengiyakan kemana dia akan disekolahkan. Hatinya terlalu halus untuk menorehkan luka di hati emak dan bapaknya. Â Karena dari cerita teman-teman yang diterima di sekolah lain hanya SMA ini yang mematok uang sumbangan orang tua dan sumbangan pengembangan institusi yang paling murah.
Mendadak Jatmiko lesu. Cita-cita yang pernah dia bangun sedari kecil haruskah dikubur pelan-pelan karena keterpaksaannya masuk di sekolah ini? Teringat ketika kecil dia bermain dokter-dokteran dengan teman-teman di lingkungan rumahnya. Dengan tali dari gedebog pisang diikat pada tutup botol dia berlagak menjadi seorang dokter. Â
"Selamat pagi pak dokter," ujar Aminah sambil menggendong boneka bayi yang kalau dicabut dotnya akan menangis.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"
"Anak saya sakit pak Dokter," dan beberapa saat kemudian  Jatmiko kecil sudah sibuk dengan boneka bayi untuk diperiksa.
Lamunannya buyar demi didengar suara lembut Emaknya.
"Nang,"
"Ya, Mak,"
"Kamu sudah siap?" kata Mak Jatmiko sambil mengais-ngais di antara lipatan baju di lemari lusuhnya. Ada pecahan lima ribuan, sepuluh ribuan bercampur dengan recehan. Hasil dia menyisihkan penjualan dagangannya yang tidak seberapa. Seratus ribu. Untuk menggenapinya menjadi satu juta rupiah dengan meminta dari suaminya rasanya tak mungkin.
Ada desah  berat dalam helaan nafasnya. Panen singkong bulan lalu saja hanya cukup untuk ditukar dengan beras. Bagi orang desa seperti mereka memiliki beras sudah bisa makan tinggal lauknya dicari di sekitar rumah. Daun sembukan, daun kates, daun singkong bisalah mereka jadikan lauk.  Â
Matahari masih hangat dalam balutan awan. Embun  masih menjuntai di antara rerumputan. Pagi itu adalah hari terakhir daftar ulang di SMA Negeri 1 Klepon tempat anaknya diterima. Mak Jatmiko menatap loket yang kian berangsur sepi. Sengaja disuruhnya Jatmiko menunggu di sudut. Karena dia tahu Jatmiko pasti tidak berani membayar seratus ribu untuk daftar ulang. Ada ragu terbersit di hatinya.
Satu juta.
Dia tengok lagi bundalan uang di selendangnya. Tapi anakku harus sekolah, teriaknya dalam hati.
"Ibu ada perlu apa ya di sini? Mungkin ada yang bisa saya bantu, " ibu Hari, guru bahasa Indonesia di SMA N 1 Klepon itu tiba-tiba mendekatinya.
"Anak saya diterima bu tapi saya cuma punya ini," ucapnya sembari menyodorkan gulungan uang yang tampak begitu lecek bercampur keringat.
Ibu Hari diam, mencoba mengatur pernafasanya yang tersengal. Â Ada rasa haru menyeruak di antara hembusan nafasnya. Segera dia menemui panitia penerimaan murid baru. Ditinnggalkannya Mak Jatmiko terbengong dalam kesendirian. Bu Hari bersama-sama bermusyawarah, dengan teman-teman panitia penerimaan murid baru tentang apa yang sebaiknya dilakukan berkenaan dengan kondisi Jatmiko.
Satu per satu panitia mulai membuka dokumen dan catatan pendaftaran. Terlihat jelas Jatmikolah pemegang nilai ujian nasional tertinggi yang diterima di SMA tersebut. Ibu Hari pun tidak bisa melepaskan diri dari rasa empatinya sehingga dengan cepat digandengnya Mak Jatmiko sambil dibelai dan dielus punggungnya. Cepat ibu Hari mengambil keputusan.
"Mak tidak usah khawatir kami akan terima berapapun uang yang dibayar. Â Yang penting anak Mak bisa sekolah dan menjadi anak yang berguna di kemudian hari."
"Ya Allah. Maturnuwun Gusti, anak saya bisa sekolah. Terima kasih Bu. Terima kasih, " ucapnya berderai air mata.
Ibu Hari menggenggam erat tangan Mak Jatmiko. Menguatkan. Senyum pun merekah di bibirnya yang kering tanpa pemulas bibir.
"Bapak ibu guru yang saya hormati, sebentar lagi dinas pendidikan kabupaten akan menyelenggarakan olimpiade sains nasional, kami mohon bapak ibu untuk bisa menyikapi dan menyiapkan putra putri terbaik kita di ajang OSN ini. Mapel yang dilombakan meliputi Fisika, Kimia, Biologi, Kebumian, Matematika, dan Komputer," Kepala sekolah membuka rapat koordinasi di pagi itu.
Para guru saling bertatapan. Mungkin mereka sedang bernegosiasi secara kebatinan. Berbagi murid yang akan diikutkan di berbagai mata lomba.
"Matematika, Jatmiko ya pak," ucap bu Sudi. Dedengkot dan sesepuhnya Matematika di SMA Negeri 1 Klepon angkat bicara.
"Wah jangan bu, Matematika masih banyak yang mampu," seloroh bapak Haji Solikhun.
"Biar dia di Fisika. Dia sangat menguasai materi dan praktek," kembali pak Haji Solikhun berargumentasi.
"Waduh, ... padahal saya juga mau ambil Jatmiko untuk ikut yang Biologi," bu Christin pun ikut menanggapi.
Hingga istirahat tiba tampaknya perdebatan seru tidak bisa dihindarkan. Semua guru seakan ingin mengikutsertakan Jatmiko untuk ambil bagian lomba di seluruh mata pelajaran. Karena mereka yakin pasti juara akan ada dalam genggaman bila Jatmiko yang maju.
Jatmiko yang pendiam itu seakan sudah menjadi ikon murid pintar di seantero sekolah. Dari kelas satu dia sudah menduduki peringkat satu. Tidak seperti kebanyakan peringkat satu di sekolah ini, Jatmiko memang beda. Kepandaiannya jauh melebihi teman-temannya. Tidak hanya memiliki otak yang encer, Jatmiko memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Dia mau berbagi kepada siapapun yang bertanya tentang pelajaran. Baginya saat dia berbagi ilmu, maka ilmunya pun akan bertambah. Terbukti di setiap jam istirahat dia menjadi guru bagi teman-temannya yang mengalami kesulitan di mata pelajaran Fisika, Biologi maupun Matematika.
Untung sekolah mencanangkan program bebas uang sekolah bagi pemegang peringkat satu secara paralel di setiap jenjang per tahunnya. Dan salah satu yang beruntung itu adalah Jatmiko. Dia pun mulai menyadari betapa sekolah ini penuh mahabah. "Maafkan aku Mak, Mak benar aku harus bersekolah di sini," desahnya lembut.
Hadiah gratis SPP setahun dari sekolah bagai hujan di tanah kering yang sangat menyejukkan hati kedua orang tuanya. Paling tidak mereka cukup memikirkan uang saku harian. Sebenarnya jarak sekolah dengan rumahnya terbilang dekat namun jauh secara pencapaian karena angkot yang ada hanya beroperasi di jam-jam sekolah dan kerja. Ini artinya bila sedikit terlambat bangun pasti akan sangat kesulitan untuk tiba di sekolah.
Beruntung mahabah-mahabah bertebaran di sekelilingnya. Ada saja orang orang baik yang mau mengantar atau menjemput saat dia berangkat. Endy salah satu dari sekian banyak teman yang mau menjemput dan mengantarnya pulang.
"Jatmiko, mulai besuk siang kamu akan berlatih Fisika dengan saya. Kamu saya daftarkan ikut lomba olimpiade Fisika," pak Haji Solikhun mengakhiri pelajaran Fisikanya di kelas dua Ipa satu.
Mata Jatmiko berbinar-binar tidak menyangka dia terpilih mengikuti lomba.
"Selamat Jat, kamu pasti bisa," teriak reman-teman sekelasnya sambil menjabat tangannya. Sementara yang diselamati hanya terbengong. "Olimpiade Fisika," bisiknya.
Dengan tekun Jatmiko mengikuti arahan pembimbing olimpiade Fisika, bapak Haji Solikhun dan bapak Sutoyo. Rumus demi rumus dia lahap sambil terus berlatih untuk praktek mengerjakan soal. Jatmiko memang tipe murid yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
"Ya Allah bila memang ini jalanku untuk meraih sukses, mudahkanlah Yaa Allah," pintanya dalam hati.
"Jatmiko, selamat ya ibu dengar kamu juara dua olimpiade Fisika tingkat kabupaten. Ibu doakan lanjut sampai propinsi ya," ucap bu Esti guru Bahasa Inggris dengan ramah.
Horee, gemuruh tepuk tangan di sela pelajaran Bahasa Inggris itu begitu membahana.  Bu Esti memang sangat peduli dengan prestasi murid-muridnya maka dengan sungguh-sungguh beliau tiada henti menyemangati, memotivasi, dan  menginspirasi para muridnya.
"Jatmiko, kelak orang tidak akan melihat kekerean kita namun ini kita," ucap Bu Esti,sambil menunjuk kepalanya. "Perbaiki sikap tubuhmu, jangan merasa rendah diri, kamu bisa, ibu dukung kamu bila kamu ingin masuk di Fakultas Kedokteran UGM,"
"Bisakah saya, bu? Nilai saya kan kalah dari Ratih,"
"Bagi saya kamulah yang terpandai. Teruslah berdoa pasti cita-citamu akan tercapai,"
Ucapan bu Esti seperti sebuah cemeti ajaib yang sanggup melecut keraguan di hatinya menjadi bara yang meletup-letup. Bismillah, di lembar formulir pengisian program penelusuran bakat minat jalur bidikmisi dia beranikan untuk mengisi jurusan pendidikan Dokter di Universitas Negeri Gajah Mada Yogyakarta.
Ruang guru pun heboh. Ada pro kontra. Harusnya Jatmiko tidak mengambil jurusan Kedokteran. Biayanya mahal. Harusnya dia mengambil universitas yang dekat saja. Dan masih banyak harusnya harusnya lagi.
Karena mahabahnya guru-guru ingin agar Jatmiko tidak terlalu tinggi mengambil pilihan jurusan di Universitas. Karena mahabahnya pula guru-guru ingin agar Jatmiko bisa kuliah dengan waktu singkat dan cepat memperoleh pekerjaan. Â
Jatmiko pun terlihat murung demi didengarnya banyak guru yang tidak berpihak padanya. "Tenang, Bro. Pak Hendra dan Bu Esti kan masih mendukungmu. Ayolah, cheer up kata bu Esti," seloroh Endy.
 Ruang Bimbingan Konseling tiba-tiba riuh rendah. Guru-guru terlihat saling membelalakkan mata. Antara percaya dan halusinasi. Murid-murid juga terlihat lalu lalang memadati koridor sambal melongokkan wajahnya ke kaca-kaca jendela. Pak Sam sang empunya ruangan terlihat serius berdiskusi dengan pak Hendra. Pasti bukan urusan telur asin. Maklum mereka berdua memang diberi kewenangan untuk kegiatan praktek membuat telur asin di sekolah. Bahkan telur asinnya sudah memiliki berbagai rasa, ada rasa bawang, rasa pedas, rasa balado. Bila ada kegiatan di sekolah telur-telur asin itu ikut dipamerkan serta diperjualbelikan.
Pak Sam dan pak Hendra memang terlibat dalam proses pendaftaran murid yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi termasuk pendaftaran lewat jalur undangan dengan menggunakan nilai rapor. Di sini lah peran mereka dibutuhkan untuk mengarahkan murid dalam mengambil jurusan yang sesuai dengan bakat minat mereka.
Pak Sam sendiri  adalah guru Bimbingan Konseling yang sangat serius menangani permasalahan yang dihadapi murid.  Sangat sering beliau  mencarikan solusi terbaik bagi para muridnya. Tapi jangan coba-coba mengajaknya bercanda apabila beliau sedang out of the mood, bisa mati kutu. Beliau kan sudah makan banyak asam garam kehidupan maka masalah berat bagi murid akan dianggap trivial olehnya. Kecil, begitu sindirnya. Seperti kata Gus Dur, gitu saja kok repot.
Tiba-tiba pak Sam berjalan dengan langkah gontai menuju kelas tiga IPA 1. "Mana yang namanya Jatmiko?" katanya dengan kedua tangan menyelip di saku celananya.
"Jatmikooooo," serempak koor membahana." Dipanggil pak Sam," koor pun menyambung.
Yang merasa dipanggil tergagap karena sedang sibuk memecahkan hitungan Matematika dengan Joko yang merasa sudah menghitung berjam-jam namun belum ditemukan jawaban yang seuai dengan pilihan jawaban pada soal.
"Iya, pak. Maaf, ada apa Bapak mencari saya?" sambil menunduk Jatmiko berkata takut keliru.
"Hahahaha...gak sah takut. Santai. Pak Sam gak akan menampar kamu kok, hahahaha," kelakar pak Sam.
"Aku beritahu ya. Ini juga buat kalian semua teman-teman Jatmiko. Jatmiko itu diterima di jalur PMDK Bidikmisi di Jurusan Pendidikan Dokter Universitas Gajahmada. Senang, to? Hahahahaha," lanjutnya lagi dengan suara membahana.
Semua tercekat. Lalu. Semua bersorak sorai.
"Selamat, Bro," tangan Endy menggenggam erat jemari Jatmiko.
Mata Jatmiko berkaca-kaca. Â "Terimakasih Yaa Allah, Yaa Rohman Yaa Rohiim, karena Mahabah Mu aku bisa diterima di jurusan yang aku idam-idamkan selama ini," doanya dalam hati.
"Terimakasih, pak Sam," diciumnya tangan pak Sam. Semua teman mengerubutinya seakan tak ingin ketinggalan momen berharga dalam hidup mereka. Siapa sangka satu di antara teman mereka diterima di salah satu Universitas bergengsi di negeri ini tanpa harus membayar untuk biaya kuliah. Jujur semua akan berkata, aku juga mau. Kalau semua mau bermimpi, bercita-cita, dan berusaha mewujudkannya diiring dengan doa pasti mimpi itu akan menjadi nyata. Bukan sirna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H