Mohon tunggu...
L Ambar S
L Ambar S Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Tebaran Mahabah

26 November 2017   20:58 Diperbarui: 26 November 2017   21:33 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Satu juta?"

"Kapan harus dibayar?"

"Sepertinya tiga hari lagi."

"Artinya Mak memintaku harus masuk di sekolah ini," hatinya bergejolak. Mengapa aku tidak dilahirkan dari keluarga berada. Mengapa bapakku  cuma petani yang sawahnya tiada arti. Sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami ketika hujan turun ke bumi. Sawah yang hanya dapat ditanami dengan tanaman yang bisa bertahan hidup tanpa air. Meski begitu tetap saja harus berebut dengan tikus untuk membawa pulang hasil tanamannya ketika panen tiba. Dan lebih sering tikus yang beruntung.  

Pikirannya ngelantur. Mengapa juga ibuku hanya seorang ibu rumah tangga.  Seorang ibu yang hanya berjualan warung kelidi rumahnya, sebuah istilah bagi pedagang yang tidak memiliki warung dan menggelar dagangannya di sudut jalan atau di persimpangan. Warung yang hanya mengandalkan pembeli dari kanan kiri rumahnya. Usianya yang renta tidak memungkinkan Mak  untuk berjualan keliling kampung. Hasil berapapun yang diperoleh, Mak pun hanya bisa pasrah.

Aaaah. Dan bukankah sekolah ini hanya kumpulan murid yang tidak punya nyali untuk maju. Yang hanya mengandalkan pekerjaan teman untuk dicontek. Yang menganggap bahwa sekolah hanya sekadar memperoleh selembar kertas yang berbunyi ijazah. Yang terkadang mengambilnya pun setelah bertahun-tahun disimpan oleh pihak sekolah meski sudah menggunakan lembar legalisirnya untuk memperoleh pekerjaan. Yang menganggap guru kejam kala memberi tugas yang menuntut murid untuk berpikir secara logis dan kritis serta mengumpulkannya harus tepat waktu.

Bukannya tanpa sebab Jatmiko berpikiran seperti itu. Hampir seluruh tetangganya nota bene menjadi alumni sekolah tersebut. Tak heran dia sering mendengar cerita mengenai polah tingkah murid-murid tersebut. Karena semua berpikiran setelah lulus, dapat selembar kertas ijazah, lalu bekerja di pabrik-pabrik yang bertebaran di ujung kanan kiri desanya. Maklumlah daerahnya dilingkupi sektor perindustrian yang padat hingga ke pelosok-pelosok kampung. Macet dan efek polusi sudah menjadi teman sehari-hari.  

Demi menghormati kedua orang tua yang dicintainya Jatmiko hanya mengiyakan kemana dia akan disekolahkan. Hatinya terlalu halus untuk menorehkan luka di hati emak dan bapaknya.  Karena dari cerita teman-teman yang diterima di sekolah lain hanya SMA ini yang mematok uang sumbangan orang tua dan sumbangan pengembangan institusi yang paling murah.

Mendadak Jatmiko lesu. Cita-cita yang pernah dia bangun sedari kecil haruskah dikubur pelan-pelan karena keterpaksaannya masuk di sekolah ini? Teringat ketika kecil dia bermain dokter-dokteran dengan teman-teman di lingkungan rumahnya. Dengan tali dari gedebog pisang diikat pada tutup botol dia berlagak menjadi seorang dokter.  

"Selamat pagi pak dokter," ujar Aminah sambil menggendong boneka bayi yang kalau dicabut dotnya akan menangis.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun