"Katolik juga?"
"Tergantung mood"
"Hahaha.."
"Anak mana?"
"Matematik. Kakak geologi 2004 kan?"
"Kok tahu?"
"Kakak pacarnya Nana kan? Saya kan sekosan sama Nana."
"Ooh.." Pantas Bimo familiar dengan tampangnya walau sebenarnya Bimo jarang main ke kosan Nana. Bimo menghirup kopinya sambil menyelidik Ayi.
"Hmm, sudah selesai kak skripsinya?" Ayi berusaha memecah kebisuan. Seingat dia, Bimo pacarnya Nana ini skripsinya mandeg. Terakhir cerita, Nana sampai menangis karena pacarnya si Bimo ini seperti tidak punya itikad baik untuk segera menyelesaikan studi. Nana sendiri akan wisuda bulan depan. Hubungan bermasa depan suram kata Nana.
"Hahaha.. sedang dikerjain kok.." Bimo menjawab dengan tidak pasti, seolah sedang berkata pada diri sendiri. Perihal skripsi inilah yang jadi penyebab pertengkaran hebat dia dan Nana tempo hari. Nana ingin Bimo lebih fokus ke skripsinya daripada sibuk manggung tiap malam bersama bandnya. Wajar. Nana ingin punya pacar sukses, lulus tepat waktu, kerja di perusahaan bonafit, seperti bapaknya. Bapaknya Nana pun memasang standard yang sama untuk calon menantunya. Bimo tidak mau menjadi seperti bapaknya Nana. Bimo bukan calon menantu idaman bapaknya Nana. Nana tahu dan akhirnya pulang menangis. Nana mencintai Bimo, tapi Nana masih lebih lebih mencintai bapaknya.
"Lo.. habis nangis ya?"Â Bimo berbasa-basi, namun kemudian segera sadar pilihan pertanyaannya terlalu mengintervensi ruang pribadi. Tapi sudah terlanjur.