Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Diplomasi Makan Siang

16 April 2020   06:00 Diperbarui: 16 April 2020   06:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diplomasi Makan Siang

Hanya ada tiga kamar di rumah itu. Kamar paling kecil ditempati Bunda Manda. Silvi boleh menempati kamar sendiri sejak berumur enam tahun. Dan kamar terluas ditempati mendiang Opa Hilarius.

Kamar paling luas berdinding krem itu tak lagi kosong. Ayah Calvin menempatinya sejak jatuh sakit. Terang saja Silvi rewel. Dia terlanjur nyaman tidur bersama Ayahnya. Namun, Ayah Calvin lebih memprioritaskan kesehatan Silvi.

Pancaran sinar merah keemasan mentari pagi berpadu dengan dinding kamar yang berwarna soft. Jelang pukul enam pagi tak terasa. Walau pagi terus merangkak, Ayah Calvin belum beranjak dari pembaringannya. Sangat di luar kebiasaan.

Ingin larut dalam lelapnya tidur, tak bisa. Bukannya Ayah Calvin tak betah di kamar tidur tanpa pendingin udara. Sungguh, sama sekali bukan karena itu. Sakit merampok kualitas tidurnya. Malam-malam panjang yang ia lewati dalam sakit sungguh tak enak.

Pria yang belum hilang gurat ketampanannya iu menatap hampa pesawat televisi. Benda selebar 29 inchi itu dibiarkan menyala. Menampilkan pewara cantik yang tengah membacakan berita kerakusan pejabat menggasak uang rakyat. Jiwanya tak tersangkut pada tayangan berita pagi. Muak sudah ia dengan TV lokal. Sayangnya, di sini tak ada TV kabel.

Ingat, ini bukan White Mansion. Siap-siap kecewa bila berharap ada AC, TV kabel, dan decoder untuk menonton Youtube. Tak apa, tak apa. Demi cintanya pada Silvi dan Bunda Manda, Ayah Calvin bisa beradaptasi di tempat yang jauh lebih sederhana dari istananya di kaki gunung sana.

Jangan takluk. Sakit ini tidak boleh membuatnya bertekuk lutut. Kalau saja tak mendengar larangan Bunda Manda semalam, dapat dipastikan Ayah Calvin akan mengantar Silvi ke sekolah. Tak rela pria itu jika melihat putrinya bergandengan tangan dengan jewelry sibling. Setelah melalui perdebatan alot, Ayah Calvin setuju dengan syarat: Silvi tidak boleh diantar Nanda atau Barki.

"Sayang, ini rotinya. Hampir ketinggalan."

Merdunya suara Bunda Manda menembus pintu kayu gelap yang sedikit terbuka. Sengaja Ayah Calvin memberi sedikit celah di pintu kamarnya agar bisa melihat apa yang terjadi di luar. Sekali lagi, ini melampaui kebiasaan. Lone wolfe garis keras macam dirinya terbiasa menutup rapat pintu kamar.

"Oh iya. Makasih, Bunda." Terlihat Silvi memasukkan kotak roti ke tasnya.

Ayah Calvin menerka rasa roti yang diberikan Bunda Manda sebagai bekal. Strawberry? Nanas? Nutella? Krim? Atau moka? Kini Ayah Calvin hafal rasa-rasa manis kesukaan anaknya.

Tiga menit berselang, didengarnya Silvi berpamitan. Bocah cantik itu berjalan meninggalkan rumah. Ah, Silvi sudah pergi. Mengapa terasa berat di sini? Sekolah Silvi lumayan jauh dari rumah. Kalau ditempuh jalan kaki, mungkin baru nanti sore dia sampai. Naik sepeda masih okelah. Namun, pagi ini Silvi akan mengandalkan bus sekolah.

Benarkah bus sekolah aman untuk Silvi?

Tengah sibuk mencemaskan putrinya, Ayah Calvin disadarkan oleh derap langkah ringan. Kian dekat, kian dekat, kian dekat. Disusul derit pintu. Bunda Manda memasuki kamar.

Wanita 32 tahun itu masuk tepat ketika Ayah Calvin memejamkan mata. Berpura-pura tidur, Ayah Calvin menanti apa yang hendak dilakukan istrinya. Berspekulasi atas kemungkinan terpahit.

Betapa kelirunya dia.

Tak ada hawa konfrontasi. Tak ada niat mengajak bertengkar. Alih-alih sikap negatif, Bunda Manda justru menyelimuti Ayah Calvin. Menyelipkan ujung-ujung kain tebal itu ke sisi tubuh. Sendu terpancar di mata kala memandangi wajah pucat Ayah Calvin.

"Kamu belum sembuh." Bunda Manda berbisik sedih.

Aku ingin engkau ada di sini

Menemaniku saat sepi

Menemaniku saat gundah

Perlakuan manis Bunda Manda mengobrak-abrik hati pria di balik selimut. Ayah Calvin berdebar saat tangan ramping Bunda Manda membelai rambutnya. Wangi vanili tercium dari sepasang tangan itu. Tangan yang bekerja keras menghidupi keluarga selama tujuh tahun.

"Calvin, aku tak bisa berbohong. Jewelry sibling bukan pengganti yang sebanding denganmu. Kehadiran mereka tidak bisa menggeser posisimu."

Kalau melompat masih diizinkan oleh dokter, akan dia lakukan. Ayah Calvin girang bercampur haru. Nyata-nyata Bunda Manda masih mencintainya.

Berat hidup ini tanpa dirimu

Ku hanya mencintai kamu

Ku hanya memiliki kamu

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Aku rindu setengah mati

Setelah menarik nafas panjang, wanita berkepang dua itu melanjutkan bermonolog.

"Walaupun kamu jahat, walaupun kamu hanya mementingkan keluarga kandungmu...ah, aku malu mengatakannya. Untung kamu tidur sekarang. Aku tak bisa hidup tanpamu. Satu-satunya pria di luar keluarga yang kucintai hanyalah Calvin Wan."

Pura-pura tidur membawa berkah. Dengan begini, Ayah Calvin menggali isi hati istrinya yang paling dalam.

Terlintas ucapan seorang teman di kepala Bunda Manda. Jika mencintai seseorang, cintai semua tentang dirinya. Jangan hanya cinta parasnya, kebaikannya, kepintarannya, kekayaannya, atau kesuksesannya. Cintai juga lukanya, batuknya, kebiasaan jeleknya, dan kekurangannya yang lain. Tanpa dinasihati pun, perasaan cintanya pada Ayah Calvin tak berubah. Justru semakin bertambah. Sekeras apa pun dia berusaha membenci, yang ada ia semakin mencintai pria itu. Mencintai Ayah Calvin yang tampan, punya harta berlebih, dan membawa penyakit.

Meski telah lama kita tak bertemu

Ku selalu memimpikan kamu

Ku tak bisa hidup tanpamu

Bola mata Bunda Manda berawan. Awan-awan yang memberat pecah menjadi hujan. Bunda Manda menelungkupkan wajah, terisak tanpa suara.

"Aku mencintaimu, Calvin. Aku tak bisa hidup tanpamu. Jangan pergi lagi."

Terdengar bunyi benda jatuh dari saku baju Bunda Manda. Cincin berlian pemberian Nanda mencium lantai. Ayah Calvin cemburu. Jika masih mencintainya, mengapa Bunda Manda menyimpan cincin Nanda?

Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh kuingin kau tahu

Aku rindu setengah mati

Aku rindu

Perlahan Bunda Manda mengangkat kepala. Kedua tangannya saling remas. Dari balik selimutnya, Ayah Calvin menumpuk rasa penasaran. Pastilah monolog ini masih ada lanjutannya.

"Calvin, kau ayah yang baik untuk Silvi. Kaulah ranting terindah yang pernah kutemui...ah, kenapa aku seperti Fikri yang melamar Fisha di Air Mata Surga?" Tanpa sadar Bunda Manda mengutip quotes dari sebuah film.

Embun beku menetesi hati. Ya, Tuhan, bolehkah ia memeluk Bunda Manda? Mendengar semua kata-katanya, melihat bulir bening di pipi, Ayah Calvin ingin memeluknya.

Aku rindu setengah mati kepadamu
Sungguh kuingin kau tahu
Ku tak bisa hidup tanpamu
Aku rindu
(D'masiv-Rindu Mati).

**   

Siangnya, kebahagiaan dan keharuan itu luruh. Berganti amarah dan kecemasan. Berawal dari telepon masuk di iPhone Ayah Calvin.

"Ayah, Silvi tersesat..." kata sebuah suara yang sangat dirindukannya.

Persetan dengan flu. Peduli amat dengan tubuh yang menjerit protes. Segera saja Ayah Calvin menyambar kunci mobil.

"Kamu dimana, Sayang? Coba beri tahu Ayah." Perintahnya.

Tak kedengaran suara Silvi di seberang sana. Hanya ada deru kendaraan di latar belakang.

"Silvi, Sayang, kamu dimana?" ulang Ayah Calvin takut.

"S-Silvi nggak tahu ada dimana..." ratapnya.

Lonceng pemahaman berdentang. Silvi disleksia. Pemahamannya akan rute, simbol, papan petunjuk jalan, dan nama tempat juga terbatas. Kemungkinan besar ia tersesat saat naik bus. Bodohnya Ayah Calvin. Kenapa ia biarkan Silvi pulang-pergi sendirian?

"Ok. Sekarang, tutup telponnya. Terus Silvi cari papan nama tempat atau apa, potret, dan kirim fotonya ke Ayah. Paham?"

"Iya, Ayah."

Klik. Sambungan diputus. Dada Ayah Calvin bergemuruh menanti kiriman foto. Lima menit. Tujuh menit, Silvi tak juga menuruti perintahnya. Tak sabar, Ayah Calvin video call dengan putrinya.

"Mana fotonya, Silvi?"

"Aku...aku nggak bisa cari kontak Ayah di handphone Bunda. Tadi aku juga nggak tahu kenapa bisa telpon Ayah."

Mencoba tetap sabar, dimintanya Silvi mengarahkan kamera ke gedung terdekat. Nampak sebuah halte bus diapit toko musik dan supermarket. Ayah Calvin mengerang frustasi. Lokasi tempat Silvi berada lima puluh kilometer jauhnya dari sini.

**   

Rintik hujan membasuh kota. Sebagian tetesnya menjilati tubuh gadis berseragam putih merah yang berdiri kaku di depan halte. Mata birunya kini memerah dan bengkak. Sudah satu jam ia berdiri di sana. Menangis jadi pilihan terakhir sehabis menelepon sang ayah.

Pertanyaan bernada simpatik ia hiraukan. Bunda Manda dan Opa Hilarius mengajarinya untuk tidak berkontak dengan orang asing. Silvi menangis, terus menangis.

Dari pantulan kabut air matanya, ia melihat kilauan silver. Kilau keperakan yang tertangkap netranya berasal dari sebuah mobil yang baru saja menikung di belokan. Mobil? Mobil silver? Mungkinkah...?

Ayah Calvin datang!

Pria berjas biru gelap itu turun dari mobil. Lengannya membuka dalam pelukan hangat. Dipeluknya Silvi erat-erat. Silvi mengisak hebat di dada Ayahnya.

"It's ok, Darling. I'm here." Ayah Calvin berbisik, membelai lembut rambut Silvi.

Mobil melaju menembus derasnya hujan. Ruas jalan tergenang air. Ayah Calvin membawa Silvi ke sebuah restoran. Tangis Silvi mereda setiba di restoran mewah itu.

Interiornya yang elegan memukau mata Silvi. Lampu gantung menebarkan cahaya lembut. Pot kristal berisi bunga-bunga hidup. Sofa empuk berwarna coklat. Meja terracotta yang tertata apik. Ayah Calvin membacakan menu untuk Silvi. Sabar menunggu putrinya menjatuhkan pilihan.

Dua porsi salad segar, chicken cordon bleu, strawberry shortcake, dan dua gelas coklat hangat tersaji. Tangan Silvi gemetar hebat hingga ia kesulitan memotong ayamnya. Ayah Calvin menyuapi Silvi. Sambil menyuapkan potongan-potongan ayam, pria itu bertanya.

"Silvi mau homeschooling nggak? Nanti Silvi belajar sama Ayah. Silvi nggak perlu ke sekolah lagi."

Sesaat gadis berambut panjang itu berpikir keras. Mempertimbangkan tawaran itu. Belajar dengan Ayah? Bukan ide yang buruk.

"Mau. Nanti kita sama-sama terus ya, Ayah."

Ayah Calvin mengangguk mantap. Balon kebahagiaan menggelembung. Mudahnya membujuk Silvi. Lebih gampang dari pada Bunda Manda. Perlukah Ayah Calvin mengajak istrinya makan di tempat romantis sebagai taktik diplomasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun