"Silvi, Sayang, kamu dimana?" ulang Ayah Calvin takut.
"S-Silvi nggak tahu ada dimana..." ratapnya.
Lonceng pemahaman berdentang. Silvi disleksia. Pemahamannya akan rute, simbol, papan petunjuk jalan, dan nama tempat juga terbatas. Kemungkinan besar ia tersesat saat naik bus. Bodohnya Ayah Calvin. Kenapa ia biarkan Silvi pulang-pergi sendirian?
"Ok. Sekarang, tutup telponnya. Terus Silvi cari papan nama tempat atau apa, potret, dan kirim fotonya ke Ayah. Paham?"
"Iya, Ayah."
Klik. Sambungan diputus. Dada Ayah Calvin bergemuruh menanti kiriman foto. Lima menit. Tujuh menit, Silvi tak juga menuruti perintahnya. Tak sabar, Ayah Calvin video call dengan putrinya.
"Mana fotonya, Silvi?"
"Aku...aku nggak bisa cari kontak Ayah di handphone Bunda. Tadi aku juga nggak tahu kenapa bisa telpon Ayah."
Mencoba tetap sabar, dimintanya Silvi mengarahkan kamera ke gedung terdekat. Nampak sebuah halte bus diapit toko musik dan supermarket. Ayah Calvin mengerang frustasi. Lokasi tempat Silvi berada lima puluh kilometer jauhnya dari sini.
** Â Â
Rintik hujan membasuh kota. Sebagian tetesnya menjilati tubuh gadis berseragam putih merah yang berdiri kaku di depan halte. Mata birunya kini memerah dan bengkak. Sudah satu jam ia berdiri di sana. Menangis jadi pilihan terakhir sehabis menelepon sang ayah.