Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Diplomasi Makan Siang

16 April 2020   06:00 Diperbarui: 16 April 2020   06:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan bernada simpatik ia hiraukan. Bunda Manda dan Opa Hilarius mengajarinya untuk tidak berkontak dengan orang asing. Silvi menangis, terus menangis.

Dari pantulan kabut air matanya, ia melihat kilauan silver. Kilau keperakan yang tertangkap netranya berasal dari sebuah mobil yang baru saja menikung di belokan. Mobil? Mobil silver? Mungkinkah...?

Ayah Calvin datang!

Pria berjas biru gelap itu turun dari mobil. Lengannya membuka dalam pelukan hangat. Dipeluknya Silvi erat-erat. Silvi mengisak hebat di dada Ayahnya.

"It's ok, Darling. I'm here." Ayah Calvin berbisik, membelai lembut rambut Silvi.

Mobil melaju menembus derasnya hujan. Ruas jalan tergenang air. Ayah Calvin membawa Silvi ke sebuah restoran. Tangis Silvi mereda setiba di restoran mewah itu.

Interiornya yang elegan memukau mata Silvi. Lampu gantung menebarkan cahaya lembut. Pot kristal berisi bunga-bunga hidup. Sofa empuk berwarna coklat. Meja terracotta yang tertata apik. Ayah Calvin membacakan menu untuk Silvi. Sabar menunggu putrinya menjatuhkan pilihan.

Dua porsi salad segar, chicken cordon bleu, strawberry shortcake, dan dua gelas coklat hangat tersaji. Tangan Silvi gemetar hebat hingga ia kesulitan memotong ayamnya. Ayah Calvin menyuapi Silvi. Sambil menyuapkan potongan-potongan ayam, pria itu bertanya.

"Silvi mau homeschooling nggak? Nanti Silvi belajar sama Ayah. Silvi nggak perlu ke sekolah lagi."

Sesaat gadis berambut panjang itu berpikir keras. Mempertimbangkan tawaran itu. Belajar dengan Ayah? Bukan ide yang buruk.

"Mau. Nanti kita sama-sama terus ya, Ayah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun