"Mata Silvi sebagus orang-orang Eropa yang kita temui. Ingat, kan? Semester lalu Daddy ajak kamu liburan ke Eropa. Kita bertemu banyak orang bermata biru di sana."
"Iya, Daddy."
"Ajak Silvi bermain denganmu."
Arini mengangguk patuh. Tak lagi mengejek mata Silvi. Digamitnya lengan gadis sembilan tahun itu ke halaman. Kemarahan Adica sedikit surut. Mau tak mau Calvin salut pada Jose yang mendidik Arini lewat traveling.
Ketika Calvin beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman spesial bagi tamunya, Adica bertolak pinggang menghadap Jose. Ia tatap mata Jose lurus-lurus.
"Ajari anakmu sopan santun! Dia sudah menghina anakku!" gertaknya dengan suara rendah.
Jose menyisirkan jari ke rambutnya, wajahnya letih. "Sorry...takkan terjadi lagi. Aku janji."
Dengan angkuh, Adica menggiring Jose duduk di sofa dekat grand piano cantik. Keduanya duduk bersisian. Meja marmer setinggi dada membatasi ruang gerak mereka.
"Kamu dari mana saja? Kenapa tiba-tiba datang ke rumah kami?" tanya Adica melunak.
"Aku dari gereja. Mengantar keponakan-keponakan kecilku berlatih drama Natal. You knowlah, keluarga istriku mix. Aku malah dikira jemaat baru...mungkin karena tampilan fisikku." Jelas Jose, tertawa kecil.
Obrolan mereka disela kedatangan Calvin. Ia meletakkan nampan putih berisi lima gelas milk tea, lima porsi nasi goreng Hongkong, dan sepiring kue. Jose nampak terkesan. Adica stay cool, langsung mencomot sepotong brownies di depannya. Tatapan Jose berpindah pada Calvin.