Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special Part] Bukan Papa yang Hebat

5 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 5 Desember 2019   06:01 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan Papa Yang Hebat


-Fragmen si kembar

Embun baru saja mencium mesra rerumputan ketika Calvin terbangun. Ia terbangun karena kondisi kesehatan yang menurun. Flu melemahkannya. Bagi orang normal, ini penyakit ringan saja. Berbeda dengan Calvin yang punya keadaan istimewa.

Pria Desember itu terbatuk. Tangan kanannya menggenggam tangan Silvi. Putri semata wayangnya itu masih terlelap di sampingnya. Syukurlah Silvi tidak ikut terbangun. Saat Calvin terbatuk lagi, rasa sakit dan tak nyaman di dadanya sulit tertahankan.

Air menyembur deras dari mulut wastafel. Ayah satu anak itu terbatuk berulang kali. Noda merah mengalir bersama dahak. Susah untuk berpura-pura tidak melihat bercak darah itu.

Selamat tinggal untuk sementara dahak dan darah. Meski sedang sakit, Calvin tetap dengan rutinitasnya. Ia menyampirkan jas hitam, berdiri ke arah tertentu, dan berdoa sesaat. Detik demi detik tak terkira lambatnya. Dalam keheningan, Calvin berterima kasih karena hari ini masih diberi nafas kehidupan.

**   

"Coba tebak ini siapaaaa?"

Suara manja itu bersumber dari belakang punggungnya. Sepasang tangan mungil memeluk pinggang Calvin. Pemilik tangan itu iseng menggelitiki perut pria bermata sipit itu.

"Silvi, anaknya Ayah yang paling cantik." Jawab Calvin seraya memotong-motong sayuran.

Mendengar itu, Silvi cemberut. Kaki kecilnya dientakkan ke lantai.

"Iyalah! Ayah, kan, Cuma punya anak tunggal! Jelas aku yang paling cantik!" cetusnya.

Calvin tersenyum. Ia tak marah saat Silvi mengganggunya. Lagi-lagi Silvi menggelitiki sang ayah. Dari perut hingga ke siku.

"Ayah lagi apa?" tanya Silvi lugu.

"Lagi masak." Calvin menyahut sambil lalu. Selesai mengurus sayuran, ia membuat kaldu.

Saat memasak, Calvin dua kali lebih tampan. Apron putih yang dikenakannya membuatnya makin mirip chef-chef tampan yang biasa membawakan acara masak di layar kaca. Tampan dan jago masak, tak jarang Calvin digaet untuk menjadi chef merangkap pembawa acara. Sayangnya, Calvin hanya mau memasak untuk Silvi.

Adica turun ke dapur menyusul Silvi. Rambutnya tersisir rapi. Suit berwarna hitam dengan kemeja putih di bagian dalam membalut lekuk tubuh proporsionalnya. Mata Adica menyapu meja dapur yang kini dimuati kotak putih berisi bento cantik. Sekotak bento berbentuk hati.

"Cuma buat Silvi aja, nih?" tanyanya menyindir.

"Ya. Kurasa direktur utama akan jatuh reputasinya kalau membawa-bawa bekal ala anak taman kanak-kanak."

"Tapi ...terkadang direktur utama juga ingin mencicipi masakan buatan komisaris utama."

Calvin menghela nafas sabar. Ia serasa memiliki dua anak. Silvi yang manja dan membutuhkan perhatian lebih darinya. Adica yang tak bisa mengurus diri sendiri karena terlalu sibuk.

"Pa, nanti sore kita nonton yuk. Kata temanku, ada film bagus yang lagi diputar." Ajak Silvi.

Ajakan itu ditingkahi gelengan tegas sang Papa. Sibuk, begitu selalu ia beralasan. Melihat wajah murung Silvi, Calvin menghiburnya. Ia yang akan menemani Silvi nonton film nanti sore.

"Kamu terlalu memanjakannya." Tegur Adica sepeninggal Silvi. Anak cantik itu pergi ke sekolah diantar supirnya.

"Dari pada kamu yang tak pernah punya waktu untuk anak kita." Balas Calvin telak.

Wajah Adica memerah seolah Calvin baru saja menamparnya. Ia bertolak pinggang dengan angkuh lalu berkata,

"Siapa bilang? Akhir pekan nanti aku berencana mengajak Silvi liburan short time ke Bali. Aku siapkan resort untuknya."

Senyum ragu bermain di bibir Calvin. Ia tak yakin Silvi mau liburan bersama Adica. Merasa tertantang, Adica menelepon supirnya saat itu juga. Meminta sang supir memberikan handphonenya pada Silvi. Sengaja Adica meloudspeaker handphonenya agar Calvin bisa mendengar langsung.

"Silvi, kamu mau liburan ke Bali sama Papa Sabtu nanti? Kita bisa snorkeling, main pasir, berenang, pokoknya macam-macam lagi. Mau ya, liburan berdua sama Papa?" Nada suara Adica merayu.

"Nggak mau. Silvi nggak bisa tinggalin Ayah."

Mendengar itu, Calvin tertawa. Raut kesal menepi di wajah Adica. Ia melempar pandang sebal pada kakak kembarnya, lalu pergi.

Perdebatan kecil dengan Adica melemahkan kondisinya. Calvin sempat kesulitan bernafas beberapa jam sebelum menuntaskan janjinya dengan Silvi. Demi Silvi, Calvin memaksakan diri untuk tetap menyenangkan hatinya. Ia menonton film bersama gadis bermata biru itu dengan memakai selang oksigen. Keluar dari bioskop, pria berjas hitam itu tak kuat lagi.

"Tolong antar saya ke rumah sakit," pinta Calvin di sela helaan nafasnya yang memberat.

Supir menurut tanpa kata. Jaguar hitam itu dilarikannya ke rumah sakit. Segera saja Calvin mendapat perawatan terbaik dari tim dokternya.

Begitu tahu kakak kembarnya tumbang, Adica sedih dan marah. Semua pekerjaan ditinggalkan. Agenda meeting ditangguhkan. Adica menghabiskna seluruh waktunya menemani Calvin.

Selama dirawat di rumah sakit, yang dipikirkan Calvin hanyalah Silvi. Apakah anak tunggalnya makan dengan benar? Apakah baju-baju Silvi telah dicuci dan disetrika? Siapa yang memasakkan bekal dan membuatkan kue untuknya. Alhasil Adica jadi korban keresahan Calvin.

"Diam, bodoh! Jangan menginterogasiku terus!" Adica meledak marah di hari ketiga. Pasalnya, Calvin terus saja menanyainya tentang Silvi.

"Ya, aku memang bodoh. Dari dulu tak sepintar dirimu." Timpal Calvin sedih.

"Aku bisa jadi komisaris utama karena perusahaan itu diwariskan untukku. Kamu memang lebih pintar dariku, lebih hebat, lebih segala-galanya. Tapi asal kamu tahu, cintaku untuk Silvi lebih besar darimu."

Kata-kata yang meluncur dari bibir Calvin serasa menyilet hati Adica. Ia sadar, dirinya tak selonggar Calvin soal waktu luang. Calvinlah yang mengambil alih tanggung jawab merawat Silvi 95%. Kakak kembarnya itu tak pernah mengizinkan Sonia menyetrika baju Silvi, mencucikannya, memandikan, menyuapi, atau melakukan kegiatan apa pun yang menyangkut Silvi. Ia sendirilah yang melakukan semua itu.

"Pergilah, Adica. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan akan segera keluar dari rumah sakit. Pergi dan uruslah perusahaan seperti yang selalu kamu lakukan." Usir Calvin halus.

Ragu-ragu Adica melangkah pergi. Tidak, tentunya ia takkan sungguhan meninggalkan Calvin. Dibiarkannya Calvin sendiri untuk sementara waktu. Ia tetap berada di lingkungan paviliun rumah sakit.

**   

Embun di pagi buta

Menebarkan bau basah

Detik demi detik kuhitung

Inikah saat kupergi?

Waktu berdoa telah tiba. Tak ingin merepotkan siapa pun, Calvin bangun sendiri dari ranjang putih. Ia melangkah pelan ke kamar mandi. Tangan kanannya yang dihiasi cincin bergerak menyalakan shower.

Air hangat mendesis lembut. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

"Uhuk uhuk ..."

Calvin mengusap bibirnya, ia tak terkejut melihat tangannya memerah. Pria berpiyama rumah sakit itu muntah darah. Noda-noda merah mengambang di lantai kamar mandi. Setelah memuntahkan darah, Calvin jatuh pingsan.

Oh Tuhan kucinta dia

Berikanlah aku hidup

Takkan kusakiti dia

Hukum aku bila terjadi

Aku tak mudah untuk mencintai

Aku tak mudah mengaku kucinta

Aku tak mudah mengatakan

Aku jatuh cinta

Adica menggenggam erat tangan saudara kembarnya. Sosok pemimpin perusahaan yang lekat dengan citra penuh wibawa itu menitikkan air mata. Percayalah, hanya sakitnya Calvin yang bisa membuat Adica sehancur itu.

"Bangunlah, Calvin. Aku dan Silvi tak bisa hidup tanpamu. Kamu harus melihat kamar anak kita. Kamar Silvi berantakan. Silvi sering telat makan. Tak ada yang membuatkannya kue dan bento yang cantik. Bangunlah, Calvin. Aku bukan Papa yang hebat untuk Silvi." Adica meracau, mengguncang-guncang tangan Calvin yang terbalut infus.

Sungguh, kali ini Adica mengakui kebodohannya. Ia tak sepiawai Calvin dalam mengurus anak perempuan. Bukan hanya Adica, Silvi ikut berantakan karena sakitnya sang ayah.

"Calvin Wan, bangun! Kamu baru boleh mati kalau aku dan Silvi sudah mati! Kami masih butuh kamu!"

Senandungku hanya untuk cinta

Tirakatku hanya untuk engkau

Tiada dusta, sumpah kucinta

Sampai 'ku menutup mata (Acha Septriasa-Sampai Menutup Mata).

Dalam tidur panjangnya, Calvin mendengar semua yang dikatakan Adica. Ia pun masih ingin terus hidup. Tugasnya belum selesai.

Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Good bye koma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun