"Tolong antar saya ke rumah sakit," pinta Calvin di sela helaan nafasnya yang memberat.
Supir menurut tanpa kata. Jaguar hitam itu dilarikannya ke rumah sakit. Segera saja Calvin mendapat perawatan terbaik dari tim dokternya.
Begitu tahu kakak kembarnya tumbang, Adica sedih dan marah. Semua pekerjaan ditinggalkan. Agenda meeting ditangguhkan. Adica menghabiskna seluruh waktunya menemani Calvin.
Selama dirawat di rumah sakit, yang dipikirkan Calvin hanyalah Silvi. Apakah anak tunggalnya makan dengan benar? Apakah baju-baju Silvi telah dicuci dan disetrika? Siapa yang memasakkan bekal dan membuatkan kue untuknya. Alhasil Adica jadi korban keresahan Calvin.
"Diam, bodoh! Jangan menginterogasiku terus!" Adica meledak marah di hari ketiga. Pasalnya, Calvin terus saja menanyainya tentang Silvi.
"Ya, aku memang bodoh. Dari dulu tak sepintar dirimu." Timpal Calvin sedih.
"Aku bisa jadi komisaris utama karena perusahaan itu diwariskan untukku. Kamu memang lebih pintar dariku, lebih hebat, lebih segala-galanya. Tapi asal kamu tahu, cintaku untuk Silvi lebih besar darimu."
Kata-kata yang meluncur dari bibir Calvin serasa menyilet hati Adica. Ia sadar, dirinya tak selonggar Calvin soal waktu luang. Calvinlah yang mengambil alih tanggung jawab merawat Silvi 95%. Kakak kembarnya itu tak pernah mengizinkan Sonia menyetrika baju Silvi, mencucikannya, memandikan, menyuapi, atau melakukan kegiatan apa pun yang menyangkut Silvi. Ia sendirilah yang melakukan semua itu.
"Pergilah, Adica. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan akan segera keluar dari rumah sakit. Pergi dan uruslah perusahaan seperti yang selalu kamu lakukan." Usir Calvin halus.
Ragu-ragu Adica melangkah pergi. Tidak, tentunya ia takkan sungguhan meninggalkan Calvin. Dibiarkannya Calvin sendiri untuk sementara waktu. Ia tetap berada di lingkungan paviliun rumah sakit.
** Â Â