Mendengar itu, Silvi cemberut. Kaki kecilnya dientakkan ke lantai.
"Iyalah! Ayah, kan, Cuma punya anak tunggal! Jelas aku yang paling cantik!" cetusnya.
Calvin tersenyum. Ia tak marah saat Silvi mengganggunya. Lagi-lagi Silvi menggelitiki sang ayah. Dari perut hingga ke siku.
"Ayah lagi apa?" tanya Silvi lugu.
"Lagi masak." Calvin menyahut sambil lalu. Selesai mengurus sayuran, ia membuat kaldu.
Saat memasak, Calvin dua kali lebih tampan. Apron putih yang dikenakannya membuatnya makin mirip chef-chef tampan yang biasa membawakan acara masak di layar kaca. Tampan dan jago masak, tak jarang Calvin digaet untuk menjadi chef merangkap pembawa acara. Sayangnya, Calvin hanya mau memasak untuk Silvi.
Adica turun ke dapur menyusul Silvi. Rambutnya tersisir rapi. Suit berwarna hitam dengan kemeja putih di bagian dalam membalut lekuk tubuh proporsionalnya. Mata Adica menyapu meja dapur yang kini dimuati kotak putih berisi bento cantik. Sekotak bento berbentuk hati.
"Cuma buat Silvi aja, nih?" tanyanya menyindir.
"Ya. Kurasa direktur utama akan jatuh reputasinya kalau membawa-bawa bekal ala anak taman kanak-kanak."
"Tapi ...terkadang direktur utama juga ingin mencicipi masakan buatan komisaris utama."
Calvin menghela nafas sabar. Ia serasa memiliki dua anak. Silvi yang manja dan membutuhkan perhatian lebih darinya. Adica yang tak bisa mengurus diri sendiri karena terlalu sibuk.