Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Papa dan Ayah] Mama Baru untuk Papa Adica

2 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:06 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 10

Mama Baru untuk Papa Adica

-Fragmen si kembar

Calvin dengan Adica dan Silvi adalah satu jiwa Bila salah satu dari mereka bertiga sedih, kesedihan itu jadi milik semua. Begitu pula jika salah satu di antara mereka bahagia.

Seperti kegembiraan Calvin dan Silvi malam ini. Calvin senang karena bisa mengembalikan senyum Silvi. Silvi senang karena bisa menjadi pasangan teromantis di pensi. Sementara itu, Adica ikut bahagia setelah mendengar cerita mereka.

"MC sama bandnya bego banget. Mereka nggak tahu kalo pasangan pilihan mereka itu palsu." komentar Adica setelah mendengar cerita dan melihat video yang ditunjukkan Silvi.

Mereka tertawa. Malam yang semula diduga akan berbalut kesedihan, kini dibasuh kegembiraan. Sudah lama ketiganya tak tertawa lepas begitu.

"Tau gitu, mending aku yang pura-pura jadi pasangannya Silvi. Biar door prizenya buat aku." Adica masih gatal untuk tidak berseloroh.

"Salah sendiri tadi nggak nurutin feeling aku. Blessing in disguise, kan?"

Adica melirik goodie bag di bawah kaki kursi. Ia ingin sekali membukanya, penasaran dengan isinya. Silvi cukup peka. Ditariknya tas berwarna merah hati itu, lalu dibukanya.

Si kembar merapat, ingin melihat bagian dalamnya. Mereka kaget campur antusias.

"Wow, pensi SMA aja door prizenya kayak gini. Good job, Silvi." Adica tak bisa menahan diri untuk memuji.

Silvi sendiri tak percaya dengan door prize yang didapatnya. Semakin bagus hadiah, semakin royal sponsor mendukung pelaksanaan event, dan semakin meyakinkan hasil kerja Silvi. Goodie bag itu berisi sepasang jam tangan, kaos couple, netbook, dan voucher makan di sebuah restoran mewah.

"Yah, aku nggak suka kaos. Gimana dong?" tanya Silvi, menatap kaos couple yang belum dibuka bungkusnya.

"Ayah juga nggak suka. Jas tetap nomor satu. Kamu mau?" tawar Calvin pada Adica.

"Nggak. Kita kasih aja buat Sonia dan anaknya."

Calvin dan Silvi setuju. Adica menatap iri voucher makan untuk dua orang. Sebenarnya, gampang saja baginya makan di resto mewah itu. Ia hanya ingin merasakan romantisme makan bersama orang terkasih di tempat yang juga romantis.

"Kenapa, Adica? Pengen makan malam romantis. Makanya, kamu nikah dong." goda Calvin.

Adica menatap sebal saudara kembarnya. "Alah, kayak kamu mau nikah aja."

"Aku memang nggak mau nikah. Aku di sini aja, urus Silvi. Cukup kamu yang kasih Mama baru, ok?"

Adica menggigit bibirnya. Calvin sudah memberi lampu hijau. Hanya saja, Adica belum menemukan wanita yang cocok.

"Udah ah. Aku mau tidur. Besok ada meeting. Good night."

Setelah mengucap selamat malam, Adica pergi ke paviliun. Calvin mengantar Silvi ke kamarnya. Diselimutinya gadis itu dan ia kecup dahinya.

"Selamat tidur, Sayang. Ayah mencintaimu."

Lama Calvin di sana setelah Silvi terlelap. Dipandanginya seraut wajah cantik itu lekat-lekat. Berapa pun usianya, Silvi tetaplah putri kecil Calvin. Putri kesayangan yang ia jaga sepenuh jiwa raga. Raga yang menunggu waktu.

Tes.

Bercak merah menjatuhi telapak tangannya. Cairan merah itu berasal dari hidungnya. Calvin mimisan lagi. Ia senang karena Adica dan Silvi tak melihatnya.

**    

Esoknya, mereka jalan bertiga. Adica memutuskan ikut ke resto mewah di skybar bersama Calvin dan Silvi. Meski ia harus bayar sendiri, yang penting ia bisa melewatkan waktu yang berkualitas bersama kakak kembar dan anaknya.

Entah berapa purnama berganti sejak terakhir kali Calvin, Silvi, dan Adica jalan bertiga. Mereka dibenturkan pada banyak kendala tiap kali ada rencana jalan-jalan. Adica tenggelam dalam kewajiban sebagai direktur selama tujuh hari seminggu dan dua puluh empat jam sehari.

Silvi sibuk sekolah dan kegiatan OSIS. Kondisi kesehatan Calvin tak memungkinkannya untuk terlalu banyak beraktivitas di luar rumah. Jalan-jalan bertiga menjadi momen langka bagi mereka.

Sebelum makan, Silvi mengajak Ayah dan Papanya nonton. Ada film bagus yang sedang diputar. Calvin dan Adica sangat menikmati saat-saat ini.

"Calvin, rasanya kita jadi anak sekolah lagi ya." Adica tak tahan untuk tidak mengungkapkan kesenangannya.

"Oh iyalah. Punya Silvi bikin kita jadi anak muda terus."

Silvi tersenyum memandangi dua pria tampan di kanan-kirinya. Mata Adica jelalatan mengamati perempuan-perempuan yang mengantre di loket tiket. Setelah lama diperhatikan, tak ada yang menarik.

"Papa lagi cari Mama baru ya?" Silvi terkikik geli seraya mencubit pinggang Adica.

"Iya, tapi nggak ada yang cantik."

Orang-orang menatap aneh ke arah mereka. Sebagian mengagumi ketampanan dan kecantikan keluarga kecil itu, sebagian lagi menuduh Silvi rakus. Dikiranya Silvi menggaet dua pria sekaligus.

Sementara Silvi dan Adica asyik bercanda, Calvin keluar dari antrean. Dibelinya tiga cup milk tea dan sebuket besar pop corn rasa karamel. Melihat Calvin kembali dengan menenteng bawaannya, Silvi cemberut.

"Ayah, kenapa beli camilan? Nanti kita, kan, mau makan!" rajuknya manja.

"Ya udah kalo kamu nggak mau. Biar Papa aja yang abisin. Kalo Papamu gendut, kan, nanti nggak ada yang mau jadi istri." sahut Calvin santai.

Adica melempar tatapan membunuh ke arah Calvin. Kalau saja saudara kembarnya tidak sakit, sudah dijitaknya kepala pria itu.

Mereka pun menonton film. Sebuah film bersetting reuni sekolah, namun sarat akan kritik sosial. Calvin dan Adica fokus pada kritik sosial yang disampaikan di film itu. Silvi gagal fokus gegara melihat pemeran utamanya yang ganteng dan bertubuh seksi.

Usai menonton film, mereka bergegas ke skybar. Sejak tadi Silvi tidak henti melirik arlojinya.

"Ayah, waktunya minum obat. Ayah bawa obatnya, kan?" tanya gadis itu ketika mereka duduk manis di meja terracotta.

Calvin mengangguk enggan. Silvi meremas tangan sang ayah. Kotak obat berwarna putih dikeluarkan. Pil-pil putih yang berkejaran di dalam kotak ditatap bosan oleh pemiliknya. Calvin ingin ingin sehari saja berhenti meminum obat-obat itu.

Puluhan jarum jahat menusuk dadanya. Pil-pil itu diminumnya dengan sangat enggan. Calvin menyeka keringat dingin yang membanyak di keningnya, berharap sakitnya lenyap saat itu juga. Silvi memandangnya sedih.

"Berhenti menatap Ayah seperti itu." kata Calvin dingin.

Silvi dan Adica tertegun. Baru kali ini Calvin berkata dingin pada Silvi. Pria itu menjadi sensitif bila berurusan dengan penyakitnya.

"Ayah, maaf..."

Kata-kata Silvi tak tuntas. Detik berikutnya, ia telah berpindah ke pelukan Calvin. Mata Adica menghangat melihat adegan itu. Ia berpaling, lalu mengangkat tangan memanggil waiters.

**    

-Fragmen Silvi

Gawat, aku kesiangan! Semalam aku, Ayah, dan Papa pulang larut. Kami sengaja mampir ke banyak tempat karena sudah lama tak jalan bertiga.

Kenapa juga mereka tak membangunkanku? Aku bisa terlambat! Kusambar handuk dan bathrobe. Tanpa sempat mengenakan penutup kepala, aku menyerahkan tubuhku ke bawah hangatnya guyuran shower. Rambutku basah kuyup. Terpaksa aku membubuhkan shampoo.

Setelah mandi kilat, aku berpakaian. Kukenakan rok dan kemeja sambil memaki Ayah dan Papa. Bisanya mereka tidak membangunkanku. Tak sempat aku memakai parfum dan lip balm. Alih-alih memakai dua produk itu, aku malah membuang waktu lima menit dengan mencari sebundel laporan pertanggungjawaban yang telah kuprint.

Nah, ketemu. Laporan itu tertumpuk di meja komputer. Buru-buru kumasukkan ke tas. Persetan dengan buku pelajaran hari ini. LPJ lebih penting. Apa kata Suster Kepala kalau aku tidak menyerahkannya?

Turun ke bawah, aku disambut wajah berminyak Sonia. Sepiring besar roti panggang, tiga mangkuk havermut, dan tiga gelas teh hangat terhidang di meja. Kuraih tiga potong roti saat melewati meja makan.

"Papa dan Ayah mana?" tanyaku tergesa.

"Belum bangun, Nona. Beta tak berani bangunkan."

Aku melongo. Jam segini Papa dan Ayah belum bangun? Tak sempat berpikir lama, kuhabiskan sarapanku dan aku berlari ke garasi. Kuperintahkan supir untuk mengantarkanku.

"Ngebut ya, Pak." lanjutku.

Kupandangi jalanan lengang yang dilewati. Sudah terlambat berapa jam aku? Mungkinkah Suster Kepala menungguku dengan marah di ruangannya? Ataukah Suster Kepala sudah tak menungguku lagi? Tanda tanya berdesakan di kepalaku.

Sekuriti yang menjaga gerbang sekolah tersenyum garang melihatku. Kubujuk dia agar membuka gerbang. Aku harus segera masuk. Ini penting, Suster Kepala menunggu LPJ pensi. Melihat aku memohon-mohon, gerbang besar itu pun terbuka.

Aku sprint ke ruangan Suster Kepala. Samar kulihat pintunya membuka. Syukurlah, Suster Kepala masih ada di dalam. Kelihatannya ada Frater Gabriel dan Suster Mariana.

"Pagi, Suster. Maaf, saya terlambat. Saya mau menyerahkan LPJ pensi."

Prang!

Dalam ketergesaanku, tak sengaja aku menabrak vas bunga di samping meja Suster Kepala. Benda cantik itu hancur. Serpihannya berserakan di lantai.

Aku menahan napas. Mata Suster Kepala menyala dalam amarah. Frater Gabriel menatapku datar. Suster Mariana mendelik.

"Maaf, Suster. Maaf..."

"Silvi Gabriella Tendean," potong Suster Kepala. Nada suaranya penuh bahaya.

"Kamu tahu itu hadiah vas bunga dari siapa?"

Aku menggeleng takut. Tangan Suster Kepala mengepal erat.

"Vas bunga itu pemberian Bapa Uskup!"

"Suster Kepala, biar saya ganti ya. Berapa harganya? Dimana saya bisa membelinya?" tawarku lembut.

"Bukan masalah vasnya! Tapi, masalah pemberinya!" Suster Kepala menggebrak meja.

Aku gemetar ketakutan. Semarah itu Suster Kepala hanya karena aku menghancurkan vas pemberian Bapa Uskup.

"Kamu harus dihukum!"

Kuhela nafas dalam, bersiap menerima hukuman.

**   

Sepulang sekolah, aku bergegas mencari Papa dan Ayah. Beruntung mereka ada di rumah. Tumben sekali kulihat Papa ada di rumah pada jam kantor begini. Melihat wajahku kusut, mereka bergantian memelukku.

"Kenapa, Sayang?"

"Kamu nggak kena masalah lagi, kan?"

"Pa, Ayah, aku dihukum."

Papa dan Ayah terperangah. Ini pertama kalinya mereka mendengar kabar aku menerima hukuman dari sekolah. Kuceritakan detail kronologisnya.

"Papa dan Ayah tahu apa hukumanku? Kukira aku disuruh ganti vas, bersih-bersih toilet, atau apa. Tapi, hukuman mereka unik sekali. Suster Kepala menyuruhku berjualan barang selama sebulan penuh, lalu labanya digunakan untuk kegiatan sosial."

Kulihat ekspresi ketertarikan melintas di wajah Ayah. Papa mengernyitkan kening, tapi jelas ia tidak marah.

"Papa memang nggak salah pilih. Udah bener kamu masuk sekolah itu. Bahkan, hukuman buat siswanya pun mendidik. Kamu nggak disetrap, lari keliling lapangan, menulis kalimat, atau diteror mental. Tapi, kamu disuruh bikin proyek sosial. Ini menarik." Papa berkomentar panjang lebar.

"Iya. Hukuman Suster Kepala mengingatkan Ayah pada sekolah-sekolah di luar negeri."

Aku ikut bersyukur. Untunglah aku tak jadi masuk sekolah negeri. Nilaiku lebih dari cukup untuk masuk SMA negeri favorit. Tapi, aku merasa sekolah negeri tak cocok untukku. Sekolah negeri neraka bagi minoritas sepertiku. Aku, yang bermata biru dan bertampang non-Muslim, pasti akan menjadi mangsa empuk para pembully.

"Jadi, kamu udah kepikiran mau jualan apa?"

Pertanyaan Ayah menyadarkanku. Kusiapkan jawaban dengan mantap.

"Aku mau jualan makanan, Ayah. Konsepnya food truck. Ayah atau Papa punya nggak, kendaraan besar yang bisa aku pinjam?"

Usulanku disambut positif oleh Papa dan Ayah. Papa menawariku memakai mobil bekas perusahaan ekspedisinya. Setelah membeli mobil baru, mobil pengiriman yang lama hanya jadi pajangan di garasi. Ayah membantuku memasak makanan. Aku senang sekali.

Minggu berikutnya, aku memulai bisnis baruku. Tangan halusku terbiasa bergerak cekatan mengolah burger, kentang goreng, ayam goreng, sosis bakar, cumi goreng, fish and chips, dan makaroni keju. Tiap sore, aku punya hobi baru: memasak dan berjualan makanan. Agar food truckku lebih semarak, kuputarkan lagu-lagu cantik.

Kau tak sepenuhnya sendiri

Aku kan slalu ada di sini

Mengapa oh mengapa dirimu

Penuh dengan rasa bimbang

Tak perlu kau pergi tuk mencari

Mencari arti cinta

Aku sendiri di sini menunggu

Aku sendiri di sini menanti

Aku tak terbiasa untuk berharap

Berlari untuk mengejar dirimu

Dalam menggapai semua impiku

S'moga kau kan tetap jadi apa yang ku inginkan

Mengapa oh mengapa dirimu

Penuh dengan rasa bimbang

Tak perlu kau pergi tuk mencari

Mencari arti cinta

Aku sendiri di sini menunggu

Aku sendiri di sini menanti

Aku tak terbiasa untuk berharap

Berlari untuk mengejar dirimu

Dalam menggapai semua impiku

S'moga kau kan tetap jadi apa yang ku inginkan

Jangan pernah berubah

Ingat janjimu

Jangan pernah menghilang

Dari hatiku

Aku sendiri di sini menunggu

Aku sendiri di sini menanti

Aku tak terbiasa untuk berharap

Berlari untuk mengejar dirimu

Dalam menggapai semua impiku

S'moga kau kan tetap jadi apa yang ku inginkan (Vierra-Jadi Apa Yang Kuinginkan).

Sambil melayani pembeli, aku bersenandung pelan. Aku sangat menikmati bisnis baruku. Terima kasih Suster Kepala yang telah menghukumku. Hukuman itu mengajariku enterpreneurship, pendidikan karakter karena harus berhadapan dengan pembeli, dan makin menebalkan jiwa sosialku.

Awalnya, hanya satu-dua pembeli yang datang. Makanan jualanku mainstream. Tapi, aku tidak sendiri. Lihatlah apa yang dilakukan Papa dan Ayah untuk mempromosikan daganganku.

"Papa, Ayah, ngapain di sini? Aku bisa sendiri kok." kataku tak enak hati.

"Bantuin kamulah." jawab Papa sambil bersandar ke kap mobil.

"Masa Ayah biarin anak Ayah jualan sendiri?" Ayah berkata diplomatis.

"Papa balik aja ke kantor. Dan...Ayah, kan, harus istirahat."

Keduanya menggeleng. Bandel sekali Ayah dan Papaku.

Sejurus kemudian, Ayah beranjak pergi. Kupikir ia akan pulang dan menuruti bujukanku. Perkiraanku meleset. Ayah membawa banyak sekali bunga. Dibagi-bagikannya bunga pada pengguna jalan.

"Kalau kalian beli makanan dari food truck ini, kalian dapat bunga dari saya." Ayah tersenyum menawan, memberi penawaran menggiurkan.

Dalam waktu singkat, food truckku kebanjiran pembeli. Mereka senang sekali mencicipi makananku dan menerima bunga dari Ayah. Kukerling Ayah. Senyum puas menghiasi wajah pucatnya.

Diam-diam kulirik Papa. Ia nampak kesal dan tersaingi. Aku menahan tawa.

Tak mau kalah, Papa berteriak pada seisi jalan raya.

"Yang beli makanan di food truck ini bisa foto gratis sama saya!"

Papa nekat atau narsis ya? Eits, jangan salah. Promosinya ampuh juga. Berduyun-duyun para gadis dan perempuan muda menyinggahi food truckku.

"Hei, ini pelangganku!" serobot Papa ketika Ayah akan memberinya bunga.

"Bukanlah, ini pelangganku."

Aduh, ada-ada saja Papa dan Ayah. Kuperhatikan si kembar itu mulai berdebat. Meributkan pelanggan, swafoto, dan bunga.

"Permisi,"

Suara halus seorang perempuan menghentikan perdebatan mereka. Kucuri pandang ke arah Papa. Papa menatap perempuan itu lebih lama!

Perempuan itu datang dari arah gedung Komisi Penyiaran di ujung jalan. Wajah manisnya polos tanpa make up. Baju kerja dan sepatunya bagus. Rambutnya pendek dan rapi.

"Ya, silakan." sambut Papa ramah. Sebelum Papa sempat mengajak perempuan itu berfoto, Ayah menyerahkan bunga dengan gallant.

"Wah, kru food trucknya ganteng dan cantik ya." Si perempuan melempar pujian.

"Oh iya dong. Ayo, sini foto sama saya."

Papa dan perempuan itu berfoto. Entah kenapa, Papa berfoto dengan perempuan itu dua kali.

"Boleh kenalan?"

Mendengar itu, Ayah tertawa tertahan. Aku menyembunyikan tawa di balik tumpukan alat masak. Oh, ternyata begitu modus kenalan ala Papa.

"Asyifa..."

"Adica..."

Cieee, Papa. Apa sebentar lagi aku bakalan punya Mama baru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun