"Kamu harus dihukum!"
Kuhela nafas dalam, bersiap menerima hukuman.
** Â Â
Sepulang sekolah, aku bergegas mencari Papa dan Ayah. Beruntung mereka ada di rumah. Tumben sekali kulihat Papa ada di rumah pada jam kantor begini. Melihat wajahku kusut, mereka bergantian memelukku.
"Kenapa, Sayang?"
"Kamu nggak kena masalah lagi, kan?"
"Pa, Ayah, aku dihukum."
Papa dan Ayah terperangah. Ini pertama kalinya mereka mendengar kabar aku menerima hukuman dari sekolah. Kuceritakan detail kronologisnya.
"Papa dan Ayah tahu apa hukumanku? Kukira aku disuruh ganti vas, bersih-bersih toilet, atau apa. Tapi, hukuman mereka unik sekali. Suster Kepala menyuruhku berjualan barang selama sebulan penuh, lalu labanya digunakan untuk kegiatan sosial."
Kulihat ekspresi ketertarikan melintas di wajah Ayah. Papa mengernyitkan kening, tapi jelas ia tidak marah.
"Papa memang nggak salah pilih. Udah bener kamu masuk sekolah itu. Bahkan, hukuman buat siswanya pun mendidik. Kamu nggak disetrap, lari keliling lapangan, menulis kalimat, atau diteror mental. Tapi, kamu disuruh bikin proyek sosial. Ini menarik." Papa berkomentar panjang lebar.