"Iya. Hukuman Suster Kepala mengingatkan Ayah pada sekolah-sekolah di luar negeri."
Aku ikut bersyukur. Untunglah aku tak jadi masuk sekolah negeri. Nilaiku lebih dari cukup untuk masuk SMA negeri favorit. Tapi, aku merasa sekolah negeri tak cocok untukku. Sekolah negeri neraka bagi minoritas sepertiku. Aku, yang bermata biru dan bertampang non-Muslim, pasti akan menjadi mangsa empuk para pembully.
"Jadi, kamu udah kepikiran mau jualan apa?"
Pertanyaan Ayah menyadarkanku. Kusiapkan jawaban dengan mantap.
"Aku mau jualan makanan, Ayah. Konsepnya food truck. Ayah atau Papa punya nggak, kendaraan besar yang bisa aku pinjam?"
Usulanku disambut positif oleh Papa dan Ayah. Papa menawariku memakai mobil bekas perusahaan ekspedisinya. Setelah membeli mobil baru, mobil pengiriman yang lama hanya jadi pajangan di garasi. Ayah membantuku memasak makanan. Aku senang sekali.
Minggu berikutnya, aku memulai bisnis baruku. Tangan halusku terbiasa bergerak cekatan mengolah burger, kentang goreng, ayam goreng, sosis bakar, cumi goreng, fish and chips, dan makaroni keju. Tiap sore, aku punya hobi baru: memasak dan berjualan makanan. Agar food truckku lebih semarak, kuputarkan lagu-lagu cantik.
Kau tak sepenuhnya sendiri
Aku kan slalu ada di sini
Mengapa oh mengapa dirimu
Penuh dengan rasa bimbang