"Aku nggak yakin," desahku.
"Terus siapa dong?"
Aku menyisir rambut dengan jemariku. Kucoba mengingat-ingat semua pria yang care padaku. Ada Ayah, Papa, dan Frater Gabriel. Semalaman Frater Gabriel dan aku berkirim e-mail. Kami ngobrol seru. Tepatnya, aku cerita banyak hal dan dia menanggapi dengan bijak. Jangan-jangan...
"Frater Gabriel!" teriakku gembira.
Catharina terlonjak. Ups, aku baru sadar. Kuteriakkan nama itu di telinganya.
"Ngaco kamu. Dia, kan, Frater. Mana bisa beli bunga?" sanggah Catharina.
"Lho, memangnya Frater nggak boleh beli bunga?"
"Bukan nggak boleh, tapi nggak bisa. Frater, kan, disiapin biar selibat. Jadi, mana bisa pacaran? Lagian, uang saku mereka dikit banget. Frater diajarin buat hidup sederhana, supaya konsisten dengan kaul kemiskinan."
Apa pun penjelasan Catharina, aku tetap optimis. Siapa tahu bunga ini sungguhan dari Frater Gabriel. Apakah ia menyukaiku? Rasa penasaran mendesak-desak batinku.
"Silvi, udahlah jangan berharap sama Frater. Dia bukan milik kita, tapi milik Tuhan. Kamu mau berebut sama Tuhan Yesus?" Catharina mengingatkan.
"Yah...segala sesuatu nggak ada yang mustahil, kan? Kamu nggak ingat cerita Suster Mariana tentang teman-teman di biaranya yang keluar karena ingin menikah?"