"Ada lagi, Silvi?"
"Ehm...Frater Gabriel, maukah Frater datang ke pensi bersamaku?"
Panas dingin aku mengucapkannya. Cewek apaan aku ini? Beraninya aku mengajak seorang cowok duluan. Papa, Ayah, aku malu.
Air muka Frater Gabriel berubah. Semula bening penuh keramahan, kini keruh dan mencela. Aku waswas. Jangan-jangan Frater Gabriel ilfeel denganku. Terlalu nekatkah diriku?
"Maaf, nggak bisa." katanya singkat.
"Tapi kenapa, Frater? Cuma datang ke pensi kok."
"Saya ini Frater, Silvi. Biarawan Katolik. Kamu tahu itu, kan?"
Lututku lemas seketika. Ya, Allah, telah berdosakah aku? Apakah aku sedang berebut dengan Tuhan Yesus yang diimaninya?
"Saya harus pergi. Permisi."
Dia pergi. Meninggalkanku terpuruk sendiri. Sakit, sakit sekali hati ini. Aku, Silvi Gabriella Tendean yang cantik dan mendapatkan banyak cinta di sekelilingku, ternyata ditolak seorang lelaki.
Mataku memanas. Udara di sekelilingku mendingin. Tetes hujan sebesar es menimpa kepalaku. Aku dan langit bertangisan. Petir menjadi musik perkusi yang mengiringi tangis kami.