Setelah kata-kata itu lolos dari bibirnya, Frater Gabriel dikagetkan dengan kemunculan Adica. Dia keheranan.
"Anda...yang waktu itu temenin Silvi pas LKO, kan?"
"Bukan! Nggak penting siapa gue! Kalo lo nggak mau dateng ke pensi bareng Silvi, gue pastiin lo keluar dari kongregasi OFM dengan nama baik tercemar!"
Dunia Frater Gabriel mungkin hampir kiamat. Siapakah pria setampan bintang-bintang film dari negeri Tirai Bambu dan berbibir tajam ini? Beraninya dia mengancam. Dilihat dari wajahnya, dia mirip sekali dengan orang yang waktu itu mengaku Ayahnya Silvi. Frater Gabriel jadi gemas. Berapa banyak pria baik hati plus kaya yang menyayangi anak itu?
"Lo mau apa nggak?" gertak Adica.
Tak punya pilihan, Frater Gabriel mengangguk kaku. Dia belum ditahbiskan. Masa depannya dipertaruhkan. Jalannya belum aman.
"Bagus. Ntar gue kirim jas dari desainer langganan gue ke Seminari." janji Adica.
Frater Gabriel menggeleng. "Nggak perlu. Saya bisa pakai kemeja atau pinjam jas Romo Rektor."
Senyum puas direktur menampar telak hati Frater Gabriel. Ia merasa miris. Enaknya menjadi orang kaya. Orang bisa dibungkam dengan uang dan kekuasaan. Hati membangkang, uang membungkam.
Frater Gabriel terkenang kedua orang tuanya. Jangan kira ia berasal dari keluarga jet set. Ayahnya hanyalah buruh tani dan ibunya asisten rumah tangga. Kedua orang tuanya dibaptis sewaktu mereka masih remaja. Dengan penuh kerelaan hati, mereka melepas anak lelaki satu-satunya untuk berkaul kebiaraan. Kini, menjelang masa studi teologinya, Frater Gabriel malah berhadapan dengan rintangan besar ciptaan orang kaya.
** Â Â