Berbekal surat sakti yang ditandatangani Dokter Tian, Calvin meninggalkan rumah sakit. Pagi-pagi sekali ia hengkang dari bangunan putih itu.
Calvin menyetir sendiri. Ia nekat pulang ke rumah tanpa supir. Dingin sekali di dalam Jaguar hitamnya.
Pembuluh darah di hidung Calvin mengalami vaso kontraksi, lalu pecah. Tepat ketika ia memarkirkan mobil di garasi, cairan pekat mengalir dari hidungnya. Segera saja Calvin mengeluarkan beberapa lembar tissue.
Ia terperangah. Bukan ingus, tapi darah. Biarkan saja, tak ada yang boleh tahu.
Rona jingga kemerahan menyapu langit. Mentari bangun dengan cantik dari pembaringannya. Sinar pertama mentari pagi jatuh di lantai marmer, melukis bayangan panjang yang bergetar. Amukan hujan semalam terbayar dengan indahnya matahari terbit.
Calvin memulai pagi indah dengan membuatkan segelas susu hangat untuk Silvi. Dibawanya segelas susu hangat itu ke lantai atas. Di pertengahan tangga, Calvin terhenti sejenak untuk mengambil nafas. Penyakit ini merepotkan saja.
Kamar Silvi kosong. Bertanya-tanya dalam hati, Calvin mencari ke kamar lainnya. Keenam kamar yang lain telah ia inspeksi. Tinggal kamarnya yang belum dimasuki. Ragu-ragu diputarnya handel pintu.
Embun menetesi hati Calvin. Silvi tertidur di kamarnya sambil memeluk potret sang ayah. Terharu hatinya mendapati pemandangan itu.
"Selamat pagi, Sayangku." Calvin membungkuk, mencium kening putri kesayangannya.
Silvi terbangun. Ia menggeliat sejenak. Iris kebiruannya mengerjap begitu melihat Calvin. Dia berhambur ke pelukan pria berjas biru gelap itu. Belum pernah Silvi memeluk Calvin begitu erat. Walau tak berkata-kata, Calvin paham betapa Silvi menginginkan hadirnya.
"Diminum dulu susunya, Sayang. Ayah buatin untuk kamu." ujar Calvin lembut. Silvi menerima gelas besar itu, lalu mereguknya hingga tandas.